[PORTAL-ISLAM.ID] Satu per satu investor pembangunan Ibukota Negara (IKN) Nusantara dikabarkan mundur.
Dua konsorsium yang menjadi investor pembangunan megaproyek Ibu Kota Negara Nusantara dikabarkan menyusul SoftBank yang batal membenamkan dananya untuk mengembangkan pusat pemerintahan baru di Pulau Kalimantan tersebut.
Informasi tersebut diperoleh Bisnis.com dari dua sumber yang berbeda, masing-masing dari kalangan yang memiliki hubungan dekat dengan eksekutif dan legslatif.
Sumber Bisnis.com yang dekat dengan legislatif mengatakan ada dua konsorsium yang ancang-ancang untuk mundur dari komitmennya dalam membantu pendanaan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Akan tetapi dia tidak bersedia memberikan identitas konsorsium tersebut, termasuk alasan yang menjadi dasar pembatalan penanaman modal yang telah dijanjikan.
“Informasinya ada yang akan mundur, tetapi masih belum jelas [alasannya],” kata dia kepada Bisnis.com, belum lama ini.
Kabar itu pun dikonfirmasi oleh sumber Bisnis.com yang dekat dengan pemerintahan. Menurut sumber yang meminta anonim tersebut, perihal adanya investor yang hendak menyusul Softbank memang telah tersiar di kalangan pemangku kebijakan.
Kabar ini menjadi pukulan telak bagi pemerintah yang tengah berburu investor untuk merealisasikan pembangunan megaproyek IKN Nusantara.
Terlebih sebelumnya, salah satu investor strategis, SoftBank, membatalkan komitmennya untuk terlibat dalam pembangunan IKN kendati sebelumnya berencana untuk membenamkan dana hingga US$40 miliar dalam proyek tersebut.
Alhasil, pemangku kebijakan dituntut untuk memutar otak guna menguatkan magnet yang menjadi daya tarik investasi di kawasan pusat pemerintahan baru.
Anggota Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno memandang, pengganjal investasi IKN, salah satunya, ada proposal yang tidak bisa diakomodasi oleh pemerintah.
Hal inilah terjadi pada Softbank, yang salah satu permintaan kompensasinya ditolak oleh pemerintah lantaran bertentangan dengan UU No. 3/2022 tentang Ibu Kota Negara.
“Saya tidak akan heran kalau ada satu atau dua lagi konsorsium yang mundur,” kata Hendrawan.
Sesungguhnya, pemerintah pun telah menggencarkan pencarian investor. Terbaru, ada dua negara yang tengah dijajaki yakni Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA).
Menurut Kementerian Investasi, negara-negara Timur Tengah memiliki karakteristik tersendiri dalam berinvestasi.
Deputi Perencanaan Investasi Kementerian Investasi Nurul Ichwan menjelaskan bahwa investasi di proyek sebesar IKN mencakup banyak lini, mulai dari infrastruktur dasar seperti jalan dan perairan, hingga perumahan komersial maupun pusat perdagangan.
Setiap lini itu menurutnya memiliki investor tersendiri. Nurul menjelaskan bahwa Arab Saudi merupakan salah satu negara yang memiliki ketertarikan untuk berinvestasi di IKN. Negara itu pun, dan berbagai negara lain di Timur Tengah, turut memiliki 'sifat' tersendiri dalam berinvestasi.
Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut B. Pandjaitan mengungkapkan pihaknya berupaya mendekati Abu Dhabi dan Riyadh untuk bisa tetap memperoleh dana investasi bagi proyek IKN. Dia menyatakan bahwa pemerintah akan terus berkomunikasi dengan dua negara di timur tengah itu.
"Sekarang kami harapkan [sumber dana] Vision Fund yang ada dari Abu Dhabi dan Saudi itu bisa masuk kita [ke proyek IKN], enggak usah lewat SoftBank," ujar Luhut usai gelaran Grand Launching Proyek Investasi Berkelanjutan, Kamis (17/3/2022) di Jakarta.
Kendati mengklaim mendapatkan antusiasme dari penanam modal, kalangan pengamat menilai upaya memboyong investor asal negara-negara Timur Tengah bukanlah perkara mudah.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah Azyumardi Azra mengatakan upaya pemerintah untuk mendapatkan dana segar dari Timur Tengah menghadapi kendala yang cukup berat.
Musababnya, investor dari kawasan itu selalu mengedepankan imbal hasil atau return yang diperoleh dan jangka waktu pengembalian modal, sebelum memutuskan berinvestasi dalam sebuah proyek.
“Itu tidak akan terjadi karena yang mereka memikirkan profit seperti Arab Saudi, Kuwait, Qatar, UEA, mereka menanamkan investasi di sektor yang profitable. Mereka melihat IKN tidak profitable jadi mereka akan hindari.”
Menurut Azyumardi, pemerintah perlu belajar pada peristiwa batalnya investasi Arab Saudi pada proyek Mandalika Family Tourism 5 tahun silam.
Saat melakukan lawatan ke Indonesia pada Maret 2017, Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud menyatakan ketertarikannya untuk berinvestasi di Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Akan tetapi komitmen itu gagal terealisasi sehingga pembangunan lagi-lagi menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Menurutnya, hal ini menjadi sinyal bahwa negara-negara di Timur Tengah, termasuk Arab Saudi kurang berminat untuk memasukkan dananya di Tanah Air.
“Negara asing yang tertarik membiayai infrastruktur di Indonesia itu baru Jepang.”
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menjelaskan ada beberapa faktor yang menyulitkan pemerintah menarik investasi Arab Saudi.
Pertama, pascamundurnya Softbank, banyak investor yang ragu berinvestasi di IKN karena belum jelasnya proposal teknis dan jaminan penduduk IKN dalam jangka panjang.
Kedua, Arab Saudi tengah mendorong kembali investasi di sektor minyak dan gas (migas) karena momentum tingginya harga minyak mentah di pasar global.
Ketiga, sandainya negara tersebut tertarik berinvestasi di negara lain perlu dijamin keselarasan dengan visi Arab Saudi 2030 yang masuk ke green energy, teknologi, dan pertanian.
“IKN tidak cocok dengan visi tersebut, apalagi dalam proses pembebasan lahan IKN rentan konflik dengan keberlanjutan lingkungan hidup,” kata dia.
Keempat, porsi investasi asal Arab Saudi sejauh ini sangat kecil dan cenderung turun dalam 10 tahun terakhir.
Sementara itu saat dihubungi Bisnis, Ketua Tim Komunikasi IKN Sidik Pramono belum bisa memastikan informasi tersebut.
Dalam keterangan resminya, Sidik hanya mengatakan bahwa pendanaan untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan IKN, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara bersumber dari APBN dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Pemerintah sedapat mungkin menekan pendanaan yang bersumber dari APBN dengan memaksimalkan pendanaan yang dimungkinkan dan sesuai menurut perundang-undangan,” jelasnya.
(Sumber: Bisnis)