Perlukah Membatasi Volume Speaker Masjid?
Oleh: Ruby Kay*
Aturan untuk membatasi volume speaker masjid itu sudah ada sejak tahun 1978, tapi gak pernah benar-benar ditaati oleh seluruh komponen ummat Islam di Indonesia. Apalagi saat bulan Ramadhan, suara dari speaker masjid itu seakan menambah semarak suasana. Baik masjid NU maupun Muhammadiyah riuh dengan kegiatan tadarusan hingga tengah malam.
Itulah keunikan Indonesia yang seharusnya kita terima saja dengan lapang dada. Sebagaimana masyarakat India yang suka sekali membunyikan klakson kendaraan bermotor. Bagi kita yang belum terbiasa mungkin dianggap mengganggu. Tapi kalau sudah 1-2 tahun stay disana, pada akhirnya akan terbiasa.
Menurut gue, Negara gak boleh melakukan intervensi berlebihan terhadap ritual peribadatan ummat beragama. Apalagi muslim mayoritas di negeri ini. Wajar bila terjadi supremacy majority. Toh sebagai ummat mayoritas, muslim juga gak pernah keberatan dengan ritual agama lain.
Di Pontianak atau Singkawang, muslim sudah terbiasa dengan bau hio (dupa) yang begitu menyengat berhembus dari dalam vihara dan klenteng. Puak Melayu sudah akrab dengan tradisi orang Tionghoa yang rutin membunyikan petasan semalam suntuk saat hari raya Imlek. Gak pernah ada protes yang berlebihan terkait tradisi itu. Justru muslim ikut menikmati sebagai bagian dari kekayaan budaya di negeri ini.
Di Bali, minoritas ikut menghormati ritual hari raya Nyepi. Walau bukan beragama Hindu, mau gak mau muslim dan kristen mesti ikut menyepi di rumah masing-masing.
Saat hari raya Natal, ummat Kristiani mau pasang pohon natal setinggi tiang listrik silahkan saja. Hiasi pohon cemara dengan lampu kelap-kelip, nyanyikan lagu-lagu rohani sepanjang malam, muslim gak pernah komplain.
Jadi tak elok jika pemerintah terlalu ikut campur dalam peribadatan ummat beragama. Menag mengeluarkan surat edaran yang membatasi volume speaker masjid. Apakah nanti akan ada aturan yang membatasi polusi bau dupa dari vihara? Apakah nanti akan ada aturan yang membatasi penggunaan sesajen di Bali? Apakah nanti akan ada aturan yang membatasi tinggi pohon natal? Kan konyol kalau seperti itu.
Lagipula masih banyak muslim di negeri ini yang perlu mendengar kumandang adzan tiap hari. Bilal sudah meneriakkan "Assholaatu khairun minannaum" aja masih sering diabaikan. Apalagi kalau suara adzan cuma sayup-sayup, dipastikan lebih banyak lagi muslim yang lebih memilih tarik selimut ketimbang menunaikan sholat subuh dua rakaat.
Sudah sejak lama toa masjid jadi identitas muslim di Indonesia. Biarkan kaum Nahdliyin di Jawa Timur memutar sholawat Gus Dur dengan volume maksimal. Biarkan masjid-masjid memperdengarkan tadarusan hingga tengah malam. Daripada ngurusi speaker masjid, masih banyak hal lain yang harus dibenahi oleh pemerintah. BUMN pada terlilit hutang, minyak goreng langka. Ngapain lu ngurusin toa? Kayak kurang kerjaan aja.
*fb penulis (22/2/2022)