[PORTAL-ISLAM.ID] Sudah hampir lebih dari 5 bulan polemik mahalnya harga minyak goreng telah berlangsung.
Pemerintah sudah berupaya menyelesaikannya dengan menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) hingga larangan ekspor minyak goreng.
Namun, sejauh ini belum ada tanda-tanda harga kembali normal khususnya pada saat menjelang lebaran Idul Fitri.
“Jadi kondisi ini paling lama dalam sejarah Indonesia. Kita belum pernah mengalami masalah minyak goreng ini sampai 5 bulan lebih. Tahun 2011 pernah terjadi tapi tak sampai 3 bulan stabil,” kata Direktur CELIOS Bhima Yudhistira saat webinar yang digelar Transparency International Indonesia, Senin (25/4).
Bhima menegaskan perlu kebijakan serius atau extraordinary dalam menyelesaikan persoalan tersebut.
Menurutnya langkah pemerintah yang diterapkan sejauh ini belum maksimal.
Ia menyebut HET yang sebenarnya bagus tetapi pelaksanaannya kurang tegas.
Di tengah masih mahalnya minyak goreng, Bhima merasa masyarakat masih harus tetap membelinya. Apalagi, kata Bhima, permintaan jelang lebaran bisa saja meningkat sampai 47 persen.
“Jadi sudah harga tinggi masyarakat mau tidak mau (membeli minyak goreng) ini karena untuk kebutuhan pokok untuk makanan minuman, pengusaha UMKM juga butuh goreng untuk makanan minuman. Jadi harga otomatis terbang lebih tinggi pasca 28 April atau jelang Idul Fitri,” ujar Bhima.
Lantas, apa sebenarnya yang menyebabkan permasalahan minyak goreng tidak kunjung selesai?
Bhima menjelaskan salah satu masalah yang cukup krusial adalah produksi minyak goreng cenderung oligopoli dan terintegrasi hulu ke hilir termasuk distribusinya.
Menurutnya hal tersebut menjadi persaingan tidak sehat.
Apalagi, pemerintah juga tidak ikut mengelola produksi minyak goreng.
Padahal, kata Bhima, ada PTPN yang bisa dimaksimalkan.
“Kemudian pemerintah tidak mengelola produksi minyak goreng dan distributor diserahkan full kepada swasta, jadi Bulog juga tidak (terlibat),” ungkap Bhima.
Bhima membeberkan persoalan berikutnya adalah konglomerasi sawit mengamankan pasokan minyak goreng untuk anak usahanya.
“Kalau ada sidak dengan entengnya akan menjawab untuk keperluan anak usahanya, jadi tak ada penangkapan ke korporasi yang pasokannya ditahan,” terang Bhima.
Selanjutnya kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dianggap terlambat dan moral hazard besar.
Bhima mengatakan hal tersebut dibuktikan dengan adanya kasus yang menjerat Dirjen Daglu Kemendag.
“Kebijakan HER sebenarnya bagus, Malaysia juga masih melakukan HET, tapi masalahnya di Indonesia kebijakannya tak dijalankan dengan tegas dan adanya indukasi penimbunan di berbagai titik distribusi dan kebocoran keluar negeri,” ungkap Bhima.
“Kemudian dari sisi suplai ada masalah tapi ini mungkin jangka panjang yaitu peremajaan sawit berjalan lambat,” tambahnya. [kumparan]