[PORTAL-ISLAM.ID] MUNGKIN inilah yang disebut percakapan paling tidak sopan dan tak beretika di dunia. Ketika seorang menteri menerima telepon di tengah pidato presidennya. Keadaan yang tak bisa dilepaskan dari buruknya mentalitas dan budaya sebuah bangsa serta betapa rendahnya atitude seorang pejabat.
Penggede yang sering dipanggil Opung ini, secara terbuka terus menunjukkan superioritasnya. Bukan hanya kebijakan dan pengaruh jabatannya yang lintas menteri. Saat presiden tengah berpidato, menteri koordinator kemaritiman dan investasi asyik berbicara di telepon. Sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam protokoler kepresidenan selama ini, Luhut terkesan "show of force" bagaimana seorang menteri lebih tinggi dan berkuasa dari seorang presiden.
Menteri yang terkenal bak buldozer dan statemen publiknya sering dinilai mengancam siapapun yang tidak sejalan dengan program pemerintah. Bahkan sikapnya yang tidak menghargai Jokowi seperti itu, menegaskan betapa seorang Luhut sangat miskin akhlak. Sangat tidak pantas dan tidak beretika.
Tatkala Jokowi, presiden ke 7 RI tengah memberi sambutan peresmian 7 pelabuhan baru di sekitar Danau Toba, wilayah Utara Sumatera. Luhut Binsar Panjaitan tertangkap kamera sedang asyik menerima telepon. Suatu pemandangan yang langka dalam pengalaman acara kepresidenan.
Luhut seperti terlihat kurang etis dan tidak sopan kepada Jokowi, yang notabene adalah pimpinannya juga pemimpin negara yang harus dihormati. Boleh jadi ini merupakan kejadian langka yang belum pernah terjadi pada presiden-presiden Indonesia sebelumnya. Belum pernah ada anak buahnya menerima telepon saat presiden sedang menyampaikan pidato di hadapan publik dan itu di tempat terbuka dan kegiatannya dapat diakses publik.
Pada akhirnya rakyat semakin yakin bahwasanya Luhut yang cuma seorang menteri itu, memiliki kekuasaan melebihi jabatan presiden. Terlanjur dikenal publik sebagai sosok yang suka mengatur dan memengaruhi Jokowi.
Luhut yang juga ditunjuk Jokowi menjadi ketua tim beberapa masalah penting dan strategis termasuk penanganan pandemi. Menjelma menjadi orang paling menentukan dalam pemerintahan Jokowi.
Baca Juga
Kejadian asyik menelepon saat presiden pidato, semakin mengokohkan anggapan, betapa kuasa dan digdayanya seorang Luhut atas Jokowi dan pada negara bangsa Indonesia.
Publik akhirnya bisa menilai terlepas apapun hubungan, pengalaman dan komitmen yang terbangun di antara mereka selama ini. Harusnya, sebagai petinggi negara keduanya dituntut mampu memperlihatkan relasi sosial yang profesional dan proporsional terutama saat terlihat dihadapan publik.
Presiden dan bawahannya yang seorang menteri sekaligus pengusaha itu, dalam kapasitas pejabat negara sepatutnya bisa bersikap sesuai aturan dan protokoler resmi yang berlaku. Bukan malah sebaliknya dan melanggar aturan standar itu.
Pada akhirnya rakyat hanya bisa menghela napas dan mengurut dada, bahwasanya antara Jokowi dan Luhut merupakan setali tiga uang. Keduanya sama-sama tak mampu bersikap sebagai pemimpin yang terhormat dan berwibawa. Gegara ulah Luhut yang terima telepon saat Jokowi pidato. Seakan membenarkan anggapan terpendam rakyat selama ini. Luhut seorang menteri yang terkesan "sok kuasa" tak ubahnya sebagai bos yang sebenarnya.
Sementara Jokowi sang presiden, hanya anak buah yang kadung dicap presiden "boneka oligarki" dan gampang dikendalikan. Entah apa yang sebenarnya yang terjadi dan apa makna di balik yang terlihat dipermukaan seperti itu. Keduanya cenderung menjadi manifestasi dari gambaran keadaan negara yang sedang tidak baik-baik saja.
Situasi dan kondisi suatu negara yang jauh dari ideal akibat kepemimpinan keduanya. Setidaknya perilaku mereka dan keadaan negara beda-beda tipis.
Namun apapun itu, telepon yang berdering dan berlanjut percakapan saat Jokowi sedang pidato. Menjelaskan seorang Luhut begitu miskin akhlak dalam pandangan sosial publik. Sungguh kasihan, betapa rendahnya Jokowi seiring hancurnya keberadaban dan karut-marutnya negeri. [rmol]
Oleh: Yusuf Blegur
Penulis adalah pegiat sosial dan aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari