[Editorial Koran Tempo, 8 Maret 2022]
Waspadai Pembajak Demokrasi
MENILIK usaha yang gencar dan berulang kali dari politikus di sekitar Presiden Joko Widodo, gagasan memperpanjang masa jabatannya ada kemungkinan akan terus berdengung. Para politikus memanfaatkan kelengahan publik untuk bisa menyusupkan agenda ini.
Apalagi Jokowi tak tegas menolak usul yang diputar melalui para ketua umum partai koalisinya ini. Ia memang pernah tegas menolak perpanjangan masa jabatan presiden dua tahun lalu. Tapi membaca Jokowi adalah membaca kebalikan ucapan dan tindakannya. Jika ia berkukuh pada penolakan, seharusnya gagasan itu tak muncul lagi akhir-akhir ini.
Meski bungkusnya penundaan pemilihan umum, orang awam pun akan segera tahu implikasinya pada perpanjangan masa jabatan presiden. Petunjuk bahwa Jokowi merestuinya adalah isu ini digoreng oleh para pembantunya, partai penyokongnya, bahkan lembaga kajian yang dibuat orang-orang dekatnya.
Penundaan pemilu ataupun perpanjangan masa jabatan presiden menuntut amendemen UUD 1945 yang mewajibkan pemilu lima tahun dan presiden hanya boleh menjabat dua periode. Pembatasan kekuasaan adalah mandat reformasi agar seorang presiden tak memerintah selamanya. Sebab, kekuasaan—sejarah membuktikan—cenderung korup.
Masa kekuasaan Jokowi masih dua tahun lagi. Ini waktu yang cukup bagi partai koalisi mewujudkan amendemen konstitusi untuk mengegolkan gagasan perpanjangan masa jabatan presiden atau menunda pemilu. Dengan menguasai 81 persen kursi DPR, pendukung Jokowi bukan tidak mungkin bisa mencapai ide ini.
Karena itu, penolakan terhadap gagasan melanggengkan kekuasaan harus bersama-sama kita galang. Publik harus menyuarakannya untuk mematahkan klaim pendukung Jokowi bahwa dua gagasan itu diinginkan publik. Sebab, sesungguhnya klaim itu kesimpulan yang meloncat. Survei memang menyebutkan 70 persen responden puas atas kinerja Jokowi, tapi bukan berarti mereka mendukung penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Pertaruhannya sangat besar jika itu gol. Demokrasi Indonesia secara resmi kolaps. Kita akan kembali ke era kegelapan otoritarianisme. Tidak ada yang bisa memprediksi, jika gagasan itu tunai, Jokowi tak akan tergoda menjadi presiden seumur hidup.
Jokowi dan orang-orang dekatnya yang haus kekuasaan, atau para bohir yang mendapat untung besar pada masa Jokowi, mungkin buta sejarah. Dua presiden, Sukarno dan Soeharto, jatuh dengan hina karena hendak berkuasa tanpa batas waktu.
Publik harus mengingat mereka yang mendukung gagasan menunda pemilu atau memperpanjang masa jabatan presiden. Jangan pilih mereka dalam pemilu karena mengkhianati prinsip dasar demokrasi, yang memungkinkan mereka berkuasa melalui partai.
Ada urusan lebih besar yang harus mereka—para politikus itu—perjuangkan ketimbang memikirkan kekuasaan belaka: membuat hukum dan kebijakan yang menyejahterakan orang banyak. Gagasan menunda pemilu dan membuat Jokowi berkuasa terus adalah niat yang seharusnya tak sedikit pun tebersit di benak politikus mana pun.
(Sumber: Editorial Koran Tempo, 8 Maret 2022)