Benarkah Ada Cinta Sejati dalam Perkawinan Beda Agama?
Oleh: Dr. Adian Husaini*
Syahdan, seorang ilmuwan bercerita. Suatu saat, dalam sebuah perjalanan, ia duduk bersebelahan dengan seorang laki-laki. Laki-laki itu mengaku bukan muslim. Tetapi, ia memiliki istri seorang muslimah. Menurutnya, ia dan istrinya saling mencintai. Perbedaan agama tak mampu menghalanginya untuk membangun rumah tangga. Cinta sejati menembus sekat-sekat perbedaan agama.
Mendengar cerita laki-laki itu, sang ilmuwan menyampaikan ungkapan yang mengejutkan. “Anda sebenarnya tidak mencintai istri anda itu. Sebab, selama istri anda seorang muslimah, di dalam keyakinan istri anda itu, anda tidak akan selamat dari neraka.”
Si laki-laki itu marah, karena dikatakan tidak mencintai istrinya. Dialog tidak berlanjut. Tapi, menurut cerita sang ilmuwan, beberapa tahun kemudian, laki-laki itu meneleponnya. Ia mengabarkan bahwa dirinya sudah memeluk Islam.
Belakangan ini, sejumlah media mengabarkan berita perkawinan seorang selebritis berkerudung (beragama Islam) yang menikah dengan laki-laki Katolik. Kata berita, perkawinan itu dilakukan secara Islam dan juga secara Katolik.
Ini hal aneh! Entah bagaimana peristiwa semacam ini bisa terjadi di negara yang jelas-jelas memiliki Undang-undang Perkawinan yang menegaskan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”
Apakah laki-laki Katolik itu benar-benar mencintai istrinya yang beragama Islam? Dan benarkah sang istri juga mencintai suaminya yang memiliki keyakinan sebagai seorang Katolik?
Jika ia seorang Katolik yang baik, mestinya ia taat kepada seruan pemimpin tertinggi agama Katolik (Paus). Misalnya, Paus Yohanes Paulus II menyatakan, bahwa “Islam bukanlah agama penyelamatan. Tidak ada tempat dalam Islam, untuk Salib dan Kebangkitan Jesus.” (Islam is not a religion of redemption. There is no room for the Cross and Resurrection). (Lihat, Vittorio Messori, Crossing The Threshold of Hope by His Holiness John Paul II, Alfred A. Knopf, New York, 1994, hal. 92).
Dalam “Redemptoris Missio”, 7 December 1990, Paus Yohanes Paulus II menyerukan: “Bukalah pintu buat Kristus, wahai manusia di mana saja.” Kata Paus, “Open the doors to Christ, people everywhere! Anda tidak akan kehilangan kebebasan anda dengan membuka diri anda terhadap Kata-kata Tuhan. Jumlah orang yang tidak mengenal Kristus terus bertambah. Sejak akhir Konsili Vatikan II jumlah itu menjadi dua kali lipat…. (Karena itu), saatnya telah tiba untuk menghimpun segala energi Gereja untuk menjalankan evangelisasi dan misi Kristen kepada semua umat manusia. (Kata Paus: “You do not loose your freedom by opening yourself up to the Word of God. The number of those who do not know about Christ is constantly on the increase. It has doubled since the end of the Second Vatican Council…The moment has come to commit all the church’s energies to a new evangelization and mission to all.” (Lihat, Joseph Donders, (ed.), John Paul II: The Encyclicals in Everyday Language, Orbis Book, New York, 1996, hal. 144-145).
Sementara itu, sang istri yang masih mengaku muslimah, tentu masih meyakini Syahadatnya. Bahwa, tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah. Dan bahwa Nabi Isa a.s. adalah nabi utusan Allah. Nabi Isa bukan Tuhan atau anak Tuhan. Dalam hati setiap muslim, pasti memiliki keyakinan yang paling dalam, bahwa mengangkat seorang manusia menjadi Tuhan adalah satu bentuk dosa yang tak terampuni, yaitu dosa syirik.
Dalam al-Quran surat Maryam disebutkan, memberikan sifat bahwa Allah punya anak, adalah satu “kejahatan besar” (syaian iddan). Dan Allah berfirman dalam al-Quran (Terj.): “Hampir-hampir langit runtuh dan bumi terbelah serta gunung-gunung hancur. Bahwasanya mereka menuduh bahwa al-Rahman (Allah) itu punya anak.” (QS 19:90-91).
Jadi, jika suami yang Katolik itu mencintai istrinya dengan tulus, apakah ia tega membiarkan istrinya itu terus-menerus dalam kepercayaan yang – menurut doktrin agama Katolik – adalah salah. Sebab, istrinya yang muslimah, pasti tidak mengakui Yesus sebagai satu-satunya jalan keselamatan.
Sedangkan Dokumen Konstitusi Dogmatik tentang Gereja (Lumen Gentium, 14) yang disahkan pada 21 November 1964, dalam Konsili Vatikan II, di Roma, menegaskan: ”Karena satu-satunya Perantara dan jalan keselamatan adalah Kristus, yang hadir di antara kita di dalam Tubuhnya yaitu Gereja… Oleh karenanya tidak dapat diselamatkan orang-orang itu, yang walaupun tahu bahwa Gereja Katolik didirikan oleh Allah dengan perantaraan Yesus Kristus, sebagai sesuatu yang diperlukan, toh tidak mau masuk ke dalamnya atau tidak mau bertahan di dalamnya.” (Terjemah oleh Dr. J. Riberu, Dokpen MAWI, 1983).
Manusia yang tidak mengakui Yesus sebagai Tuhan atau anak Tuhan, harus disadarkan dan diusahakan untuk dibaptis. Dokumen Ad Gentes hasil Konsili Vatikan II mendesak: “Landasan karya misioner ini diambil dari kehendak Allah, Yang “menginginkan bahwa semua manusia diselamatkan dan mengakui kebenaran. Karena Allah itu esa dan esa pula Perantara antara Allah dengan menusia yaitu Manusia Kristus Yesus, Yang menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua orang (1 Tim 2:4-6), “dan tidak ada keselamatan selain Dia” (Kisah 4:12). (Lihat, Walter M. Abbott (gen.ed.), The Documents of Vatican II, hal. 593. Naskah terjemah di kutip dari Tonggak Sejarah Pedoman Arah: Dokumen Konsili Vatikan II, hal. 377-478).
Jadi, adakah cinta sejati dalam perkawinan beda agama? Silakan disimpulkan sendiri.
Wallaahu A’lam bish-shawab.
*Penulis Ketua Umum DDII (Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)