Tidak Ada Krisis Untuk Elit Mahakuasa
Oleh: Made Supriatma*
Hari ini saya baca harga batubara naik. Ia bahkan mencapai rekor tertinggi. Harga untuk pengapalan di pelabuhan Newcastle di New South Wales, Australia, melonjak ke US$418 per ton. Ini jauh melampaui rekor harga empat bulan lalu US$269 per ton.
Indonesia adalah salah satu produsen utama batubara. Produksi batubara Indonesia adalah 606,22 juta ton pada 2021. Jumlah itu meningkat 7,2% dibandingkan 2020 yaitu 565,69 juta ton.
Namun kualitas batubara Indonesia tidak begitu baik. Oleh karena itu harganya pun tidak setinggi yang ditambang di Australia. Harga batubara Indonesia saat ini adalah US$ 203,69 per ton. Itu naik US$ 15,31 per ton dari bulan Februari lalu yang sebesar US$ 188,38 per ton.
Sekalipun demikian, kenaikan harga ini adalah durian runtuh untuk industri batubara Indonesia. Pada Juni 2020, harga batubara Indonesia penarh mencapai titik terendah, yakni hanya US$ 50,05 per ton.
Namun, produsen Indonesia diikat oleh keharusan untuk mengalokasikan produksinya untuk pasar domestik (Domestic Market Obligation/DMO). Besarnya adalah 25% dari produksi.
DMO itu diperlukan untuk menjamin pasokan batubara Indonesia. Seperti diketahui, konsumen utama batubara Indonesia adalah pembangkit listrik, yang hampir seluruhnya dikuasai oleh PLN. DMO itu menjadi semacam penyangga harga. Ketika harga naik, memang produsen merugi karena tidak bisa menjual produksinya ke pasar internasional. Tapi pengusaha bisa selamat ketika harga anjlok karena masih ada pembelinya, yaitu negara lewat PLN.
Mengapa harga batubara naik? Salah satu yang paling sering disebut adalah invasi Rusia ke Ukraina. Rusia adalah salah satu produsen batubara besar di dunia. Negara-negara Barat sangat tergantung dari pasokan batubara, minyak, dan gas dari Rusia.
Ketika invasi ini terjadi negara-negara Barat memang tidak menghentikan pembelian energi dari Rusia. Negara-negara Barat hanya mengisolasi Rusia dari perdagangan internasional dengan memutus rantai keuangan dan perbankan. Ini adalah bom nuklir ekonomi untuk Rusia. Produsen energi Rusia bisa mengekspor, tetapi mereka tidak bisa mendapatkan uangnya karena lalu lintas finansial dari negara-negara Barat ke Rusia terhenti.
Akibatnya, Rusia pun tidak bisa berproduksi. Harga-harga produk energi rata-rata mengalami kenaikan.
Indonesia, disamping mendapat devisa lebih banyak dari ekspor batubara, juga harus menanggung kerugian. Harga minyak dan gas naik di pasaran internasional.
Kita tahu bahwa energi merupakan hal yang sangat sensitif dalam ekonomi politik Indonesia. BBM Indonesia disubsidi besar-besaran oleh pemerintah. Presiden yang berani menaikkan harga BBM akan segera mendapati popularitasnya melorot.
Seberapa lamakah pemerintah akan mampu menahan kenaikan harga energi ini karena semakin naik, beaya subsidi akan semakin membengkak? Di tingkat konsumen kenaikan itu sudah dirasakan. Harga gas elpiji non-subsidi 12 kg kabarnya sudah naik Rp 25 ribu. Kita tunggu apakah pemerintah bisa bertahan untuk tidak mengurangi subsidi yang semakin meninggi.
Efek perang ini terhadap ekonomi global ini sudah jelas. Ia akan dirasakan pula di dalam negeri. Naiknya harga energi akan mempengaruhi komoditas-komoditas lainnya.
Sodara mungkin senang bahwa batubara naik hampir empat kali lipat dan produksi kita ratusan juta ton itu akan menghasilkan berton-ton uang dollar juga. Namun, harus diingat, para industri batubara itu dikuasai oleh para "Coal Baron" -- dengan nama-nama seperti Thohir, Uno, Soerjadjaja, Panjaitan, dan lain-lain. Mereka ada di lingkaran lapis pertama kekuasaan di negeri ini.
Kesanalah dollar yang berton-ton itu mengalir. Sementara, gas elpiji, minyak goreng, kedele, daging sapi ... semua komoditi yang sekarang harganya melambung itu adalah kebutuhan rakyat biasa.
Kita memang belum merasakan krisis ini. Semuanya ini masih bisa ditanggungkan karena kita masih bisa mencari subsitusi. Selama kita bisa makan nasi disiram kuah IndoMie, saya kira kita akan baik-baik saja.
Itulah sebabnya para elit kita sekarang memiliki rasa kepercayaan diri (self-confidence) yang sangat tinggi. Dalam krisis pandemi ini, mereka masih bicara tentang balap motor dan mempromosikan habis-habisan betapa pentingnya nonton balapan di Sirkuit Mandalika.
Bahkan kabarnya Gubernur NTB mewajibkan para pegawai bawahannya membeli karcis untuk nonton balap motor di Mandalika. Seakan naiknya harga minyak goreng dan tempe-tahu bisa digantikan dengan hiburan di Mandalika.
Dan, para elit kita sudah bicara perpanjangan masa jabatan presiden. Alasannya? Perang di Ukraina dan efek pandemi. Sebagian menyebut alasan lain demi kelangsungan proyek Ibukota Negara Baru.
Oh yang terakhir ini adalah proyek yang memakan beaya US$35 milyar atau Rp 501 trilyun. Ini jumlah fantastis yang menggiurkan. Barangkali ini pula yang menjelaskan mengapa para elit kokoh bersatu menentang perubahan -- perubahan kepemimpinan yang demokratis lewat pemilihan umum.
Lalu apa rangkaiannya dengan harga batubara? Baik dimasa perang mau pun damai; di masa pandemi maupun endemi; di masa sehat maupun sakit ... para elit ini selalu menjadi pemenangnya.
Harga batubara tentu akan mengirim berton-ton dollar ke rekening mereka. Sebagaimana vaksin, tes PCR, dan semua penderitaan akibat pandemi. Jaman ini adalqh jaman keemasan para elit itu. Tidak heran jika mereka ingin mengawetkannya.
(Ket. Foto: Sebuah patung orang masih hidup yang akan dipasang di depan Sirkuit Mandalika)
*Sumber: fb penulis