[PORTAL-ISLAM.ID] Ekonom Senior Faisal Basri menyayangkan keputusan pemerintah yang hanya menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN), tetapi tak ikut melakukannya pada pajak keuntungan perusahaan besar.
Apalagi, selama ini perusahaan besar sudah mendapatkan banyak fasilitas atau keringanan pajak dari pemerintah. Dan bahkan katanya karena fasilitas itu, perusahaan smelter China di RI tak bayar pajak.
“Fasilitas-fasilitas yang diberikan kepada perusahaan besar itu jauh lebih banyak, misalnya penurunan pajak keuntungan perusahaan dari 25 persen ke 22 persen,” ujar Faisal, dikutip Kamis (24/3/2022).
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Pasal 17 Ayat 1 B diatur ketentuan bahwa wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha terkena tarif pajak penghasilan (PPh) sebesar 22 persen, alias tidak naik. Angkanya tak berubah dibandingkan 2021 lalu. Namun, tarif PPh itu turun jika dibandingkan dengan 2019 lalu yang mencapai 25 persen.
Situasi ini berbanding terbalik dengan kebijakan PPN, di mana pajak akan dibebankan kepada masyarakat luas, termasuk menengah bawah yang membeli barang-barang kena pajak yang tarifnya justru naik. Oleh karena itu, Faisal menilai keputusan pemerintah untuk mengerek PPN sangat memaksakan.
“Cenderung memaksakan dan yang menyayat hati kok pajak keuntungan perusahaan diturunkan (jika dilihat sejak 2019 ke 2021). Kemudian, perusahaan smelter China bayar pajaknya nol,” tegas Faisal.
Ia pun menanyakan keberpihakan pemerintah saat ini. Pasalnya, pemerintah seakan-akan membuat kebijakan untuk masyarakat China, bukan RI.
“Semua dikecualikan bagi mereka (China), bahkan mereka akan mendapatkan fasilitas royalti nol persen. UU nya sedang dibahas, jadi semua diberikan atas nama investasi, semua dibebankan pada rakyat,” ucap Faisal.
Lebih lanjut, Faisal menilai kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen akan menekan daya beli masyarakat. Sebab, kemampuan beli masyarakat masih lemah saat ini. Belum lagi, harga sejumlah komoditas juga naik imbas perang Rusia-Ukraina. Ditambah, perubahan iklim membuat harga pangan global naik.
“Ini ancaman yang lebih besar daripada PPN dan pada saat yang sama PPN ini menambah beban,” ujar Faisal.
Oleh karena itu, ia meminta pemerintah membuat kebijakan yang adil dan berpihak kepada masyarakat kecil. Jika terus begini, bukan tak mungkin rakyat akan marah ke depannya.
“Saya tidak bisa membayangkan kalau rakyat marah,” pungkas Faisal.
Sebagai informasi, pemerintah akan menaikkan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen mulai 1 April 2022. Hal ini tertuang dalam UU HPP.
(Sumber: CNNIndonesia)