Oleh: Smith Alhadar*
TIDAK mudah memerintah Indonesia pasca-2024. Terlalu banyak masalah bangsa yang terus berakumulasi hingga beberapa tahun ke depan.
Pertama-tama yang harus disebut adalah hilangnya keakraban di antara anak bangsa. Perpecahan masyarakat yang dimulai pada 2014 akibat perbedaan pilihan politik terus bereskalasi karena rezim Jokowi melihat oposan, terutama mereka yang mengusung populisme Islam, sebagai lawan yang berbahaya bagi stabilitas rezim, bukan mitra diskusi yang berguna bagi pematangan sebuah kebijakan publik.
Untuk membungkam oposisi yang dianggap sampah, para influencer dan buzzer diciptakan untuk membela rezim dengan segala cara. Ends justify the means. Akibatnya, setiap beleid pemerintah tidak diuji secara saksama di tengah publik terlebih dahulu sebelum diimplementasikan.
Postur rezim seperti ini justru membuat masyarakat kian terbelah saat rezim membutuhkan kebersamaan seluruh warga dalam menghadapi setiap masalah yang semakin berat di tengah pandemi covid-19 yang tak seorang pun tahu kapan akan berakhir.
WHO menyatakan, kalaupun pandemi dapat dituntaskan pada 2022, kerusakan ekonomi khususnya baru dapat dipulihkan enam tahun kemudian. Dengan demikian, rakyat miskin Indonesia yang jumlahnya bertambah secara signifikan selama dua tahun terakhir masih harus memikul penderitaan mereka dalam waktu relatif lama.
Sementara itu, rezim yang menganggap diri kuat akibat dukungan besar partai politik semakin tak peka pada aspirasi publik.
DPR bukan saja tidak menjalankan fungsi kontrolnya terhadap eksekutif yang telah terjerat dalam kendali oligarki ekonomi, tapi telah menjadi bagian dari eksekutif yang melayani kepentingan oligarki ekonomi melalui rezim.
Anggota partai politik pendukung rezim di DPR, yang jumlahnya melebihi 82 persen, telah menjadi oligarki politik. Mereka bahkan mengakomodasi kepentingan oligarki ekonomi yang telah mengeluarkan banyak uang dalam membiayai target-target politik elektoral partai politik dalam pemilu. Karena oligarki politik dan ekonomi memainkan peran menentukan dalam penentuan dan pemenangan capres-cawapres dalam kontestasi pemilu, dengan sendirinya presiden-wakil presiden terpilih harus membalas budi pihak-pihak yang telah berjasa bagi keterpilihan mereka.
Maka lahirlah berbagai beleid (aturan) pemerintah yang melayani kepentingan oligarki. Sementara parlemen mengeluarkan payung hukum untuk tujuan itu dengan mengabaikan suara-suara kritis publik dan melanggar kaidah-kaidah pembuatan hukum yang digariskan konstitusi.
Contoh menonjol dalam kasus ini adalah lahirnya UU Cipta Kerja — yang melayani kepentingan oligarki ekonomi, membuka peluang korupsi tanpa pertanggungjawaban, dan merugikan kaum buruh — yang oleh Mahkamah Konstitusi divonis sebagai inkonstitusional bersyarat.
Belum lagi isu ini mereda, publik dikagetkan lagi dengan pengesahaan RUU Ibu Kota Negara (IKN) menjadi UU oleh DPR. Pasalnya, pemindahan IKN — yang meminta dana APBN demikian besar di saat utang luar negeri menggunung dan masih dibutuhkan anggaran jumbo untuk menangani covid-19 — bukan isu urgent. Lagi pula, rezim nampak tergesa-gesa dalam rencana ini.
Berbagai pihak yang kompeten menilai naskah akademis untuk pemindahan IKN dan dampak besarnya yang akan ditimbulkan tidak memadai.
Kendati demikian, rencana ini sudah pasti segera diwujudkan karena sudah ada UU-nya. Memang Presiden belum menandatangani UU itu untuk diberlakukan. Tapi pasti beliau akan melakukannya karena UU ini merupakan keinginannya untuk dua tujuan.
Pertama, IKN akan merupakan legacy-nya yang akan dikenang bangsa untuk selamanya saat tak ada hal menonjol yang dilakukan Presiden selama sepuluh tahun presidensinya. Kedua, pemindahan IKN merupakan jalan tol untuk membagi-bagi proyek kepada pihak-pihak yang berjasa pada dirinya — baik oligarki parpol maupun para pemodal — sebagai balas budi.
Sayangnya, porsi terbesar dana yang akan digunakan berasal dari APBN, yang notabene uang rakyat, ketika UU mengamanatkan APBN hanya boleh dipakai dalam kerangka Pemulihan Ekonomi Nasional, yang berarti rezim harus mendahulukan keselamatan rakyat yang sangat terpukul oleh pandemi, baik sisi kesehatan, sosial, maupun ekonomi.
Dus, pemindahan IKN ini akan menciptakan kompleksitas masalah — baik masalah politik, ekonomi, hukum, sosial, dll — yang tak dapat ditangani rezim. Masalahnya bahkan akan dipikul rakyat Indonesia hingga puluhan tahun ke depan karena dampak ikutannya sangatlah besar skalanya.
Itulah sebabnya, suara gugatan para pakar, aktivis, dan masyarakat sipil terdengar semakin nyaring belakangan ini. Karena rezim telah masuk dalam lingkaran setan oligarki, suara-suara gugatan itu akan dianggap angin lalu.
Maka pasca-2024, pemerintahan baru harus cuci piring kotor yang ditinggalkan rezim sebelumnya. Yang mengkhawatirkan, bakal calon presiden yang dibicarakan publik hari ini berlomba mendeklarasikan diri sebagai calon penerus kebijakan rezim Jokowi demi mendapatkan coattail effect. Masalahnya, meneruskan kebijakan Jokowi berarti memperbesar masalah yang sudah ada sekarang.
Padahal, Pilpres 2024 seharusnya menjadi momentum untuk membalikkan situasi dan kondisi bangsa yang karut-marut. Memang kalau negara dikelola secara amatiran oleh pemimpin yang tak punya visi, yang di saat bersamaan harus melayani kepentingan oligarki, maka tak usah terkejut kalau dampak kerusakannya cukup mengkhawatirkan.
Tapi bukan hanya itu masalah yang akan ditinggalkan rezim pada 2024. Kita sedang menghadapi banyak masalah lain yang tak kurang besar dan urgent untuk diselesaikan segera kalau status negara maju mau diraih bangsa ini saat merayakan 100 tahun HUT RI, yang tinggal 26 tahun lagi.
Sebagaimana diketahui, Indeks Demokrasi, Indeks Pembangunan Manusia, dan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia sedang merosot. Tapi tidak berarti pandemi covid-19 merupakan akar dari semua masalah. Pandemi hanya mengakselerasi masalah-masalah di atas yang sudah ada sebelumnya.
Indeks demokrasi merosot karena rezim melakukan represi terhadap kelompok yang tak disukai yang dicap radikal. Pada saat bersamaan, rezim membiarkan ormas besar menindas kelompok-kelompok kecil untuk alasan yang sama. Demokrasi substansial juga merosot karena eksistensi oligarki parpol akibat dari parliamentary threshold dan presidential threshold.
Berikutnya adalah isu korupsi yang makin menggurita. Sistem politik Indonesia membuka ruang bagi munculnya calon-calon pemimpin yang tidak kompeten dan lemah, yang bersedia melayani kepentingan oligarki. Akibat tingginya mahar politik bagi calon pemimpin legislatif dan eksekutif, yang hanya bisa dipenuhi oleh oligarki ekonomi, maka semua calon yang terpilih itu berutang pada oligarki yang harus mereka bayar saat telah terpilih dengan mengeluarkan UU dan kebijakan yang menguntungkan para sponsor itu.
UU Cipta Kerja dan UU IKN adalah contoh kasat mata bagaimana pemimpin harus melakukan sesuatu untuk membayar utang kendati menimbulkan masalah kenegaraan yang serius.
Luka-luka ini membebani perjalanan bangsa ini ketika tantangan di depan semakin serius. Sebuah bangsa hanya bisa berlari cepat kalau tak ada rantai besi yang mengikat kakinya.
Karena itu, diperlukan pemimpin otentik yang mampu melihat masalah yang dihadapi bangsa dan, karena kompetensinya dari segi intelektual dan moral. Ia mampu membalikkan keadaan.
Untuk sementara ini, dari bakal capres-cawapres yang ditengarai akan berkontestasi pada Pilpres 2024, hanya Anies Baswedan yang memenuhi persyaratan intelektual dan moral yang disebutkan di atas. Ia juga punya integritas pribadi yang akan melindungi dirinya dari kemungkinan terperosok ke dalam lumpur oligarki sebagaimana telah ia buktikan saat memimpin Jakarta. Yang juga menjadi nilai plus dari Anies adalah kemampuannya memahami demokrasi substansial dan komitmen untuk merealisasikannya.
Demokrasi bukan hanya mantra politik yang tak bermakna, melainkan sarana utama yang efektif untuk mewujudkan kebebasan dan kesejahteraan masyarakat — yang kini sedang merosot– yang menjadi tujuan bernegara.
Ada lagi yang menjadi kelebihan Anies ketimbang bakal capres lain, yaitu ia dapat menjadi mediator untuk menyatukan bangsa yang terbelah. Isu ini krusial karena dapat mengembalikan keakraban antarwarga negara, yang dapat menyatukan kembali masyarakat yang koyak, sehingga dapat lebih menjamin stabilitas negara dan meningkatkan energi bangsa dalam mengatasi masalah dan tantangan yang dihadapinya.
Perlu juga diingat bahwa akseptabilitas seorang pemimpin sebuah negara di mata komunitas internasional karena kapasitas intelektual dan integritasnya dapat membantu sebagian masalah negara. Dan kita tahu Anies adalah figur internasional yang diharapkan komunitas internasional dapat memimpin Indonesia ke depan sehingga dapat berkontribusi bagi kesejahteraan dan ketertiban dunia dan memperkuat komitmen demokrasi saat negara-negara dunia ketiga mulai mempertanyakan sistem demokrasi yang rewel dan tidak efisien dihadapkan pada sistem otoriter China yang telah terbukti mampu memajukan bangsa itu.
Tapi Indonesia pasca-2024 hanya dapat keluar dari lorong dan menjadi bangsa yang menjanjikan kalau dipimpin seorang negarawan. Dan orang itu adalah Anies Baswedan. Alangkah sayangnya kalau Anies tidak menjadi capres pada Pilpres 2024 karena Indonesia akan kehilangan momentum langka dan krusial demi kejayaan bangsa yang saat ini sedang terlilit masalah besar.
Tangsel, 4 Februari 2022
*Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)
(KBA)