[PORTAL-ISLAM.ID] OLEH: DR. RIZAL RAMLI
SURVEI opini publik itu hal yang lumrah, bagus dan bermanfaat jika dilaksanakan secara objektif. Hasilnya bisa jadi “guide” untuk kebijakan publik.
Tapi bisa jadi malapeteka jika survei tidak dilakukan secara objektif dan digunakan untuk manipulasi opini berbayar.
Contoh manipulasi opini: ketika barang-barang langka, harga naik, pengangguran tinggi dan daya beli merosot. Kok bisa hasil survei kepuasaan 73%?
Ini teori ekonomi baru, kayaknya pantas untuk calon hadiah Nobel tahun 3000?
Inilah contoh manipulasi opini publik dengan melalui SurveyRP oleh PollsteRP.
Dalam upaya manipulasi publik opini itu, PollsteRp tidak berkerja sendiri, tapi sering secara bersama-sama, rombongan in-tandem, mereka tidak kompetitif bahkan sering berkerja secara kartel (5-9 PollsteRp) yg dibayar untuk merekayasa (spin) opini publik demi kepentingan yg bayar.
Contoh lain dari manipulasi opini berbayar yg dilakukan PollsteRp:
1. “Effek Jokowi” pada Pilpres 2014. Kartel, terdiri dari 9 PollsteRP, disewa untuk memompa rating capres Jokowi. Mereka secara simponi menyatakan kalau Mbak Mega jadi Capres pasti kalah.
Tapi kalau PDIP mencalonkan Jokowi sebagai Capres, Jokowi pasti menang, dan PDIP akan dapat bonus dari “Effek Jokowi” naik mencapai 34%.
PollsteRP dalam kartel yg sama menjanjikan kesimpulan yang sama hanya “Effek Jokowi” beda-beda tipis, 32% sampai 35%. Pilpres 2014, Jokowi memang menang, tapi PDIP hanya naik dari 14,3% menjadi 18,95% tahun 2014.
Kesalahan perkiraan PollsteRp 15%, atau 7,5 kali Margin of Error (2%)! Ini penipuan publik opini luar biasa.
2. Pilkada Gubernur 2017, team Ahok menyewa 7 PollsteRp untuk memompa rating Ahok. Rombongan PollsteRp berbayar itu, menyimpulkan Ahok akan menang lawan Anies.
Menjelang Pilkada, saya menyatakan kepada Jokowi di istana bahwa Ahok bakal kalah double digit.
Saya mengatakan kepada Jokowi, “Saya tidak punya perusahaan polling. Tetapi ketika naik taxi, bajay, dan Gojek, terus melakukan random survey, dan simpulkan Ahok bakal kalah double digit”.
Jokowi jawab,”Mas Rizal, hasil ke 7 pollster, Ahok akan menang 2-4%.”
Ternyata Ahok kalah 15%. Kesalahan perkiraan rombongan PollsteRP 17 sampai 19%, atau 8,5 sampai 9,5 kali Margin of Error. Keteledoran manipulatif yang luar biasa!
PollsteRP membela diri dengan selalu mengatakan bahwa survei-survei mereka dilakukan dengan berlandaskan methoda akademik dan statistik. Metode survei itu sudah standard dan kalau dilakukan secara benar, kesalahan perkiraannya hanya akan +/- Margin of Error, bukan berkali-kali Margin of Error!
Jawaban responden terhadap pertanyaan survei akan sangat tergantung pada framing atau arah pertanyaan. Framing umum, apakah Anda puas, cendrung akan dijawab “ya”.
Tetapi framing lebih khusus: misalnya apakah Anda puas dengan kenaikan harga dan kelangkaan, cendrung dijawab “tidak puas”.
Pertanyan yang lebih spesifik tentang ekonomi, sosial, pajak, JHT, wajib kartu BPJS dsb akan memberi jawaban yang berbeda.
Dalam banyak kasus, PollsteRp juga bertindak sebagai konsultan politik, bahkan sampai door-to-door campaigning. Tidak ada transparansi dan independensi.
Walaupun umumnya pemilihan responden dilakukan dengan “stratified sampling” (sekitar 1.200 orang). Tapi sering tidak ada perubahan responden selama bertahun-tahun. Statis dan banyak yang kena “Stockholm Syndrome” yang membuat mereka semakin tidak independen.
Apakah yang bisa dilakukan agar survei-survei opini publik objektif dan tidak manipulatif dan membajak demokrasi:
1. Harus ada transparansi siapa yang membiayai survey itu.
2. Hasil survei hanya boleh diumumkan jika +/- 1 kali Margin of Error.
3. Perlu transparansi teknik sampling dan apakah responden statis dan dibayar?
4. Pollster tidak boleh merangkap sebagai konsultan, apalagi door-to-door campaigning.
5. Media disarankan untuk tidak memuat hasil Pollster secara verbatim, tapi disertai info siapa yang bayar, track record Pollster, dan review oleh analis independen.
Metodologi survei penting, tapi lebih penting lagi etika dan moralitas intelektual surveyor. Biases secara sengaja dan sistematis merupakan bentuk dari penghianatan intelektual.
(Penulis memiliki pengalaman riset sosial-ekonomi di berbagai sektor dan daerah di Indonesia selama 17 tahun.)