Ugal-ugalan RUU Ibu Kota Negara
PEMBAHASAN Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara sekali lagi menunjukkan keserampangan sekaligus kebebalan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam membentuk regulasi. Berdalih membutuhkan landasan hukum untuk pendanaan proyek, pemerintah dan DPR mempercepat pembahasan sehingga mengabaikan asas pembentukan undang-undang.
Presiden Joko Widodo mengirim surat dan draf Undang-Undang Ibu Kota Negara ke Senayan pada 29 September 2021. DPR kemudian membentuk Panitia Khusus RUU Ibu Kota Negara pada 7 Desember lalu. Baru sebulan Pansus bekerja, DPR menargetkan pengesahan RUU tersebut dalam rapat paripurna pada 18 Januari 2021.
Gelagat terburu-buru sudah tampak sejak pemindahan ibu kota dicanangkan Presiden Jokowi pada 2019. Pemilihan Kabupaten Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur diputuskan secara kilat. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, yang ditugasi mengkaji proyek ini, pun tak pernah mengungkap kajiannya ke publik. Dokumen analisis itu baru disetorkan kepada kepala negara kurang dari sepekan sebelum pengumuman.
Indikasi tergesa-gesa juga tampak dari pelanggaran formal yang sempat terjadi. DPR menetapkan anggota Pansus RUU Ibu Kota Negara berjumlah 56 orang. Hal ini melanggar Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah (MD3), serta Tata Tertib DPR yang mengatur jumlah anggota panitia khusus maksimal 30 orang. Setelah menjadi polemik, keputusan itu akhirnya dikoreksi.
Pembahasan RUU Ibu Kota Negara pun terkesan tertutup sehingga rawan disusupi kepentingan pemburu rente proyek. Pemerintah dan DPR belum sungguh-sungguh melibatkan partisipasi publik. Padahal sebuah kebijakan publik—apalagi pemindahan ibu kota negara yang menelan anggaran Rp 466,9 triliun dan 20 persennya bersumber dari kas negara—semestinya deliberatif. Pemerintah harus duduk bersama warga lebih dulu untuk merumuskan kebijakan tersebut.
Pemerintah semestinya belajar dari pengalaman membentuk Undang-Undang Cipta Kerja. Mahkamah Konstitusi menyatakan undang-undang itu cacat formal karena pembuatannya tak berdasarkan asas pembentukan undang-undang, antara lain soal kejelasan rumusan dan keterbukaan. Belum lagi substansinya yang berlumur masalah sehingga ditentang oleh banyak kalangan.
Masalah juga terdapat dalam substansi RUU Ibu Kota Negara. Dalam isu lingkungan hidup, misalnya, tak ada jaminan perlindungan dan konservasi ekologis di sekitar lokasi proyek mercusuar itu. Padahal hasil studi lingkungan hidup menunjukkan ancaman kerusakan tata air, habitat flora dan fauna, serta pencemaran.
Dengan setumpuk masalah tersebut, pemerintah dan DPR seyogianya tak buru-buru mengesahkan RUU Ibu Kota Negara. Ada banyak hal lain yang lebih penting daripada pemindahan ibu kota, seperti penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi. Atau, membuat aturan untuk mencegah kekerasan seksual yang semakin memprihatinkan. Pembentukan undang-undang tersebut malah tak terlalu dianggap oleh wakil rakyat dan pemerintah.
(Sumber: Editorial Koran Tempo, 18-01-2022)