[PORTAL-ISLAM.ID] Munarman, eks Sekretaris Front Pembela Islam (FPI) membacakan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).
Eksepsi tersebut dibacakan langsung di ruang utama sidang Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur. Saat membacakan eksepsi, terdengar suara kesedihan Munarman ketika mulai membaca pendahuluan isi eksepsi dengan suara berat yang sesekali terjeda bersamaan terdengar suara helaan nafas.
"Alhamdulillah, proses sidang ini akhirnya bisa terlaksana setelah menunggu selama delapan bulan Alhamdulillah," ujar Munarman saat bacakan eksepsi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Rabu.
Kemudian pada pokoknya, eksepsi memohon agar majelis hakim membatalkan dakwaannya agar dia dibebaskan.
"Saya memohon agar yang mulai majelis hakim berkenan memeriksa, mengadili, dan menjatuhkan putusan sela," kata Munarman.
Dalam eksepsinya, Munarman merasa dizalimi melalui penangkapan yang sewenang-wenang, tuduhan yang direkayasa, dan konstruksii kasus yang dikaitkan dengan peristiwa pidana pihak lain.
Berikut sederet pernyataan eks Sekretaris Front Pembela Islam (FPI) Munarman saat membacakan eksepsi atau nota keberatan dihimpun Liputan6.com:
1. Mohon Diberi Putusan Sela
Munarman dalam eksepsinya atau nota keberatan atas dakwaan jaksa penuntut umum atau JPU, pada pokoknya memohon agar majelis hakim membatalkan dakwaannya agar dia dibebaskan.
Permohonan itu dilayangkan Munarman dihadapan majelis hakim, agar menjatuhkan putusan sela.
2. Sebut Penangkapan Dirinya Tak Sah
Adapun poin pokok eksepsi tersebut, Munarman memohon agar majelis hakim menerima seluruh nota keberatannya serta menyatakan penangkapan dirinya tidak sah secara hukum.
"Memerintahkan jaksa penuntut umum agar melepaskan saya, dan menyatakan penyitaan barbuk yang dilakukan tanpa surat izin ketua Pengadilan Negeri (PN) tidak sah sehingga barang bukti tidak bisa digunakan menjadi barang bukti perkara ini," sebutnya.
Termasuk, lanjut dia, mendesak dikembalikannya seluruh barang bukti yang disita dari kediamannya. Serta, menyoroti soal dakwaan jaksa yang tidak sesuai dengan asas pada Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dimana dalam beleid itu menyebut suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.
"Menyatakan dakwaan jaksa penuntut umum tak cermat atau tak jelas. Menyatakan dakwaan jaksa penuntut umum batal demi hukum. Menyatakan PN Jaktim tak bisa adili perkara ini," sebutnya.
"Memulihkan harkat martabat saya di masyarakat atau kalau hakim memiliki putusan lain, maka memohon putusan seadil-adilnya," tambahnya.
3. Doakan yang Fitnah Dirinya Diazab
Munarman terdengar sedih saat bacakan eksepsi. Suara kesedihan Munarman itu terdengar ketika dirinya mulai membaca pendahuluan isi eksepsi dengan suara berat yang sesekali terjeda bersamaan terdengar suara helaan nafas.
Dalam eksepsinya itu, Munarman merasa dizalimi melalui penangkapan yang sewenang-wenang, tuduhan yang direkayasa, dan konstruksii kasus yang dikaitkan dengan peristiwa pidana pihak lain.
Pasalnya kasus itu tidak memiliki hubungan sebab akibat dengan dirinya. Maka, dia lantas mendoakan agar semua orang yang memfitnahnya mendapatkan azab dari Allah SWT.
"Semoga semua yang telah memfitnah saya melalui berbagai rekayasa yang sistematis tersebut mendapatkan azab dari Allah SWT," ucap Munarman.
4. Singgung soal Penetapannya Jadi Tersangka Patut Masuk Guinness World Records
Pada eksepsinya itu, Munarman menyinggung soal penetapannya sebagai tersangka kasus terorisme.
Dia menyebut penetapan itu tak sesuai prosedur. Dia pun menyindir jika penetapannya sebagai tersangka terorisme layak masuk dalam catatan rekor dunia.
"Sungguh hebat luar biasa dan patut diusulkan untuk masuk Guinness World Records cara kerja dalam penetapan saya sebagai tersangka tersebut," kata Munarman.
Menurut dia, penetapannya sebagai tersangka itu tidak didukung dengan alat bukti yang cukup. Polisi, lanjut dia, hanya berpegang pada keterangan orang yang dapat menggiring opini publik.
"Hanya bermodalkan penggiringan opini dari para napi dan tersangka yang ditunjuk dan disembunyikan, lalu disebarkan ke berbagai media massa," ujar Munarman.
Dia mengatakan, Densus 88 tidak memberikan haknya untuk menyampaikan bantahan atau klarifikasi.
Oleh karena itu, dia menilai penetapan tersangka terhadapnya cacat hukum dan tidak sesuai dengan ketentuan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PPU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang 1945, dan Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pada pokoknya, aturan tersebut terkait penetapan kasus pidana harus dilaksanakan secara adil dengan mendengarkan keterangan dan bukti dari seluruh pihak dan terutama calon tersangka. Sementara, dia merasa tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka.
"Penetapan tersangka terhadap saya adalah cacat hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka tersebut harus dibatalkan," ujar Munarman.
5. Sempat Sebut Nama Ketua KPK Firli Bahuri
Mantan Karo Dalops As Ops Polri Birgjen Polisi Firli Bahuri yang kini menjabat sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), turut disebut terdakwa Mantan Sekretaris Front Pembela Islam (FPI), Munarman sebagai idola dikala Aksi 212 pada 2 Desember 2016 dulu. Foto Firli itu turut terpampang dalam draft eksepsi atau nota keberatan.
"Ternyata ketua KPK terpilih Irjen Pol Firli dulu jadi idola saat aksi 212," sebut Munarman dalam eksepsinya.
Bahkan pada eksepsi setebal 84 halaman itu ikut terpasang empat foto Firli yang memakai kopiah berwarna hitam ketika berada di atas mobil komando serta saat menyapa para peserta aksi 212 pada saat itu.
"Ada di atas mobil komando yang menggunakan sorban merah itu saya (Munarman) di depannya itu. Itu ada ketua KPKnya (Firli). terlihat sekali," ujar Munarman seraya tunjukan foto Firli saat sidang.
Foto Firli yang terpasang itu, dimaksudkan Munarman sebagai sanggahan atas dakwaan yang disebutnya diduga terlibat merencanakan aksi terorisme. Tidaklah terbukti jika dikaitkan dengan momen acara Aksi 212 yang kala itu seharusnya jadi momen emas untuk jalankan teror.
"Pada bagian ini saya buktikan pernyataan saya di atas bahwa antara tuduhan yangdialamatkan kepada saya sebagai otak teroris dengan berbagai peristiwa pasca tempus delicti yang dituduhkan kepada saya" ujarnya.
Namun ketika gelaran Aksi 212 tidaklah terjadi teror, dia yang ditunjuk sebagai koordinator aksi dapat menciptakan aksi yang kondusif. Bahkan turut dihadiri sejumlah pejabat tinggi negara bisa selesai secara damai
"Upaya yang saya lakukan dalam menjaga keamanan, ketertiban dan kedamaian pada Aksi 212 tahun 2016 yang dihadiri oleh para pejabat tinggi negara dan juga saat menjaga situasi kondusif dalam Pemilu 2019," paparnya.
6. Bantah Rencanakan Teror, Sebut Aksi 212 Buktinya
Munarman membantah merencanakan teror. Munarman lalu mengaitkannya dengan Aksi 212 pada 2 Desember 2016 yang kala itu dihadiri para petinggi negara.
Menurut dia, acara yang digelar di Monumen Nasional (Monas) itu menjadi momen emas untuk menyerang mereka jika benar dia merencanakan teror.
"Mulai dari Presiden, Wakil Presiden, Menkopolhukam, Panglima TNI, Kapolri, Pangdam (Jaya), Kapolda dan beberapa menteri lainnya, bahkan Kepala BNPT yang saat ini juga hadir," kata Munarman.
"Maka sudah dapat dipastikan bahwa seluruh pejabat tinggi yang hadir di Monas tanggal 2 Desember 2016 tersebut sudah pindah ke alam lain," tambah dia.
Padahal, lanjut dia, para penjabat negara itu dalam jangkauannya dalam acara tersebut.
"Namun, faktanya, para pejabat tinggi negara aman dan baik-baik saja. Bahkan bisa menjabat terus hingga saat ini," ucap Munarman.
"Karena sekali lagi, pejabat tinggi negara ini hadir di Monas dalam acara yang digelar pada 2 Desember 2016 dan semua pejabat tinggi negara tersebut ada dalam jangkauan saya," sambung dia.
7. Jelaskan soal Baiat ke ISIS
Didakwa turut terlibat dalam acara baiat kepada kelompok teroris Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) pimpinan Abu Bakar Al-Baghdadi, terdakwa Munarman membantah hal tersebut bukan suatu pelanggaran hukum.
Argumen itu disampaikan Munarman, terkait dakwaan JPU yang menyebut Munarman terlibat dengan menghadiri acara baiat kepada ISIS pada 6 Juli 2014 di Gedung UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan.
"Kehadiran saya dalam acara diskusi publik di UIN Syarif Hidayatullah Ciputat tahun 2014, adalah suatu yang tidak melanggar hukum," kata Munarman.
Padahal, Munarman mengaku kehadirannya dalam acara tersebut, hanya karena diundang untuk mengikuti seminar tanpa ada motif lain, termasuk soal rencana terlibat dalam aksi terorisme.
"Maka saya hadir saja, apalagi kebetulan UIN Syarif Hidayatullah adalah salah satu jalur saya dalam pulang pergi dari rumah saya yang disekitar UIN Syarif hidayatullah," kata Munarman.
Terlebih, Munarman menilai jika kegiatan di UIN itu tidak melanggar hukum. Pasalnya, kegiatan yang disebut turut berbaiat kepada ISIS itu belum ada kekuatan hukum mengikat, dimana kelompok tersebut belum dinyatakan dilarang.
Karena kegiatan yang dihadirinya pada 6 Juli tahun 2014, sementara dalam surat dakwaan penuntut umum, pada halaman 42, tertulis Resolusi PBB tentang ISIS tanggal 15 Agustus 2014, Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 11 Oktober 2014, serta Surat Republik Arab Suriah pada tanggal 3 September 2014.
"Bagaimana mungkin secara hukum peristiwa yang terjadi sebelum ada ketentuan hukumnya dipaksakan dan dikualifikasi seolah-olah sebagai perbuatan pidana," katanya.
Selain itu, dia juga menjelaskan soal kedatangannya pada acara seminar di Markas FPI Makassar. Munarman menyebut dia hanya menjadi pembicara pada acara itu karena undangan panitia.
"Kehadiran saya pada acara seminar dan diskusi tanggal 24 dan 25 Januari 2015 di Kota Makassar, baik di Markas FPI maupun di Pondok Pesantren adalah murni karena undangan dari pihak panitia," katanya.
Munarman juga mengklaim dirinya tidak pernah berhubungan dalam konteks di luar keperluan seminar, baik sebelum maupun sesudah acara seminar, termasuk mengenal penyelenggara.
"Saya juga tidak pernah mengenal pemilik Pondok Pesantren sebelumnya, dan saya tidak pernah berkomunikasi atau berinteraksi dengan pemilik Pondok Pesantren atau kelompoknya pasca seminar tanggal 25 Januari 2015 tersebut," tuturnya.
"Begitu juga dalam peristiwa seminar di kota Medan, saya hadir karena diundang sebagai narasumber yang memang sudah sejak tahun 90-an salah satu kegiatan saya adalah sebagai narasumber di berbagai seminar dan diskusi publik dari seluruh kalangan dan kelompok masyarakat, tidak terbatas hanya pada satu kelompok saja," tambahnya.
Alhasil, Munarman menilai dakwaan jaksa tidak masuk akal karena dia merasa jika dalam rangkaian acara yang ada dalam surat dakwaan jaksa hanya sebagai pembicara dan tidak melanggar hukum.
"Sungguh bagi saya tuduhan ini adalah tidak masuk akal dan di luar nalar yang sehat. Bagaimana bisa dikaitkan? Di luar konteks seminar, saya tidak pernah berbicara, berkomunikasi atau bentuk interaksi lainnya dengan kelompok yang dituduh terlibat terorisme tersebut," sebutnya.
"Bahwa apa yang saya sampaikan pada kegiatan diskusi publik dan seminar, baik di Makassar maupun di Medan adalah merupakan hasil analisis berdasarkan dokumen yang valid dan kebebasan menyatakan pendapat serta menyampaikan informasi," jelas Munarman.
(Liputan6)