Kamu baru tahu....
Saat menyaksikan ada kampung terendam banjir. Itu air sampai atap. Anak-anak terpaksa naik ke atap. Well, mau kita berjam-jam nonton beritanya, kita tidak akan tahu gimana persis rasanya kebanjiran, kecuali kita mengalaminya sendiri.
Saat sudah mengalami. Baru ngeh betapa tidak enaknya. Saat banjir susah, lampu mati, sinyal hilang. Selesai banjir, tetap susah, harus bersih-bersih, rumah rusak, kebun, ladang, dll rusak.
Saat menyaksikan ada orang yang digusur. Misalnya, pemukiman kumuh. Digusur oleh satpol dan alat-alat berat. Mau kita berjam-jam menyaksikan beritanya, kita tidak akan tahu sesaknya digusur, kecuali kita mengalaminya sendiri.
Saat kitalah yang dalam posisi tsb, menjadi penghuni liar. Tidak punya opsi lain, tinggal di sana. Lantas digusur pula. Saat kita berdiri di tengah kepungan satpol PP, polisi, bahkan tentara ikutan, saat itulah, Kawan, kita tahu persis rasanya diusir. Dan tahu persis sia-sia perlawanan.
Sama, saat ada sebuah kampung diusir, karena ada pembangunan bandara, bendungan, sirkuit, hotel mewah, dll. Itu kadang bukan cuma 1-2 kampung, bisa luas sekali yang ditendang keluar. Ribuan keluarga diusir. Kita tidak akan tahu situasi sebenarnya, sebelum kita mengalaminya langsung.
Kok kamu nggak pindah saja sih? Tetangga kamu sudah pindah loh? Kok kamu ngeyel sih? Kan sudah diganti? Kamu TIDAK akan bisa menjawab pertanyaan2 ini sebelum kamu mengalaminya langsung.
Dan saat sudah mengalaminya sendiri, saat kita dalam situasi seperti itu, kampung kita dimasuki ratusan aparat, kita baru benar-benar paham ternyata itu menyakitkan. Kita butuh bantuan orang lain. Saat di kampung itu sendiri ternyata ada yg pro, kontra. Saat orang-orang luar sibuk menghakimi, saat semuanya kacau balau. Kita benar-benar baru tahu sakitnya diusir dari tanah kelahiran sendiri.
Sungguh, hari ini, orang-orang semakin tidak peduli. Bodo amat. Bahkan asyik menyalahkan. Menghujat. Memaki korbannya. Padahal ketahuilah, bahkan segoblok apapun korbannya, sesusah apapun diatur, memang provokator, dll dia tetap memiliki hak bersuara loh.
Tapi kamu memilih bersimpati ke siapa? Banyak netizen memilih bersimpati pada pasukan berseragam yg merangsek masuk. Yes! Banyak yg lebih bersimpati pada simbol2 kekuasaan. Kamu nyadar nggak sih? Ada yg bawa senjata api, versus penduduk yg paling bawa pisau, dkk. Itu tdk pernah sebanding. Dan tdk-kah kamu nyadar nggak sih? Yang bawa senjata api ini bukannya seharusnya mengayomi?
Hari ini, banyak netizen yg justru mendukung kekerasan. Selalu ada argumennya. Lupa, bahkan kalaupun hanya tersisa 1 KK di sana yg menolak, dia tetap berhak loh bersuara. Jangan dibungkam.
Duh Gusti, kamu-kamu itu, seolah tidak akan pernah mengalami situasi seperti ini?
Ketahuilah, bahkan saat kamu Raja Api sekalipun, besok-besok akan ada situasi kamu butuh orang lain. Maka berhentilah sok kuasa di muka bumi, my friend, saat kamu mati, kamu tetap butuh orang lain mengubur jasadmu.
Kalian tahu tidak? Jutaan penduduk di negeri ini dikorbankan utk pembangunan. Baik yang bersuara, maupun yg hanya pasrah. Ujung ke ujung, digeser, digusur, diusir. Maka, saat kita bukanlah dalam posisi itu, ssst, bisakah kita minimal mingkem? Tidak perlu mendadak sok tahu sekali situasinya, membela simbol-simbol kekuasaan. Lantas mencaci korbannya.
Kamu teh kok menyalak buas sekali ke korban yg digusur? Sambil naruh keterangan di profilmu: NKRI, Pancasila, bendera merah putih, relawanpolitisiA, kader partaiA. Ambyar! Orang2 ini bisa dipercaya omongannya di medsos? Mereka penjilat! Masih jauh 2024, sudah sibuk menjilat.
(By Tere Liye)
*fb 09-02-2022