Mobilisasi Kotor Kepala Desa
Perpanjangan masa jabatan presiden jelas melanggar esensi demokrasi. Kita tak boleh lupa bahwa gagasan pembatasan kekuasaan adalah salah satu capaian penting gerakan reformasi 1998. Pengalaman selama era Presiden Sukarno dan Soeharto mengajarkan bahwa krisis politik besar selalu mengintai jika maju-mundurnya negara hanya ditentukan oleh satu orang. Atas dasar itulah, konstitusi tegas mengatur presiden di republik ini hanya bisa dipilih dua kali.
Karena itu, pernyataan dukungan para kepala desa atas perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi, yang disuarakan pada Selasa, 29 Maret 2022 di Istora Senayan, patut dicurigai. Selain mengindikasikan ketidakpahaman mereka atas prinsip demokrasi, kuat dugaan ada mobilisasi politik di balik deklarasi lancung itu.
Tampaknya orang-orang di sekitar Presiden Jokowi tak punya urat malu untuk terus menyuarakan ide kotor perpanjangan masa jabatan presiden. Tiga menteri yang menjadi pembina asosiasi kepala desa--Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, serta Menteri Desa Abdul Halim Iskandar--harus menjelaskan dengan terbuka apa peran mereka dalam deklarasi para kepala desa.
Menteri Luhut, Tito, dan Abdul Halim juga harus berbesar hati meminta maaf kepada khalayak ramai. Kalaupun bukan mereka yang menggerakkan deklarasi para kepala desa, ketiga menteri ini jelas-jelas bersalah atas pembiaran. Mereka juga gagal menjelaskan kaitan antara pentingnya pembatasan masa jabatan presiden dan akuntabilitas pejabat publik di hadapan rakyat pemilihnya kepada para pentolan asosiasi kepala desa. Kalau Luhut, Tito, dan Abdul Halim menjalankan tugas sebagai pembina asosiasi dengan baik, mobilisasi politik para kepala desa semacam itu tak akan terjadi.
Tentu saja, aspirasi politik mereka sebagai warga negara sah-sah saja disampaikan. Namun, ketika aspirasi itu disampaikan dalam kapasitas jabatan mereka sebagai kepala desa, jangan kaget jika muncul tudingan bahwa mereka hanya menjadi boneka yang digerakkan para dalang secara diam-diam di balik tirai. Terlebih, posisi kepala desa sepatutnya jauh dari kegiatan politik praktis tingkat nasional. Senyum lebar Luhut Binsar Pandjaitan ketika hadir dalam acara deklarasi politik kepala desa mengundang banyak tafsir di publik.
Faktanya, kini elite politik telah menyeret ribuan kepala desa ke permainan politik kotor di tingkat nasional. Desa, yang sepatutnya merupakan wilayah otonom nan demokratis terkecil di negeri ini, sekarang tercemar oleh persekongkolan para oligark. Petualang-petualang politik telah menarik desa ke dalam kubangan dekil untuk tujuan-tujuan antidemokrasi.
Bola kini di kaki Jokowi. Jika konsisten dengan pernyataannya tahun lalu, Jokowi harus menolak semua bujuk rayu untuk perpanjangan masa jabatan presiden. Dia telah bersumpah di awal masa jabatannya untuk setia dan tegak lurus menjaga konstitusi. Mobilisasi dukungan untuk perpanjangan masa jabatan presiden sudah merupakan pelanggaran berat atas konstitusi itu sendiri. Presiden semestinya paham, sebanyak apa pun jumlah pendukung perpanjangan masa jabatan presiden, semua itu tidak relevan. Sebab, pada akhirnya Indonesia adalah negara hukum, bukan negara mobokrasi yang gerak politiknya bergantung pada suara siapa yang paling lantang berteriak.(*)
*Sumber: Editorial Koran Tempo 31 Maret 2022