Konflik Ukraina dan Indonesia
Oleh: Made Supriatma*
Selama beberapa hari terakhir saya mengamati reaksi orang-orang Indonesia terhadap invasi Rusia ke Ukraina. Di media, bagaikan koor, akademisi dan politisi memberikan komentar atas konflik ini.
Seorang pakar hubungan internasional yang mengajar di sebuah perguruan tinggi negeri mengatakan bahwa "Hanya Indonesia negara yang dinilai mampu memberikan jalan tengah untuk mengakhiri invasi Rusia ke Ukraina."
Seorang politisi bernama Fadli Zon, yang pernah belajar sastra Rusia pada waktu S1, menulis sebuat tweet, "Saya setuju, hanya Pak @jokowi yang bisa menengahi perang Rusia-Ukraina. Ayo mainkan, pak."
Komentar-komentar senada pun berhamburan. Seorang ahli hukum dan seorang ekonom juga dikutip mengeluarkan pendapat yang sama.
Saya terus terang "mecuk alis" membacai komentar-komentar yang keterlaluan genitnya ini. Mecuk alis artinya kurang lebih sama dengan mengernyitkan dahi. Itu tanda kesedihan, kegusaran, sekaligus berpikir keras. Mengapa komentar semacam itu datang dari kalangan paling terdidik di negeri ini, dari sangkar emas akademik terbaik di negeri ini?
Sebagai orang yang juga belajar ilmu hubungan internasional saya merasa betapa jauh jarak kita dari pergaulan akademik internasional. Saya juga menyalahkan media-media kita yang cenderung mencari komentar bombastik dan menghindar dari berpikir serius. Saya tahu ada banyak ahli ilmu hubungan internasional di Indonesia yang suaranya jauh lebih jernih.
Salah satu teori dalam hubungan internasional adalah realisme. Teori ini sangat menekankan pada kekuatan (power) dan kepentingan negara-negara dalam politik dunia. Saya sendiri merasa bahwa realisme adalah teori politik yang paling masuk akal karena paling rasional.
Dari sisi ini, gampang sekali untuk kita melihat bahwa Indonesia akan mampu memainkan peranan internasional kalau ia memiliki kekuatan (power) entah itu secara militer, ekonomi, dan berbagai macam kekuatan lunak (soft power). Kasarnya, kalau Anda memiliki kekuatan, Anda akan mampu membuat orang lain bertingkahlaku sesuai yang Anda kehendaki.
Sebuah negara yang memiliki kekuatan akan disegani. Kepentingan-kepentingannya akan diperhatikan. Negara-negara lain akan memperhatikan kepentingan strategis (strategic interest) negara yang punya kekutan. Kalau tidak, maka Anda bisa diabaikan.
Lho bukannya Indonesia menjadi Ketua G-20? Ya benar. Tapi G-20 itu adalah sebuah perkumpulan yang tidak punya kekuatan. Dalam hubungan internasional, G-20 tidak lebih dari tradisi seremonial yang tidak merefleksikan kekuatan apapun. Berbeda dengan EU (European Union) atau NATO dimana organisasi ini merupakan akumulasi kekuatan negara-negara anggotanya.
Akhir pekan ini, seorang sahabat membagikan tautan ceramah dari Prof. John Mearsheimer dari Universitas Chicago. Ceramah ini disampaikan tujuh tahun lampau (2015). Ceramah ini sudah ditonton 10 juta kali. Sekalipun disampaikan tujuh tahun lalu, isinya sangat relevan untuk memahami situasi sekarang ini.
Prof. Mearsheimer mengulas tentang bagaimana negara-negara Barat melakukan kesalahan strategis dengan perluasan EU dan NATO ke Ukraina. Dia menganalisisnya dengan menyodorkan kondisi-kondisi struktural kekacauan Ukraina dan faktor-faktor pemicunya.
Prof. Mearsheimer juga melihat politik domestik Ukraina. Dari hasil pemilihan umum dan polling terlihat perbedaan besar antara Ukraina Timur (yang dihuni penduduk berbahasa Russia) dengan Ukraina Barat (yang berbahasa Ukraina).
Ia juga melihat faktor-faktor sejarah. Terutama alam pikiran orang Russia dan kenyataan sesudah jatuhnya Uni Sovyet pada 1989. Namun yang paling menarik adalah pikiran realisme Prof. Mearsheimer.
Ukraina, menurutnya, adalah wilayah kepentingan strategis Rusia. Sama seperti "Western Hemisphere" (Belahan Bumi barat) yang menjadi wilayah kepentingan strategis Amerika menurut doktrin Monroe.
Dalam kacamata ini, Ukraina tidak pernah menjadi wilayah kepentingan strategis Amerika. Oleh karena itu, Amerika tidak akan mau meneteskan darah jika terjadi konflik di Ukraina. Lalu mengapa memperluas NATO ke Ukraina?
Kalau Ukraina menjadi anggota NATO, dia terikat pada Article 5 pakta pertahanan ini, yakni negara anggota NATO wajib mempertahankan anggotanya bila diserang pihak luar. Menjadikan Ukraina anggota NATO, tapi tidak mau membelanya secara militer ketika diserang?
Prof. Mearsheimer memisahkan moral dari analisisnya. Ia tampak membela Putin. Namun yang dia lakukan hanyalah melihat formasi kepentingan-kepentingan strategis dari negara-negara ini. Disitulah dia melihat kesalahan fundamental negara-negara Barat, yang membangunkan "beruang tidur" dengan perluasan EU dan NATO.
Ini kesalahan amat fatal dari pembuat kebijakan internasional di Washington. Dia mengatakan baik neo-konservatif (Republikan) maupun imperialisme liberal (Demokrat) keduanya secara fundamental tidak berbeda (tweedle dee and tweedle dum).
Dia mengusulkan agar Ukraina hanya menjadi buffer dari antara Barat dan Russia. Biarlah Ukraina menjadi negara yang netral. Tidak perlu memasukkannya ke dalam EU. Bantuan ekonomi diberikan lewat IMF dan Russia.
Intinya Prof. Mearsheimer mengatakan bahwa tinggalkan Rusia dengan kepentingan strategisnya sendiri. Jangan ia dipojokkan. Salah satu kesalahan paling fundamental negara-negara Barat adalah memberikan Rusia kepada China, yang akan menjadi persoalan paling besar di masa depan. Barat memerlukan Rusia untuk menghadapi Iran, Suriah dan tentu saja China.
Hal lain yang juga menarik dari Prof. Mearsheimer adalah bahwa dia mengatakan NATO akan semakin kehilangan relevansinya. "Pivot Asia" atau peralihan pusat perhatian ke Asia, itulah yang akan terjadi dalam beberapa tahun mendatang. Asia akan menjadi pusat penciptaan kemakmuran dan juga konflik.
Secara tajam Prof. Mearsheimer melihat bagaimana nasionalisme telah dan akan bangkit. Di China, komunisme dan Partai Komunis kehilangan relevansinya. Ketika komunisme sebagai ideologi memudar, satu-satunya cara Partai Komunis tetap berkuasa adalah dengan memompa nasionalisme. Inilah yang menjadi fundamen dari politik China saat ini.
Perhitungan kekuatan dan pengaruh ini menjadi sangat menarik dalam ceramah Prof. Mearsheimer.
Nah, terus bagaimana dengan para ahli Indonesia yang bicara bahwa HANYA Indonesia dan presidennya yang mampu menyelesaikan konflik Rusia-Ukraina?
Akademisi dan intelektual Indonesia terkenal tidak mau mempelajari negara lain. Sebagian besar dari mereka mematut cermin dan bergumam betapa gagah dan cantiknya dirinya.
Ini adalah sebuah bentuk nasionalisme juga. Nasionalisme narsistik yang selalu melihat ke dalam.
Seperti yang sering saya tulis, nasionalisme tidak saja dangkal. Ia juga bego.
Link ceramah Prof. John Mearsheimer. Saya sangat merekomendasikan Anda menonton ceramah ini.
*fb penulis