Ulah Pemerintahlah yang Membuat Harga Minyak Goreng Melonjak
Oleh: Faisal Basri*
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, harga minyak goreng pada Desember 2021 naik 34 persen dibandingkan Desember tahun sebelumnya. Pada Desember 2020 harga eceran minyak goreng Rp15.792 per liter, sedangkan pada Desember 2021 sudah mencapai Rp21.125 per liter.
Banyak berita menuduh lonjakan harga minyak goreng akibat ulah pengusaha. Bahkan ada yang menengarai terjadi praktik kartel oleh produsen minyak goreng.
Untuk menjinakkan harga minyak goreng, pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng curah sebesar Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp14.000 per liter yang mulai berlaku 1 Februari 2022. Namun, penetapan HET tidak diiringi oleh tambahan pasokan yang memadai sehingga harga jual masih saja mendekati Rp20.000 per liter. Boleh jadi pedagang masih menjual dengan harga lama karena stok yang mereka miliki diperoleh dengan harga lama. Boleh jadi pula karena memang pasokan tersendat sehingga terjadi kelangkaan di pasar.
Pemerintah menerapkan kebijakan satu harga sebesar Rp14.000 per liter untuk operasi pasar agar harga stabil. Harga itu tentu saja adalah harga subsidi, karena produsen minyak goreng tidak mau merugi atau terpangkas labanya. Dana subsidi berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS).
Selain itu, pemerintah menetapkan DMO (domestic market obligation) dan domestic price obligation (DPO) kepada produsen CPO dan turunannya. Pemerintah juga melakukan pengaturan tambahan bagi pengekspor untuk menjamin ketersediaan bahan baku minyak goreng. Bahkan pemerintah sempat “menggertak” untuk melarang ekspor CPO dan turunannya.
Duduk Perkara
Kebijakan yang baik dan efektif ditentukan oleh kepiawaian pemerintah mendiagnosis penyebab kenaikan harga. Pasar tidak bisa dikomando secara serampangan.
Ternyata ekspor bukan biang keladi kenaikan harga. Walaupun harga minyak sawit dunia melonjak, volume ekspor CPO dan turunannya hanya naik sangat tipis dari 34,0 juta ton tahun 2020 menjadi 34,2 juta ton tahun 2021. Penurunan volume ekspor sejalan dengan penurunan produksi CPO dari 47,03 juta ton tahun 2020 menjadi 46,89 juta ton tahun 2021.
Mengapa harga minyak goreng melonjak padahal produksi dan ekspor CPO–yang menjadi bahan baku utama minyak goreng–hanya turun sangat tipis? Ditambah lagi, permintaan minyak goreng tidak mengalami lonjakan.
Ada satu faktor terpenting yang lepas dari perhatian pemerintah dan diskusi publik, yakni pergeseran besar dalam konsumsi CPO di dalam negeri.
Di masa lalu, pengguna CPO yang sangat dominan di dalam negeri adalah industri pangan (termasuk minyak goreng). Namun, sejak pemerintah menerapkan kebijakan mandatori biodiesel, alokasi CPO untuk campuran solar berangsur naik.
Peningkatan tajam terjadi pada tahun 2020 dengan diterapkannya Program B20 (20 persen kandungan CPO dalam minyak biosolar). Akibatnya, konsumsi CPO untuk biodiesel naik tajam dari 5,83 juta ton tahun 2019 menjadi 7,23 juta ton tahun 2020 atau kenaikan sebesar 24 persen.
Sebaliknya, konsumsi CPO untuk industri pangan turun dari 9,86 juta ton tahun 2019 menjadi 8,42 juta ton tahun 2020.
Pola konsumsi CPO dalam negeri seperti itu terus berlanjut tahun 2021 dan diperkirakan porsi untuk biodiesel akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan porsi CPO dalam biodiesel lewat Program B30 atau bahkan lebih tinggi lagi.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memperkirakan tahun 2022 ini porsi CPO untuk industri biodiesel akan mencapai sekitar 43 persen dari konsumsi CPO dalam negeri, padahal pada tahun 2019 masih sekitar 37 persen. Dalam satu sampai dua tahun ke depan boleh jadi porsi untuk biodiesel akan melampaui porsi untuk industri pangan.
Tentu saja pengusaha lebih cenderung menyalurkan CPO-nya ke pabrik biodiesel karena pemerintah menjamin perusahaan biodiesel tidak bakal merugi karena ada kucuran subsidi jika harga patokan di dalam negeri lebih rendah dari harga internasional. Sedangkan jika dijual ke pabrik minyak goreng tidak ada insentif seperti itu.
Hingga kini sudah puluhan triliun mengalir subsidi ke pabrik biodiesel dari dana sawit yang dikelola oleh BPDPKS.
Itulah dilema antara CPO untuk “perut” dan CPO untuk energi. Tak pelak lagi, kenaikan harga minyak goreng adalah akibat dari kebijakan pemerintah sendiri, karena selalu ada trade off (simalakama) antara CPO untuk “perut” dan CPO untuk energi.