DIMENSI SAINS ISRA MI'RAJ
Oleh : Prof. Dr. Fahmi Amhar, Peneliti Utama Badan Informasi Geospasial, Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Program Habibie.
Ketika peristiwa Isra’ Mi’raj diperingati, pada umumnya para khatib menghubungkannya dengan perintah sholat. Begitu pentingnya ibadah sholat, sehingga Rasulullah sampai dipanggil langsung bertemu Allah di langit.
Sholat adalah pilar agama. Sedang sholat berjama’ah dapat disebut “pilar negara”, karena memberi pelajaran berharga model kepemimpinan dalam Islam, yang tetap relevan sampai kapanpun. Kepemimpinan Islam bukanlah diktatur (karena imam bisa diingatkan bila salah dan diganti bila batal), juga bukan demokratis (karena syarat dan rukun sholat tak bisa didiskusikan). Pemimpin dipilih oleh rakyat untuk memimpin dengan syariat dari Tuhan Yang Maha Esa. Sudah benar bahwa di konstitusi kita tidak tersurat “demokrasi” namun “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratanperwakilan”.
Namun Isra’ Mi’raj sebagai sebuah perjalanan ajaib di malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha di bumi yang diberkati juga memiliki dimensi sains dan politik.
Dimensi sains karena perjalanan Isra’ saja yang menempuh jarak kurang lebih 1250 Km pada masa itu sudah sesuatu yang mustahil ditempuh dalam semalam. Memang saat ini, dengan pesawat supersonik, perjalanan itu dapat ditempuh 15 menit saja. Namun peristiwa mi’raj ke langit tentu tetap misterius.
Andaikata perjalanan pergi-pulang ke langit itu ditempuh dari ba’da Isya (sekitar pukul 20) sampai menjelang Shubuh (sekitar pukul 04), maka jarak bumi – langit adalah 4 jam. Bila Nabi beserta malaikat jibril bergerak dengan kecepatan cahaya, maka jarak yang ditempuh baru sekitar 4.320.000.000 Km, atau baru di sekitar Planet Neptunus. Belum keluar tata surya. Bintang terdekat Proxima Alpha Centaury ada pada jarak sekitar 4,2 tahun cahaya. Tidak mungkin dikunjungi pergi-pulang dalam semalam.
Apalagi ada kendala Teori Relativitas Khusus. Menurut Einstein, materi yang bergerak mendekati kecepatan cahaya, maka akan mengalami kontraksi ukuran sampai mendekati nol, dan pada saat yang sama massanya mendekati tak terhingga. Apakah Nabi mengalami hal itu?
Misteri ini tentu makin menantang para ilmuwan muslim untuk menjawab dengan berbagai teori fisika yang dikenal saat ini. Teori Einstein sudah terbukti ribuan kali di dunia fisika partikel, dan juga pada satelit yang mengorbit bumi 90 menit sekali sambil membawa jam atom.
Ada juga yang mencoba memahami dengan ayat 70 Surat al-Maarij, “Malaikat-malaikat dan Jibril naik kepada Rabb dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun”, sebagai jarak ke langit adalah 50.000 tahun cahaya. Malaikat mampu melesat dengan laju jauh di atas cahaya (Faster Than Light, FTL-Travelling).
Namun astrofisika memastikan bahwa sehari malaikat ini belum keluar dari galaksi Bimasakti. Galaksi tetangga Andromeda saja berjarak 2,5 juta tahun cahaya. Dan itu juga belum langit. Di manakah langit sebenarnya? Batas jagad raya teramati ada pada 14 Milyar tahun cahaya!
Melihat hal ini, sains mulai berspekulasi bahwa dunia yang kita amati ini memiliki struktur yang tidak linear. Terlalu banyak materi gelap (“dark matter”) yang mungkin telah melengkungkan ruang dan waktu. Allah barangkali telah memasang “gerbang-gerbang langit” yang bisa menjadi jalan pintas ke lokasi yang maha jauh. Bukankah Allah telah memberi tantangan “Hai jama`ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan” (QS 55:33). Dan relativitas waktu telah ditunjukkan dengan kisah Ashabul Kahfi, yang ditidurkan selama 309 tahun, sementara mereka hanya merasa setengah hari.
Semua ini memang ujian keimanan. Namun bagi seorang mukmin, iman yang ideal adalah iman yang produktif. Ada ratusan ayat suci yang menggelitik seorang muslim untuk menguak rahasia alam. Itulah yang diinginkan Allah ketika berfirman “Maka mengapa kalian tidak memperhatikan bagaimana unta diciptakan, dan langit ditinggikan?“ (QS 88:17-18). Muslim generasi awal menjadikan ayat itu inspirasi untuk mempelajari biologi dan astronomi. Kitab astronomi “Almagest” karya Ptolomeus (100-170M) pernah dijadikan “kitab tafsir” atas ayat tersebut.
Maka abad pertengahan dihiasi oleh ratusan astronom muslim, dari Al-Battani (858-929M), Al-Biruni (973-1048M), hingga Quthubuddin As Syairazy (1236–1311M). Mereka tidak hanya memastikan bulatnya bumi, juga mewariskan teknik mengukurnya, bahkan memastikan bahwa bumi bukan pusat tata surya, ratusan tahun sebelum Copernicus (1473-1543M).
Dalam teknologi, Abbas Ibn Firnas (810-887M) dari Cordoba diketahui benar-benar membuat alat terbang. Dia berhasil terbang dengan alat yang kita kenal sebagai gantole dan parasut. Lebih 11 abad kemudian Wright bersaudara dari Amerika menambahkan mesin padanya, dan jadilah pesawat terbang bermesin.
Pada abad pertengahan, umat Islam memiliki keunggulan di bidang sains ketika semangat berpikir menguak rahasia alam masih tinggi, dan iklim mencintai sains masih hidup baik di masyarakat maupun di pemerintahan. Berijtihad dalam sains masih dianggap ibadah dan amal jariyah. Dan berwakaf untuk laboratorium atau observatorium masih menjadi gengsi para aghniya.
Namun ketika aktivitas berpikir makin diabaikan, maka ada suatu titik ketika bangsa Barat menyalip keunggulan peradaban Islam, dan akhirnya penjajahan atas negeri-negeri Islam dimulai. Puncaknya adalah saat al Aqsha di bumi yang diberkahi dijajah oleh Israel hingga hari ini. Inilah dimensi politik dari Isra’ Mi’raj.
Oleh karena itu, dalam memperingati Isra’ Mi’raj sudah sewajarnya kita kuatkan kembali keimanan, lalu kita jadikan sholat berjama’ah sebagai model kepemimpinan Islam. Kemudian kita jadikan cinta sains untuk membangun ulang peradaban Islam, yang akan menjadi bekal memerdekakan bumi Islam yang terjajah.
Umat Islam tanpa sains dan teknologi terbukti mudah terjajah. Sains dan teknologi tanpa Islam cenderung menjajah. Hanya jika umat Islam memegang kendali atas sains dan teknologi, maka mereka akan kembali merahmati alam, membebaskan dunia dari penjajahan.
Wallahu a'lam.
(*)