𝗝𝗔𝗡𝗚𝗔𝗡 𝗕𝗔𝗡𝗗𝗜𝗡𝗚𝗞𝗔𝗡 𝗗𝗘𝗡𝗚𝗔𝗡 𝗣𝗔𝗞 𝗛𝗔𝗥𝗧𝗢
Oleh: Tarli Nugroho
Pak Harto memang getol membangun infrastruktur, tapi keliru jika menyebutnya "mengutamakan pembangunan fisik" seperti Pak Anu. Ada yang masih ingat jargon "pembangunan manusia Indonesia seutuhnya"?! Jargon itu sangat berbeda jauh dengan jargon "Revousi Mental" yang tak ada lagi kabar beritanya sesudah kampanye Pilpres 2014 lewat.
Ketika Indonesia mendapat rejeki nomplok "oil boom" pada awal tahun 1970-an, Pak Harto bukan hanya membangun jalan, jembatan, pelabuhan, serta bandara, tapi juga membangun sekolah serta infrastukrtur kesehatan di seluruh desa di Indonesia.
Menurut pemenang Nobel Ekonomi 2019, Esther Duflo, sebagaimana ditulis dalam salah satu risetnya, “Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Usual Policy Experiment”, yang meneliti kebijakan SD Inpres yang disusun pemerintah Indonesia pada era 1973 hingga 1978, pada saat itu Indonesia membangun lebih dari 61 ribu sekolah dasar. Duflo menulis bahwa program SD Inpres merupakan salah satu program pembangunan sekolah terbesar di dunia. Program itu muncul untuk memperluas kesempatan belajar di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah, baik di perdesaan maupun perkotaan.
Dampak kebijakan itu sangat luar biasa. Duflo menganalisis dampak dari program SD Inpres terhadap tingkat pendidikan dan tingkat upah penduduk Indonesia. Pembangunan SD Inpres telah mendorong proporsi yang signifikan dari populasi masyarakat Indonesia untuk mengenyam pendidikan dasar lebih lama. Peningkatan akses terhadap pendidikan itu telah menyebabkan peningkatan upah 1,5 hingga 2,7 persen untuk setiap sekolah tambahan. Dengan kata lain, Duflo menyimpulkan program ini sukses meningkatkan perekonomian.
SD Inpres merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 10/1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar. Hingga akhir PJPT (Pembangunan Jangka Panjang Tahap) I, yaitu tahun 1994, tercatat hampir 150 ribu unit SD Inpres telah dibangun. Seiring dengan itu, ditempatkan pula lebih dari 1 juta guru Inpres di sekolah-sekolah tersebut. Total dana yang dikeluarkan untuk program ini tahun 1994 mencapai hampir Rp6,5 triliun.
Atas keberhasilan program ini, Presiden Soeharto telah diganjar penghargaan Medali Emas Unesco Avicenna (Pendidikan) oleh Unesco pada tahun 1993.
Dalam bidang kesehatan Pak Harto sangat berjasa dalam membuka akses kesehatan bagi masyarakat melalui pembangunan Posyandu dan Puskesmas di seluruh desa dan kecamatan. Melalui pembangunan infrastruktur pendidikan dan kesehatan, pemerintah pada masa itu sangat serius membangun manusia Indonesia. Jadi, tidak benar kalau dikatakan Pak Harto hanya gandrung dengan pembangunan fisik semata.
Sebagai catatan, meskipun di awal kekuasaannya Pak Harto sangat mempercayai para teknokrat yang dipimpin oleh Widjojo Nitisastro, namun Pak Harto juga mendengarkan kritik yang beredar di masyarakat mengenai pendekatan para ekonom yang terlalu berorientasi pada investasi asing, serta sangat menekankan pada aspek stabilitas moneter dan makro ekonomi. Pak Harto melihat bahwa para pembantunya itu telah melupakan aspek-aspek lainnya, terutama mengenai pembangunan manusia dan penguasaan teknologi untuk mendorong industrialisasi.
Sehingga, menurut R.E. Elson, ketika Indonesia menikmati lonjakan penerimaan APBN yang luar biasa dari rejeki minyak, Pak Harto menggunakan momentum itu untuk mengurangi peran para teknokrat serta mengubah orientasi pembangunannya menjadi lebih nasionalistik. Sejak itu Presiden Soeharto mulai banyak berbicara mengenai pentingnya koperasi, mengatasi ketimpangan, serta mengurangi kemiskinan.
Ia mengadopsi seluruh kritik yang dilontarkan terhadap praktik developmentalisme Pemerintah dengan mengeluarkan konsep "Trilogi Pembangunan" pada 1978. Pembangunan tidak boleh lagi hanya berorientasi pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, namun juga harus diarahkan untuk melakukan pemerataan. Terlepas dari soal karakter pemerintahannya secara umum yang bersifat otoritarian, namun Presiden Soeharto bersikap adaptif terhadap kritik yang sering dilontarkan kepada pemerintah.
Ketika Pak Harto memanggil pulang Habibie lalu memasukkannya ke dalam kabinet pada tahun 1978, fragmen ini sangat berkaitan dengan ketidakpuasannya terhadap konsep pembangunan yang diusung para teknokrat. Pak Harto menginginkan Indonesia bisa menjadi negara industri, sehingga membutuhkan penguasaan teknologi dan pembangunan manusia.
Visi Pak Harto mengenai pembangunan manusia sangat bersesuaian dengan jalan pikiran Habibie. Menjadikan uang sebagai satu-satunya kapital pembangunan memang tidaklah cukup. Itu sebabnya, orientasi pembangunan Indonesia harus berubah dengan lebih bertumpu pada sumber daya manusia dan teknologi.
Dalam pandangan Habibie, masalah yang sering dihadapi oleh negara berkembang adalah defisit perdagangan. Persis di situ industri berteknologi tinggi bisa memberikan jalan keluar. Jika industri berteknologi rendah rawan menghadapi berbagai barrier, seperti kuota, tarif, perang harga, dan sejenisnya, hal yang sama tak berlaku pada industri berteknologi tinggi.
Menurut Habibie, industri secara umum dapat dibagi dua, yakni industri berteknologi rendah, dan yang berteknologi tinggi. Hasil industri berteknologi rendah akan mengalami persaingan yang ketat sehingga timbul kuota. Jenis komoditas demikian, lanjut Habibie, kerap menimbulkan defisit dalam neraca perdagangan dan neraca pembayaran. Hal itulah yang selalu menjadi masalah negara berkembang.
Sedangkan industri yang bernilai tambah tinggi, seperti pesawat terbang, dan satelit, tak banyak yang bisa membuatnya, sehingga tak timbul kuota. Sebagai contoh wujud nilai tambah dalam industri adalah pembuatan mobil dengan bobot yang sama tapi harganya berbeda, karena mobil berteknologi tinggi nilainya bisa puluhan kali lebih mahal. Padahal, setelah menjadi rongsokan, harga besi tuanya sama saja.
Lalu, apa yang kita butuhkan untuk menguasai teknologi tinggi?
Menurut Habibie, jika Amerika Serikat memiliki 2-3 persen penduduk yang bekerja di sektor hi-tech, dan Jepang sekitar 5 persen, maka Indonesia hanya cukup satu persen saja. Dengan satu persen jumlah penduduk yang bekerja di sektor hi-tech, maka menurut Habibie kita tidak perlu mengimpor produk-produk yang nilai tambahnya tinggi sekali yang selalu membuat perekonomian kita mengalami defisit. Pada sisi sebaliknya, dengan penguasaan teknologi Indonesia akan bisa mengekspor komoditas yang punya nilai tambah tinggi, bukan hanya mengekspor barang-barang mentah. Sehingga, neraca perdagangan kita bisa surplus.
Untuk mencapai misinya terkait riset dan teknologi, sejak 1982 Habibie mengirimkan ribuan anak-anak bangsa terpilih ke seluruh penjuru dunia untuk megenyam pendidikan di bidang sains dan teknologi. Program pemberian beasiswa ini kemudian dikenal sebagai Program Habibie. Ada sembilan negara yang dijadikan tujuan belajar, yaitu Jepang, Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Australia, Austria, Inggris, Belanda, dan Kanada.
Apa yang telah dirintis oleh Soeharto dan Habibie dulu sebenarnya merupakan ekosistem dasar untuk mendukung kebutuhan tekno-ekonomi Indonesia di kemudian hari. Belajar dari pengalaman industrialisasi Jepang, Korea Selatan dan Taiwan, Habibie telah menawarkan pilihan teknologi apa yang harus dikembangkan. Teknologi itu adalah di bidang kedirgantaraan, perkeretaapian, serta perkapalan. Sebagai negara maritim, menurut Habibie Indonesia harus menguasai teknologi yang berhubungan dengan tiga matra tadi.
Sayangnya, belum lagi melangkah jauh, upaya sistematis untuk menjadi negara industri berteknologi tinggi dengan bertumpu pada pembangunan manusia itu telah diinterupsi oleh jatuhnya harga minyak di awal tahun 1980-an. Sejak 1983, Presiden Soeharto kembali harus berkompromi dengan para teknokrat yang kemudian melakukan berbagai praktik deregulasi dan liberalisasi untuk menarik kembali investasi asing agar masuk ke Indonesia.
Jadi, sekali lagi, tidak benar kalau Pak Harto hanya getol membangun infrastruktur fisik. Lagi pula, Pak Harto membangun infrastruktur saat Indonesia punya banyak duit, bukan saat bokek. Proyek-proyeknya tidak pernah membahayakan keuangan negara.
Sehingga, upaya untuk membandingkan Pak Anu dengan Pak Harto adalah bentuk penghinaan terhadap Pak Harto!
*fb penulis (15/02/2022)