[PORTAL-ISLAM.ID] Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempunyai ambisi berkuasa terlihat ketika masih menjadi Wali Kota Solo, Gubernur DKI hingga Presiden Indonesia.
Jokowi itu seorang politisi dan tidak bisa dilihat hanya seorang tukang mebel yang terlihat polos.
“Jokowi sebenarnya bukan tukang mebel yang polos, tapi seseorang yang ambisius, yang bersedia melakukan apa saja demi ketenaran dan kekuasaan,” kata Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe) Smith Alhadar kepada redaksi SuaraNasional, Kamis (17/3/2022).
Kata Smith, demi ambisi kekuasaan, Jokowi mengkhianati Prabowo yang membawanya ke Jakarta menjadi Gubernur DKI.
“Dengan mencampakkan janjinya pada Prabowo, Jokowi terima pencalonannya sebagai presiden oleh PDI-P dalam pilpres 2014 yang hanya menghadapkan pasangan Jokowi dan pasangan Prabowo. Hasilnya kita semua tahu: Jokowi keluar sebagai pemenang mengalahkan Prabowo,” ungkapnya.
Demi menggapai ambisinya, menurut Smith, mudahnya Jokowi berjanji hanya untuk tidak ditepatinya.
Tak kurang dari 66 janjinya kepada publik selama kampanye dalam pilpres 2014 untuk ia lupakan begitu saja.
Janji menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu bukan hanya tak dipenuhinya, tapi justru terjadi kekerasan dan pembunuhan di masa pemerintahannya tanpa penegakan hukum yang fair.
“Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk pasca reformasi untuk memberantas korupsi justru dilemahkan. UU Cipta Kerja yang mengibiri hak-hak buruh disahkan. UU IKN yang menyita porsi besar APBN dipaksakan dengan melanggar janjinya sendiri bahwa dana APBN tidak dipakai untuk membangun infrastruktur IKN yang dimulai April mendatang,” ungkapnya.
Pelanggaran janji untuk tidak menggunakan dana APBN termasuk fatal karena utang negara sudah menumpuk dan penanganan pandemi covid-19 untuk menyelamatkan ekonomi rakyat masih jauh dari selesai.
Smith mengatakan, didukungnya putera dan menantunya untuk merebut kekuasaan di kota Solo dan kota Medan melalui pilkada — yang tak satu pun presiden Indonesia sebelumnya melakukannya — merupakan pelanggaran semangat reformasi yang hendak menghapus nepotisme.
“Semua ini lebih jauh menggambarkan siapa Jokowi sebenarnya,” papar Smith.
Penampilan lahiriahnya, yang terlihat dari wajah, tawa, dan busana yang dikenakannya, Jokowi terlihat sebagai pemimpin yang bersahaja.
“Namun, sisi batiniahnya tidak demikian. Yang sedikit dari banyak kasus yang saya paparkan di atas, Jokowi bukan pemimpin kerakyatan. Dia, dengan kesadaran dan kemauannya sendiri, telah menjelma menjadi kacung oligarki.
Dan yang dia nikmati statusnya itu. Pelemahan KPK, UU Cipta Kerja, dan pemindahan IKN yang dilakukan tidak tepat waktu — untuk menyebut beberapa contohnya saja — dengan jelas memperlihatkan keberpihakannya pada kepentingan oligarki parpol dan oligarki ekonomi,” paparnya.
Pemindahan IKN dan penciptaan dinasti politik dengan menyokong keluarga dekatnya menjadi penguasa daerah juga memperlihatkan bagaimana Jokowi lebih mementingkan kepentingan diri dan keluarganya ketimbang kelangsungan hidup NKRI yang demokratis dan inklusif, yang diperjuangkan mahasiswa dengan darah dan air mata.
“Di masa Jokowi, KKN kembali lagi. Seorang akademisi terpaksa melaporkan tentang adanya kerja sama antara anak-anak presiden dengan perusahaan raksasa yang terlibat perusakan hutan sehingga harus berhubungan dengan pengadilan.
Akademisi itu menduga kuat, perusahaan itu rela berinvestasi di perusahaan anak-anak prediden senilai kurang daripada Rp 100 miliar demi terhindar dari denda bernilai triliunan rupiah,” pungkasnya. [SuaraNasional]