OLEH: GDE SIRIANA YUSUF*
PADA awal Desember 2021 Ketua Umum Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Surta Wijaya menyampaikan bahwa Apdesi akan menganugerahi Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebagai "Bapak Pembangunan Desa" serta "Bapak Kepala Desa Se-Nusantara".
Manuver Apdesi untuk terlibat dalam konstelasi politik nasional berlanjut. Pada 29 Maret 2022, Apdesi mengklaim setelah Idul Fitri, seluruh kepala desa berencana mendeklarasikan dukungan untuk Presiden Joko Widodo 3 periode.
LBP (Luhut Binsar Panjaitan) tentu saja sumringah, dan para pembantunya seperti Stafsus Ngabalin dan Menteri Investasi Bahlil menyambut umpan lambung ini dengan smash menukik demi memberi pembenaran pada dukungan Big Data yang diklaim LBP, yang telah disangkal berbagai pihak.
Sementara Kemendagri masih malu-malu mendukung secara terbuka, menyatakan menyangkal terlibat dalam operasi mobilisasi kepala desa.
Tentu saja manuver memobilisasi kepala desa untuk mendukung Jokowi tiga periode sudah sangat telanjang di mata publik. Menteri Desa Abdul Halim Iskandar adalah kakak kandung Cak Imin, Ketua Umum PKB yang melontarkan gagasan perpanjangan masa jabatan presiden.
Sedangkan Wamen Desa Budi Arie Setiadi adalah ketua umum Projo, relawan pendukung Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019. Maka tidak perlu lagi diperdebatkan mengapa kepala desa ikut-ikutan dikerahkan demi melancarkan agenda Jokowi tiga periode.
Jika melihat sikap Presiden Jokowi yang marah terhadap WAG TNI yang masih mempersoalkan IKN dengan alasan itu sudah diputuskan pemerintah dan DPR, maka tentunya konsistensi sikap Jokowi juga diterapkan kepada para pembantunya yang melontarkan gagasan Tiga Periode, bilamana pernyataan Jokowi taat konstitusi adalah benar dan dapat dipercaya publik.
Yang terjadi adalah tidak satupun teguran atau kemarahan yang terlontar dari Jokowi untuk menertibkan manuver para pembantunya. Apalagi tindakan mencopot mereka dari jabatan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa gerakan Jokowi tiga periode atau pun perpanjangan masa jabatan presiden, yang saya singkat menjadi GJTP/PMJP merupakan gerakan yang sistematis dan dikendalikan oleh istana.
Menarik untuk mengamati bahwa para kepala desa dimobilisasi untuk kepentingan politik elit di pusat, selain mobilisasi ormas dan kelompok/golongan lainnya. Karena meskipun pertarungan pamungkas nya akan terjadi di DPR/MPR, dukungan formal, meskipun hanya klaim dan tidak mencerminkan sikap akar rumput, dirasakan perlu oleh GJTP/PMJP untuk membentuk opini publik.
Yang patut dikritisi adalah sikap memobilisasi dukungan akar rumput dilakukan oleh instrumen kekuasan, yang tentu saja ini akan membelah masyarakat. Misalnya beberapa pihak dalam APDESI menyangkal klaim bahwa APDESI mendukung GJTP/PMJP. Hal yang sama juga terjadi ketika mahasiswa mengkritisi kelompok mahasiswa yang tergabung dalam Ormas Cipayung Plus menemui Presiden Jokowi di Istana.
Meskipun yang disampaikan adalah dukungan pada proyek IKN dan puja-puji kepada Jokowi, tentu saja tidak menutup kecurigaan sebagai bagian dari dukungan kepada GJTP/PMJP. Jadi nafsu kekuasaan istana tidak lagi memperdulikan kohesitas kehidupan sosial masyarakat. Bahkan cenderung memecah belah masyarakat.
Saya melihat, posisi presiden Jokowi sudah terjepit akibat agenda ini. Dalam lingkaran kekuasaan, sikap Megawati yang menolak GJTP/PMJP bagaimanapun juga telah memperlebar keretakan yang sebelumnya sudah ada. Sedangkan membatalkan GJTP/PMJP juga akan lebih merugikan presiden Jokowi terutama terkait dengan calon-calon yang dikehendaki Jokowi untuk memenangkan Pilpres 2024.
Landasan teorinya adalah Sindrom Petahana atau Sindrom Periode Kedua. Petahana memiliki impian untuk terus dikenang oleh rakyat, dipuja puji sebagai pemimpin yang berhasil dan mewariskan kejayaan. Juga ingin terus menjadi bagian dari God Father yang mengatur kekuasaan berikutnya. Hal ini pernah terjadi juga ketika lingkaran kekuasaan SBY mencoba menggoda SBY untuk tiga periode, tetapi SBY berhasil menolak gagasan itu.
Kini Jokowi tergoda. Bahkan sudah terjebak dan tersandera oleh lingkarannya sendiri, ketika anak-mantunya dikarbitkan jadi kepala daerah. Suatu hal yang belum pernah terjadi di era presiden sebelum-sebelumnya.
Sindrom Petahana Jokowi bukan lagi sekedar gagasan. Kini gagasan menambah masa kekuasaan presiden sudah turun pada tataran operasional meski harus membeli dukungan publik maupun kader partai pemilik suara di DPR demi mensiasati konstitusi.
Terkait membeli kader-kader partai, gagasan perpanjangan masa jabatan presiden akan sangat lebih menarik bagi kader partai yang merupakan petahana di DPR. Juga petahana di DPD. Karena masa jabatan mereka pun ikut diperpanjang sepaket dengan presiden. Singkatnya SPS, semua petahana senang.
Jika GJTP/PMJP gagal, sudah disiapkan rencana cadangan untuk menempatkan orang-orang pilihan sebagai penggantinya melalui berbagai mekanisme apapun yang mungkin terjadi bilamana terjadi deadlock politik yang menyebabkan peralihan kekuasaan ataupun mekanisme Pilpres 2024. Jadi dengan demikian saya memandang GJTP/PMJP akan terus dipaksakan semaksimal mungkin, apapaun resiko dan berapapun biayanya.
Sepertinya publik akan sia-sia berargumen bahwa menurut Undang-undang Kepala Desa tidak boleh berpolitik praktis. Jangankan melanggar UU, konstitusi pun dilawan oleh GJTP/PMJP.
Yang perlu disadari para elit dan tokoh masyarakat desa adalah bahwa pertarungan elit ketika di bawa ke akar rumput akan menimbulkan konflik horisontal, yang sangat memungkinkan menimbulkan pertumpahan darah. Dalam kehidupan politik desa, juga ada kader-kader partai politik, yang memungkin terjadi konflik di antara mereka sebagai turunan dari sikap politik yang tegas antara partai pendukung GJTP/PMJP dan partai yang menolak.
Misalnya kader-kader PDIP yang loyal dengan Ketumnya Megawati Soekarnoputeri akan berkonflik dengan kader-kader PKB atau Golkar yang mendukung GJTP/PMJP.
Sangat mungkin kehidupan sosial di masyarakat desa juga terusik bilamana ada improvisasi tak terkontrol para operator GJTP/PMJP misalnya memobilisasi para ketua RT/RW dan majelis taklim emak-emak dan pemuda karang taruna.
Dengan situasi ekonomi yang masih mencekik masyarakat menengah-bawah sejak pandemi Covid19 ditambah belakangan terjadi kenaikan harga sembako, gas, BBM, kelangkaan minyak goreng menjelang puasa Ramadhan, memang sepertinya akan mudah memobilisasi kepala desa dengan iming-iming materi.
Tetapi patut disadari juga bahwa tidak semua hal dapat dipertukarkan. Loyalitas masyarakat pada konstitusi, akhlaknya, harapan-harapannya tentang esok yang lebih baik paska Jokowi, tidak selalu dapat ditukar dengan materi yang ditawarkan penguasa. Di sinilah potensi kerusuhan sosial dapat terjadi di desa-desa.
Yang harus dicermati adalah dalam beberapa waktu mendatang, eskalasi akan semakin meningkat, dan besar kemungkinan akan ada mobilisasi dukungan GJTP/PMp oleh kelompok lain yg digerakkan oleh LBP cs. Memobilisasi masyarakat yang sesunggguhnya memang sudah terbelah sejak Pilpres 2014 akan sangat berbahaya karena akan berbenturan dengan kelompok-kelompok penjaga konstitusi yang juga sudah bergerak termasuk aksi-aksi mahasiswa.
Potensi konflik sosial antara pendukung dan penolak GJTP/PMJP di desa-desa serta yang terjadi di kota-kota besar akan mengakibatkan chaos serta ketidakstabilan politik dan keamanan nasional. Jika politik dan keamanan tidak stabil, justru pemerintah sendiri lah yang akhirnya menyebabkan para investor asing enggan berinvestasi di Indonesia.
*(Penulis adalah Direktur Eksekutif Infus dan penulis buku "Keserakahan Di Tengah Pandemi")