[PORTAL-ISLAM.ID] Smith Alhadar: Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)
Ada rasa bersalah komunitas internasional atas nasib umat Islam di seluruh dunia saat ini. Ketika AS pada 2001 mendeklarasikan “war against terrorism” yang kebetulan berlatar belakang agama Islam, atmosfir islamphobia pun berkecambah di seluruh dunia. Baik rezim-rezim zalim di negara-negara Islam maupun di negara non-Muslim, yang repot berurusan dengan kaum Islamis maupun separatis Islam, memanfaatkan momentum itu untuk mengganyang musuh mereka. Semua mengatasnamakan perang melawan terorisme. Pada kenyataannya, sebagian besar hanya preteks untuk membungkam mereka yang kritis terhadap rezim.
Maka kita menyaksikan penindasan Muslim Uighur oleh rezim komunis Cina. Di Myanmar, junta militer melakukan ethnic cleansing terhadap Muslim Rohingya. Di Afghanistan, AS memerangi Taliban yang dulu dilabeli teroris. Di negara-negara Arab — seperti Mesir, Suriah, Arab Saudi, Bahrain — dan negara-negara Asia Tengah, kelompok-kelompok Islam yang menuntut demokrasi diperangi habis-habisan, bahkan dengan menghalalkan segala cara. Di India, sayap kanan Hindu pendukung Partai Bharatya Janata yang berkuasa, melancarkan kampanye anti-Islam yang berpotensi mengganggu ketertiban dan perdamaian dunia. Tak dapat dimungkiri bahwa ada kaum Muslim di seluruh dunia yang hendak mendirikan khilafah, seperti ISIS, berbasis ideologi salafi ultrakonservatif. Mereka tak saja memerangi non-Muslim, tapi juga kelompok Islam mana pun yang berseberangan faham dengan mereka. Tapi jumlah mereka, menurut PBB, hanya satu persen dari sekitar 1,6 miliar umat Islam di seluruh dunia.
Untuk menebus rasa bersalah itu, PBB menetapkan 15 Maret sebagai “Hari Internasional Melawan Islamphobia”. Beberapa waktu sebelumnya , AS juga mengeluarkan UU Anti-Islamphobia. Tujuan PBB dan AS adalah menutup peluang para penguasa otoriter menyalahgunakan kebijakan “war against terrorism” dengan membasmi kelompok-kelompok politik yang mengganggu status quo, bahkan dilakukan dengan cara-cara yang sangat biadab. Sebagian dari kelompok-kelompok itu justru mendukung demokrasi.Juga bertujuan mengekang aktor-aktor non-negara, baik yang bergerak independen maupun atas sponsor rezim, melampiaskan dendam mereka pada seluruh kaum Muslim, ternasuk mereka yang tidak bersalah. Memang sangat tidak adil, bahkan kejam dan picik, meletakkan Islam sebagai agama yang mengusung terorisme.
Islam bukan agama kemarin sore. Eksistensinya telah melewati lebih dari 14 abad di hampir semua sudut dunia. Sepanjang waktu itu sebelum kemunculan Al-Qaedah pada 1990-an dan ISIS pada 2014 — yang keduanya ditolak Islam mainstream di seluruh dunia — Islam adalah bagian dari peradaban dunia, yang sumbangsihnya terhadap ilmu pengetahuan, sains, filsafat, teknologi, toleransi, pluralisme, dan kebebasan dunia tak dapat dibandingkan dengan agama mana pun yang pernah ada di dunia. Penghapusan perbudakan dan pengakuan atas perbedaan etnis dan ras manusia merupakan deklarasi Islam paling mendasar, yang baru diadopsi dunia lebih dari satu milenial kemudian. Tanpa kontribusi peradaban Islam yang gemilang itu, tidak mungkin ada renaisans di Eropa yang kebetulan hari ini menjadi menara gading peradaban dunia. Betul dalam sejarah Islam pernah muncul kaum khawarij dan assassin, yang kadang melancarkan kekerasan terhadap establishment. Namun, kelompok-kelompok sempalan seperti ini, yang juga terdapat di seluruh agama-agama dunia, terlalu kecil untuk disebut.
Kemunculan pendukung Al-Qaedah dan ISIS pun harus dilihat dari fenomena sosial, budaya, dan politik dunia kekinian di mana Barat pimpinan AS menghegemoni weltanschaung (world view) dunia Islam. Frustrasi menghadapi kekalahan demi kekalahan di hadapan hegemoni Barat, yang tak jarang mendukung penguasa-penguasa zalim demi keuntungan mereka sendiri, mereka mengangkat senjata melawan musuh jauh maupun dekat. Al-Qaedah memilih serangan terorisme terhadap sasaran-sasaran AS (musuh jauh), sementara ISIS meneror penguasa Islam itu sendiri beserta semua perangkat politiknya (musuh dekat). Tentu saja aksi-aksi brutal dan picik mereka sangat menyedihkan. Tetapi hal itu harus dilihat sebagai pemberontakan orang-orang yang putus asa terhadap ketidakadilan global di mana komunitas Muslim hanyalah pemain pinggiran sebagai pelengkap penderita dalam menunjang hegemoni Barat dan kapitalisme global. Dalam frustrasi ini mereka menemukan khotbah Sayid Qutb bahwa kemalangan kaum Muslim saat ini disebabkan kelalaian kaum Muslim sendiri yang telah meninggalkan ajaran Islam yang sejati sambil memeluk peradaban Barat yang korup (jahiliyah modern). Bagaimanapun, ideologi jihadi dan takfiri dari Al-Qaedah dan ISIS harus ditolak karena Islam pada hakikatnya mengajak pemeluknya untuk berpikir rasional menghadapi fenomena alam maupun fenomena sosial. Berkat ajaran inilah Islam membawa obor peradaban dunia selama paling tidak seribu tahun. Sejarah otentik Islam ini tak difahami oleh kaum Muslim sendiri dan rezim otoriter merepresi kaum Muslim yang berakibat pada instabilitas negara, mengganggu progres bangsa, perpecahan dalam masyarakat, pelanggaran HAM, dan mendegradasi demokrasi.
Di saat komunitas internasional dan AS menyadari ketidakadilan mereka terhadap Islam, di Indonesia yang demokratis — negara Muslim terbesar di dunia yang mengklaim diri sebagai penganut Islam moderat dan toleran — peran kaum Muslim urban di ruang publik justru sedang ditindas. Tokoh-tokohnya dipenjarakan dan organisasinya dibubarkan. Kebijakan diskriminatif ini dibuat sejak 2014 ketika populisme Islam yang memberikan suara pada pasangan Prabowo Subianto kalah melawan pasangan Joko Widodo. Pasalnya, kendati kalah, populisme Islam melanjutkan perlawanan mereka terhadap rezim Jokowi, bahkan perlawanan kian keras seiring dengan kian kerasnya penindasan rezim kepada mereka. Diksi radikalisme, yang sebenarnya merujuk pada aktivitas politik, dipakai untuk melabeli kelompok agama.
Mereka dituduh hendak mendirikan khilafah. Tentu saja tuduhan ini palsu belaka. Tujuannya hanya menakut-nakuti rakyat dan memecah-belah masyarakat agar memudahkan rezim mengontrolnya dan membuat kaum Muslim sibuk bertengkar sehingga luput dari perhatian pada kinerja rezim yang bekerja untuk oligarki ekonomi dan politik. Populisme Islam bukan mereka yang hendak mengganti negara Pancasila dengan khilafah. Tapi mereka yang ingin rezim Jokowi menghadirkan keadilan sosial bagi semua. Juga perhatian pada aspirasi budaya mereka ketika nilai-nilai liberalisme dari luar menyusup hingga ke kamar tidur keluarga-keluarga Muslim. Gelombang pasang konservatisme Islam di Indonesia harus dilihat dari kacamatan ini.
Kecuali HTI yang ideologinya kurang appeal di masyarakat, tidak ada kelompok Islam di Indonesia yang menghendaki tegaknya negara Islam, termasuk FPI pimpinan Habib Rizieq Shihab. Habib Rizieq menganggap NKRI berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika sudah final. Tapi memang ia menghendaki pemberlakuan syariah berdampingan dengan hukum positif karena, menurut interpretasinya berdasarkan Piagam Jakarta, negara Pancasila mengakomodasi aspirasi syariah. Kita boleh tak sependapat dengannya, tapi lawan argumennya secara ilmiah karena Habib Rizieq mengemukakan pendapatnya berdasarkan kajian ilmiah tentang sejarah lahirnya Pancasila-UUD dikaitkan dengan aspirasi syariah para tokoh Muslim pada waktu itu.
Saya bukan pendukung Habib Rizieq, tapi bangsa ini harus didewasakan dengan perdebatan ilmiah di antara komponen bangsa untuk segala hal, termasuk isu sensitif terkait dasar negara. Apalagi, meski selalu dikatakan Pancasila sebagaimana bentuknya sekarang telah final, sesungguhnya bentuk relasi negara dan agama belum selesai. Kita tak perlu takut pada pikiran Habib Rizieq. Apalagi, mayoritas Muslim Indonesia bersikap moderat. Aspirasi pemberlakuan syariah pun sudah sangat melemah setelah intelektual Muslim Nurcholish Madjid dan pengikutnya melakukan desakralisasi politik. Melemahnya aspirasi negara Islam dapat dilihat dari kecilnya perolehan suara parpol-parpol dengan konstituen Muslim. Dalam hasil pileg terakhir, total suara yang diraih parpol berbasis Islam — PKB, PKS, PPP, dan PAN — hanya sekitar 30 persen. Ini menunjukkan kaum Muslim kini lebih peduli pada masalah budaya dan ekonomi ketimbang pada politik. Nampaknya, mereka lebih percaya pada kemampuan parpol non-Islam melahirkan kesejahteraan dan kemajuan bangsa ketimbang parpol Islam, meskipun pada kenyataannya parpol-parpol pendukung rezim lebih banyak terlibat korupsi dan melayani kepentingan rezim yang bekerja untuk kepentingan oligarki.
Sayangnya ormas Islam yang strategis menari dengan gendang yang ditabuh rezim. Mereka sibuk mengamplifikasi propaganda rezim tentang bahaya radikalisme Islam tanpa merinci apa yang dimaksud dengan istilah itu. Da’i Wahabi Khalid Basalamah, misalnya, dikaitkan dengan Islam radikal, padahal ia sangat apolitis. Ia menolak sikap dan kiprah politik Habib Rizieq. Khalid menganggap tidak etis mengkritik pemerintah secara terbuka. Kalau memang ada yang tidak beres dengan rezim, maka Khalid menganjurkan agar ulama datang diam-diam ke istana, lalu membisiki presiden tentang hal-hal yang dianggap melenceng. Pandangan Khalid ini mewakili pandangan Wahabi ortodoks yang mungkin sejalan dengan pandangan NU yang selalu menekankan pada stabilitas negara sebagaimana pandangan mayoritas Wahabi ortodoks di Arab Saudi. Kita juga dibuat tak habis pikir ketika NU sangat toleran pada non-Muslim tapi sangat intoleran terhadap kelompok Islam lain. PBNU di bawah Yahya Cholil Staquf ingin memainkan peran konstruktif di arena internasional dengan mempromosikan Islam moderat dan toleran. Dengan kata kain, Gus Yahya ingin menjadi juru bicara Islam sedunia. Namun, bagaimana mungkin itu bisa dilakukan ketika di dalam negeri sendiri NU menunjukkan sikap permusuhan terhadap kalangan Islam non-NU. Ia bahkan menunjukkan sikap sinis terhadap Arab.
Sikap anti terhadap apa yang disebut sebagai “Islam radikal” itu ditunjukkan rezim lebih jauh dengan mengangkat Ketua PB Banser Anshor Yaqut Cholil Quomas sebagai menteri agama. Yaqut diketahui sangat toleran pada non-Muslim, tapi sangat galak terhadap orang-orang yang dicap Wahabi. Baru-baru ini dia membuat analogi yang kontroversial ketika ia menyamakan suara adzan dengan gonggongan anjing. Sebenarnya kalau benar NU sangat concern pada kelangsungan hidup NKRI, dan karena itu menjaga keharmonisan hidup antargolongan agama, maka menerima eksistensi semua kelompok Islam merupakan keniscayaan. Melawan sesama Muslim, yang disukai rezim, justru memecah belah masyarakat yang akan jadi penghalang bagi kemajuan bangsa, bahkan mengancam stabilitas negara yang hendak dijaga NU.
Harus diketahui bahwa pendukung populisme Islam, yakni mereka yang sekadar menuntut pengakuan atas eksistensi mereka, cukup besar. Hasil survei Indikator Politik Indonesia pada Februari 2020 mengungkapkan, jumlah pendukung populisme Islam sebesar 16,3 persen, penentangnya 33,9 persen, dan yang netral sebesar 49,8 persen. Kalau dikonversikan ke dalam angka, 16,3 persen itu hampir mendekati 50 juta jiwa. Ini jumlah yang tidak main-main. Terus menekan mereka tanpa alasan yang masuk akal, bukan saja akan menimbulkan ketegangan yang serius di dalam masyarakat, tapi juga akan membengkakan jumlah mereka. Mereka yang netral (49,8 persen) menyatakan, keberpihakan mereka pada salah satu bergantung pada situasi dan kondisi politik yang dihadapi. Dus, ada potensi membesarnya jumlah pendukung populisme Islam bilamana rezim semakin memarginalisasi mereka.
Perpecahan umat Islam di masyarakat akan bertahan kecuali pilpres 2024 menghasilkan pemimpin yang memahami masalah ini. Tetapi memahami saja tidak cukup. Ia harus punya akseptabilitas tinggi terhadap dua kelompok yang bertikai dan punya komimen kuat untuk mendamaikan mereka. Dari aspiran capres dengan elektabilitas tinggi, hanya Anies Baswedan yang punya modal sosial untuk itu. Ia cerdas, tulus, dan nasionalis-relijius yang punya cita-cita besar memajukan Indonesia. Ia juga memasang jarak dengan oligarki, pihak yang diduga kuat berperan penting dalam mendesak Jokowi merepresi pendukung populisme Islam yang terlalu vokal menyuarakan penentangan mereka terhadap kebijakan dan sikap rezim yang dipandang merugikan bangsa Indonesia. Pilpres 2024 juga akan disorot kekuatan-kekuatan dunia karena Indonesia sebagai kekuatan Islam terbesar di Asia Pasifik merupakan game changer dalam persaingan Cina-Rusia melawan kekuatan Barat plus sekutunya. Indonesia diharapkan Barat cukup berjarak dengan Cina ketika beberapa anggota Asean, seperti Myanmar, Kamboja, dan Laos condong ke Cina. Tidak seperti rezim Jokowi yang terlalu membuka pintu lebar-lebar terhadap masuknya pengaruh Cina, pasca 2024 Barat menginginkan Indonesia lebih “resisten” terhadap pengaruh Cina dan lebih berimbang dalam kebijakan luar negerinya dalam konteks persaingan negara-negara besar itu. Dengan demikian, Barat pimpinan AS menginkan pemerintah Indonesia yang barub dalam ideologi dan visi yang mengakomodasi aspirasi Islam sehingga menjadi penyeimbang dalam formula politik regional Indonesia vis a vis Cina. Maka Anies Baswedan merupakan harapan Barat memimpin Indonesia ke depan. Kebetulan Anies meng-share nilai-nilai demokrasi dan HAM dengan mereka. Tentu Anies tak diharapkan membuat kebijakan anti-Cina yang tidak sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia. Yang diharapkan Barat adalah Anies mengakomodasi keprihatinan Barat atas sikap Cina yang makin asertif di Indo-Pasifik. Maka kemunculan Anies sebagai presiden merupakan jawaban Indonesia terhadap masalah nasional, regional, dan internasional. [suaranasional]