[PORTAL-ISLAM.ID] Penolakan proyek penambangan batu andesit untuk pembangunan Bandung Bener di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah terus menuai konflik dan masih belum menemukan titik terang.
Upaya penolakan tersebut sudah disampaikan sejak awal ke berbagai pihak. Tokoh NU yang selama ini mendampingi masyarakat Wadas, KH M. Imam Aziz menjelaskan alasan sejak awal hingga saat ini warga Wadas konsisten menolak tanpa syarat rencana pertambangan batu andesit untuk suplai material pembangunan Bendungan Bener.
“Penolakan dan keberatan atas rencana pertambangan sudah disampaikan sejak awal, yakni pada saat sosialisasi dan konsultasi publik. Selain menyampaikan penolakan melalui forum sosialisasi dan konsultasi publik, warga juga beberapa kali mengirim surat penolakan atas rencana pertambangan di Wadas kepada BBWS-SO dan Gubernur Jawa Tengah,” kata Imam Aziz kepada NU Online, Kamis lalu.
*Catatan: BBWS-SO (Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak) adalah pemrakarsa rencana pertambangan di Desa Wadas.
Jika mengacu pada ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, jelas Imam, jika dalam konsultasi publik terdapat pihak yang berkeberatan dengan rencana pengadaan tanah, maka harus diadakan konsultasi publik ulang.
“Namun, setelah mendapat penolakan warga dalam forum konsultasi publik, BBWS-SO tidak pernah mengadakan konsultasi publik ulang,” imbuh Ketua PBNU periode 2015-2021 itu.
Sementara itu, berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, apabila di forum konsultasi publik ulang warga masih menolak dan berkeberatan atas rencana pengadaan tanah maka Gubernur perlu melakukan kajian atas keberatan warga.
Berdasarkan ketentuan Pasal 22 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, apabila setelah melakukan kajian atas keberatan warga dan warga masih menolak dan berkeberatan atas rencana pengadaan tanah maka gubernur memerintahkan instansi yang memerlukan tanah untuk mengajukan rencana lokasi pembangunan di tempat lain.
“Dalam konteks permasalahan di Wadas, Gubernur Jawa Tengah dan BBWS-SO tidak pernah melakukan konsultasi publik ulang dan kajian terhadap penolakan dan keberatan warga atas rencana pengadaan tanah. Yang terjadi justru Gubernur Jawa Tengah secara melawan hukum dan manipulatif menerbitkan Izin Penetapan Lokasi Bendungan Bener di tengah penolakan dan keberatan warga,” ungkap Imam Aziz.
Upaya manipulasi dokumen Amdal
Imam Aziz mengungkapkan bahwa manipulasi yang lainnya ialah kebohongan terkait terhadap rencana penambangan yang termuat di Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal).
Dalam Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) Pembangunan Bendungan Bener, BAB II halaman 191 poin 6 tentang Tanggapan Masyarakat Terhadap Rencana Quarry Area disebutkan bahwa 86,05 persen masyarakat dianggap bersedia apabila lahannya dijadikan lokasi tambang Batuan Andesit. Sisanya tidak bersedia (0 persen), tidak menjawab (4,65 persen), dan belum dapat menjawab (9,30 persen).
Uraian di atas tampak bahwa Pemerintah dan BBWS-SO memanipulasi dokumen Amdal dengan menyampaikan bahwa 86,05 persen masyarakat bersedia tanahnya ditambang dan hanya 0 persen warga yang tidak bersedia tanahnya dijadikan lokasi tambang.
“Padahal, dalam forum Sosialisasi Konsultasi Publik pengadaan tanah, jelas-jelas seluruh warga Wadas menolak penambangan Batuan Andesit di Desa Wadas,” terang Imam Aziz.
Penambangan di Wadas bukan untuk kepentingan umum
Imam Aziz menerangkan, dalam skema pembangunan Bendungan Bener, Desa Wadas rencananya akan dijadikan lokasi pertambangan Batu Andesit untuk memasok kebutuhan material pembangunan Bendungan Bener. Namun, kegiatan pertambangan yang rencananya akan dilakukan di Desa Wadas dimasukkan dalam Izin Penetapan Lokasi (IPL) Bendungan Bener.
“Desa Wadas yang rencananya akan jadi lokasi pertambangan batu andesit untuk memasok material Bendungan Bener masuk dalam Izin Penetapan Lokasi untuk Pembangunan Bendungan Bener melalui SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/41 Tahun 2018 tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah,” ujarnya.
SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 539/29 Tahun 2020 tentang Perpanjangan Atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah, dan SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/20 Tahun 2021 tentang Pembaruan Atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah.
Apabila merujuk pada ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, terang Imam Aziz, maka pembangunan bendungan memang merupakan salah satu pembangunan untuk kepentingan umum.
“Akan tetapi kegiatan atau aktivitas pertambangan untuk pembangunan bendungan bukan merupakan pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012,” tegas Imam.
Ia menegaskan bahwa seluruh kegiatan atau aktivitas pertambangan haruslah mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta peraturan turunannya, bukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Demi Kepentingan Umum.
“Masuknya Desa Wadas yang rencananya akan jadi wilayah penambangan batu andesit dalam Izin Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener merupakan tindakan sewenang-wenang oleh ‘Tergugat’ karena tidak didasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” jelas Imam Aziz.
Negara tak bisa sewenang-wenang
Berdasarkan Ketentuan Pasal 28H Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, “Setiap orang berhak mempunyai mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.”
Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 36 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, “Tidak seorang pun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.”
Berdasarkan poin pertama Commision on Human Right Resolution 1993/77, “Affirms that the practice of forced eviction constitutes a gross violation of human rights, in particular the right to adequate housing (menegaskan bahwa praktik pengusiran paksa merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas perumahan yang layak).”
Agama, jelas Imam Aziz, juga melarang praktik pengambilalihan tanah secara sewenang-wenang sebagaimana dalam Hadits, “Barangsiapa mengambil satu jengkal tanah yang bukan haknya, ia akan dikalungi tanah seberat tujuh lapis bumi di hari kiamat.” (HR Muslim)
Selain itu, lanjut dia, dalam konsep maqashidus syariah dalam Islam mempertahankan dan menjaga hak milik pribadi (hifdzul mal) hukumnya adalah wajib bagi semua umat Islam.
“Karenanya, sejak awal hingga saat ini warga Wadas secara konsisten dan tegas menolak tanahnya diambil dan dirusak untuk proyek pertambangan. Sehingga sudah semestinya pemerintah tidak memaksakan kehendaknya untuk mengambil tanah warga secara sewenang-wenang,” tegas Imam Aziz.