OLEH: ILHAM BINTANG
Penulis adalah wartawan senior
MENTERI Perdagangan Muhammad Lutfi di dalam rapat Komisi VI DPR-RI, Kamis malam (17/3), mengakui tidak bisa mengatasi penyimpangan distribusi minyak goreng yang terjadi di lapangan. Wakil Ketua DPR RI, Rachmat Gobel, menganggap itu sudah bentuk kekalahan negara melindungi rakyatnya.
Astaghfirullah! Ungkapan ini lazim diucapkan oleh umat Islam, untuk meminta maaf atau memohon ampunan kepada Allah atas keadaan tak nyaman yang dirasakan.
“Bukan Mendag yang bilang kalah lawan Mafia. Yang Pak Lutfi bilang, perbedaan harga yang tinggi di dalam dan di luar negeri dimanfaatkan oleh mafia untuk menimbun maupun berbuat kecurangan untuk ekspor. Juga oleh orang- orang rakus. Urusan itu sedang ditangani oleh Polri," kata Sekjen Kementerian Perdagangan. Suhanto, yang dihubungi Jumat (18/3) pagi, meluruskan.
Sulit Diterima Akal Sehat
Lebih 4 bulan pihak Kemendag telah berusaha keras mengatasi kelangkaan dan meroketnya harga minyak goreng, namun berujung dengan kenyataan pahit itu.
Sulit diterima akal sehat Mendag yang didukung perangkat kekuasaan negara kalah lawan mafia. Muhammad Lutfi tidak menyebut seperti apa wujud mafia yang dimaksud, dan seberapa besar kekuatannya sampai pihaknya kalah.
Yang pasti, setelah dipanggil menghadap Presiden Jokowi Selasa (15/3), esoknya Mendag pun mengibarkan "bendera putih". Lutfi mencabut peraturannya terkait Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng curah dan kemasan yang berlaku sebelum ini.
Sejak 16 Maret, HET minyak goreng kemasan yang semula ditetapkan Rp 14 ribu kini dilepaskan mengikuti harga keekonomian. Tidak lama setelah itu, minyak goreng kemasan itu pun mengisi rak-rak pasar modern dengan harga baru, paling murah Rp 24 ribu per liter.
Menurut Suhanto, yang dipertahankan hanya HET minyak goreng curah. Itu saja pun harganya naik menjadi Rp 14 ribu dari semula Rp 11,500.
Suasana Antre 1965
Krisis minyak goreng di Tanah Air, menyebabkan beberapa bulan ini rakyat mengalami seperti kembali ke suasana kehidupan menjelang penghianatan G-30-S/ PKI di tahun 1965.
Tidak hanya minyak goreng, tetapi hampir semua harga bahan kebutuhan pokok masyarakat tak terkendali. Mulai dari tempe tahu, telor, daging sampai cabe rawit.
Presiden Tak Tanggap
Tidak seperti biasanya, untuk pertama kalinya pula Presiden Jokowi tidak cepat tanggap. Seperti sewaktu sukses mengintervensi harga -harga fasilitas dan alat -alat kesehatan melawan virus Covid19 yang harganya mencekik leher rakyat.
Pemandangan antrean minyak goreng yang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia, tak mengusiknya dari kesibukan persiapan GP Mandalika dan acara berkemah di kilometer nol Ibu Kota Negara ( IKN).
Padahal, kita serasa sesak nafas menyaksikan video atau foto-foto antrean ibu-ibu yang tidak lagi perduli protokol kesehatan di masa pandemi. Video suasana mengerikan itu viral berhari-hari. Berisi pemandangan antrean mengular sampai beberapa kilometer jauhnya untuk mendapatkan satu dua liter minyak goreng.
Ada yang bahkan meninggal dunia karena kelelahan mengantre. Dengan setting situasi itu, tak bisa disalahkan kalau muncul pertanyaan seperti ini dari sebagian rakyat.
Kebanggaan apa lagi yang tersisa untuk mengusung Jokowi supaya lanjut berkuasa sebagai Presiden RI hingga tiga periode? Seperti yang terang-terangan diperjuangkan oleh Menteri Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan. Yang tak mau perduli tekadnya itu sebenarnya melanggar konstitusi.
Alasan Luhut, 110 juta rakyat berdasarkan big datanya, menginginkan Jokowi lanjut. Luhut juga mengeluhkan pemborosan biaya Rp 110 T untuk Pemilu 2024, sebagai alasan. Yang paling paradoks penggunaan alasan pandemi Covid-19.
Padahal, dua pekan lalu Luhut meyakinkan rakyat, pandemi di Tanah Air sudah reda. Pelaku Perjalanan Luar Negeri ( PPLN) cuma perlu satu hari karantina. Rakyat tidak perlu tes Antigen maupun PCR.
Sebelumnya, wacana perpanjangan masa Jabatan Jokowi serta penundaa Pemilu 2024 didengungkan oleh tiga ketum parpol koalisi. Yaitu : Airlangga Hartarto ( Golkar) Muhaimin Iskandar ( PKB) dan Zulkifli Hasan ( PAN).
Disparitas Harga Dimainkan Mafia
Kembali ke soal minyak goreng. Sekjen Kemendag, Suhanto, menyebutkan sebelum ini disparitas harga antara minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan mengundang permainan mafia. Tapi kebijakan baru ini pun belum menjamin aman, mengingat disparitas harga semakin lebar sekitar Rp 10 ribu per liter, antara minyak goreng curah dengan kemasan.
Sebelumnya, disparitas harganya cuma Rp 2500. Kebutuhan minyak goreng di Tanah Air, 579 juta liter tahun 2022. Terdiri atas minyak goreng curah 240 juta (42 persen), kebutuhan industri 180 juta liter (32 persen). Minyak goreng kemasan 120 juta atau (22 persen). Sisanya 232 ribu liter (4 persen) kemasan sederhana.
"HET untuk minyak curah masih dipertahankan untuk keadilan agar yang menerima subsidi masyarakat bawah dan pedagang kecil yang masih menggunakan minyak curah. Untuk kelas menengah keatas yang menkonsumsi minyak kemasan, biarkan membeli dengan harga keekonomian, " terang Suhanto.
Dua pekan lalu kita mencatat kuat sekali tekad Menteri Lutfi untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng di Tanah Air. Lutfi terjun langsung ke beberapa daerah.
Bahkan awal bulan, mengutip keterangannya di berbagai media sudah hampir pasti bisa atasi masalah. Tiba-tiba antiklimaks setelah dipanggil Presiden Jokowi. [rmol]