Islamofobia versus Pengalihan Isu
Oleh: Tamsil Linrung (Anggota DPD RI)
SULIT menyanggah Indonesia tidak terserang pandemi Islamofobia. Ini sama sulitnya dengan menganggap negeri ini aman-aman saja, dijamin tak ada hama Islamofobia. Faktanya, beberapa tahun terakhir harmoni kehidupan umat Islam terusik stigma buruk dan personifikasi destruktif atas nama intolensi, radikalisme dan terorisme.
Teranyar, Kepolisian RI dan Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET MUI) menyatakan berencana melakukan pemetaan masjid di Indonesia. Sementara itu, di hadapan Komisi III DPR, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebut 198 pesantren terafiliasi gerakan terorisme.
Masjid dan pesantren adalah kaki penyanggah umat Islam Indonesia. Masjid bukan saja tempat ibadah, tetapi sarana menjaga soliditas umat. Pun begitu dengan pesantren. Bukan sebatas ruang menuntut ilmu, namun rahim bagi lahirnya intelektual dan calon pemimpin berkepribadian islami.
Kita mengapresiasi penolakan keras Ketua Dewan Masjid HM Jusuf Kalla atas wacana pemetaan masjid. Pun, kritik keras JK terhadap pernyataan BNPT. Siapa pun warga negara atau lembaga pendidikan yang terbukti melanggar hukum, silahkan ditindak. Sebab, kita tidak menafikan perilaku keagamaan yang menyimpang dan berpotensi radikal lalu menjurus ke arah terorisme. Namun, buru-buru menggelontorkan wacana tanpa argumentasi dan bukti yang kuat, tentu dapat dimaknai penggiringan opini.
Seraya menunggu tindak lanjut rencana Polri dan BPET MUI memetakan masjid, kita sekaligus mengapresiasi permintaan maaf BNPT. Mereka mengakui ada kesalahan diksi. Sebagai muslim yang baik, kita tentu memaafkan. Namun, sebagai muslim yang kritis, barangkali saatnya kita bertanya. Apakah penggunaan diksi yang menyudutkan Islam punya arah tertentu?
Faktanya, tidak sedikit wacana-wacana kontroversial dilontarkan elit politik ke ruang publik lalu menguap begitu saja. Masih ingat wacana sertifikasi ulama? Atau kotak amal yang diduga sumber pendanaan terorisme? Seolah menguap bersama angin, kita tak tahu ujung dari perkara-perkara tersebut. Yang ada, wacana-wacana itu menjadi sumber kegaduhan tak penting.
Disebut tidak penting karena persoalan utama bangsa saat ini tidak terletak di sana. Persoalan utama kita adalah ekonomi bangsa yang rapuh, peningkatan jumlah hutang yang ekstrim, kegagalan pembangunan, angka kemiskinan yang meningkat tajam bahkan bukan saja miskin biasa tapi miskin ekstrem.
Jauh di bawah standardisasi miskin yang ditetapkan Bank Dunia. Juga kebijakan yang miskin aspirasi rakyat semisal UU Omnibus Law atau Cipta Kerja. Inilah yang membuat bangsa kita semakin rapuh. Namun, rakyat seringkali bertengkar seputar masalah Nusantara versus Arab, cingkrang versus sarung, atau jilbab versus kebaya.
Diksi radikalisme dan sejenisnya menjauhkan fokus perhatian kita dari masalah-masalah utama itu. Diksi ini sekaligus membuyarkan perhatian pada sejumlah masalah aktual. Sebelum wacana pemetaan masjid dan pesantren muncul, perhatian publik tertuju pada sejumlah hal besar. Sebut saja pengesahan UU Ibukota Baru atau pelaporan Kaesang-Gibran ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Maka, diksi-diksi yang menyudutkan Islam boleh jadi bersifat politis. Mungkin dilatarbelakangi oleh hasil Pilgub DKI yang memperlihatkan soliditas umat Islam sebagai sebuah kekuatan politik, mungkin sebagai pengalihan isu, atau mungkin pula hal lainnya.
Nyanyian sumbang tentang intoleransi, radikalisme, ekstremisme, terorisme dan seterusnya terasa begitu ramai di Indonesia beberapa tahun terakhir. Padahal, dunia sudah muak dan menunjukkan kesadaran atas kekeliruan mereka memersepsikan Islam. Tren menjauh dari perangkap Islamofobia setidaknya dapat kita lihat pada kebijakan pemerintahan Kanada dan Amerika Serikat.
Pemerintah Kanada mengumumkan bakal menunjuk perwakilan khusus untuk memerangi islamophobia sebagai bagian dari strategi anti-rasisme negaranya. Sementara itu, DPR atau House of Representative AS menyetujui rancangan undang-undang yang memerangi gerakan antimuslim atau islamofobia di negeri mereka. Dua negara minoritas muslim tersebut memberi penghormatan yang begitu elegan terhadap keberagaman.
Fenomena itu adalah sinyal perubahan cara pandang dunia terhadap Islam. Aneh jika negara berpenduduk mayoritas Muslim ini ketinggalan, apalagi menjejaki masa lalu mereka yang kini mulai ditinggalkan itu.(*)
Sumber: FNN.co.id