ANDIKA
Sejak dia tampil ke blantika musik melalui Kangen Band, Andika Mahesa lebih banyak di-bully. Gayanya norak, penampilannya ndeso, hingga style-nya lebih mirip kuli daripada anak band.
Saya ingat persis, lebih 10 tahun lalu, saat Kangen Band mulai laris, Andika dan rekannya hadir di acara Empat Mata yang dipandu Tukul. Sepanjang acara, Tukul tak henti-henti meledek Andika yang ndeso sebagaimana dirinya.
Kita pun tertawa terbahak-bahak bersama Tukul. Tanpa sadar, kita sedang mentertawakan diri sendiri. Sebab Andika adalah representasi dari sebagian besar rakyat Indonesia sebagaimana sering kita saksikan dalam film tahun 1980-an, yakni sosok dari kampung yang merantau ke kota dengan gaya norak, lalu mendadak sukses.
Bagi saya, Andika dan Kangen Band pandai membidik pasar. Musiknya kurang cocok didengar di kafe-kafe mahal di kota, sebagaimana musikya Kla Project, Gigi, ataupun Dewa. Namun musiknya sangat popular didengarkan di kalangan rakyat menengah ke bawah. Musiknya cocok tampil di berbagai acara kondangan hingga sunatan massal.
Musiknya ada nuansa music Melayu yang sejak dulu punya penggemar jelas. Selain Kangen Band, mereka yang bermain di genre ini adalah Noah, ST12, Wali, dan banyak lagi.
Lirik lagu yang dibuat Andika selalu sederhana. Tema yang dibahas adalah tema yang sering dihadapi anak-anak muda. Mulai dari tema cinta hingga perselingkuhan.
Musiknya juga easy listening. Mudah diingat. Coba saja dengar lagunya. Banyak lagu yang akrab di telinga. Kita kadang baru menyadari kalau lagu populer itu dinyanyikan Kangen Band.
Berbeda dengan vokalis grup band lain, Andika adalah sosok paling sering di-bully. Tapi saya menduga, penampilan ndeso dan kisah hidup Andika yang memulai karier sebagai pedagang bakso dan kuli itu sengaja didramatisir. Dunia hiburan kita butuh drama menye-menye. Masyarakat kita mudah iba.
Media juga suka mengeksplor banyak sisi kehidupan Andika yang benar-benar mewakili tipikal orang kebanyakan. Setelah kaya, mulailah dia gonta-ganti istri. Dia kawin cerai dengan banyak wanita cantik. Dia dijuluki “Babang Tamvan”
Tentu saja, banyak orang yang geram, sebab orang-orang hanya melihat fisik. Orang tidak melihat valuasi “intangible aset” pada diri Andika yang terus meningkat seiring musik dan poplaritasnya bertumbuh.
Terlepas dari itu, Andika adalah tipe pesohor yang menikmati semua publisitas tentang nya. Dia bukan sosok yang mudah menyerah. Dia tangguh dalam bermusik. Dia punya daya tahan sebagaimana rumput liar, yang tetap tumbuh meskipun selalu disabit. Dia tetap berdiri tegak meskipun selalu dihina.
Beberapa hari lalu, dia kembali di-bully oleh dua anak “kemarin sore.” Respon Andika juga luar biasa. Dia hanya komentar singkat “Mereka tuh ngehina diri mereka sendiri. Iya dong, merendahkan. Ketika mereka mem-publish itu, mereka merendahkan diri mereka sendiri ke publik, artinya menunjukkan mereka itu seperti itu.”
Dia benar juga. Anak “kemarin sore” yang suka cover lagu itu itu hanya bisa membicarakan Andika, tanpa menampilkan orisinalitasnya. Anak itu hanya bisa menyanyikan lagu orang, sementara Andika punya pencapaian jauh di awang-awang, yakni buat album. Punya penggemar, juga sering digosipkan.
Setiap makian yang keluar dari mulut kita hanya akan merendahkan diri kita. Setiap umpatan pada orang lain hanya menunjukkan betapa kerdilnya diri kita. Setiap nyinyir hanya menunjukkan kegagalan kita dalam berkompetisi dengan orang lain.
Setiap hinaan, kian menunjukkan kegagalan kita dalam mengeluarkan sisi terbaik kita, sehingga kita lebih sibuk membahas orang lain. Musisi Armand Maulana merespon, “Kamu bisa saja bully music Andika. Tapi dia bisa menghasilkan miliaran.”
Saya ingat mendiang Presiden BJ Habibie. Beberapa tahun lalu, saat dinyinyirin oleh pejabat di Malaysia, dia hanya menjawab singkat: “Kalau ada yang menghina Anda, anggap aja sebagai sebuah pujian, bahwa dia berjam-jam memikirkan Anda, sedangkan Anda tidak sedetik pun memikirkan dia.”
Belajar dari Andika dan Habibie, lebih baik kita memikirkan ide-ide serta potensi terbaik kita, ketimbang membicarakan orang lain. Persis yang dikatakan Eleanor Roosevelt:
“Great People Talk about Ideas,
Average People Talk about Things
Small People Talk about Other People.”
(Oleh: Yusran Darmawan)