Utang Menggunung, Laba Terjun Bebas, Analis AEPI Punya Firasat Buruk untuk Pertamina
Peneliti Senior Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng mengkhawatirkan keuangan PT Pertamina (Persero).
Dia bahkan, memprediksikan, kalau kondisi saat ini tidak ada perubahan maka Pertamina bisa bangkrut sebelum Presiden Joko Widodo lengser pada 2024. Hal itu disampaikan Salamuddin tertuang dalam tulisannya berjudul ‘Pertamina Bisa Bubar Sebelum Jabatan Jokowi Berakhir.’
Menurut Salamuddin, masalah utama dalam laporan keuangan Pertamina, terlihat dari keuntungan yang menurun drastis, sementara utang meningkat secara fantastis.
“Apabila kedua keadaan ini terus berlanjut maka diperkirakan Pertamina bangkrut lebih cepat sebelum Jokowi turun dari tampuk kekuasaannya,” ujar Salamuddin, Senin (31/1/2022).
Ia mengatakan, Pertamina tersandera oleh berbagai proyek penugasan kekuasaan, mulai dari proyek kilang yang gagal, hingga mega proyek solarisasi sawit serta gasifikasi batu bara. “Dua proyek terakhir sungguh akan menguras kantong Pertamina. Di mana, Pertamina harus membeli minyak sawit sebagai bahan baku pencampur solar senilai Rp100 triliun. Dan, harus membeli batu bara sebanyak 100 juta ton. Nilainya sekitar Rp150 triliun. Demi suksesnya program gasifikasi batu bara. Ini uang besar bagi pendapatan oligarki sawit dan Batubara,” ujarnya.
“Lalu uangnya dari mana? Tidak lain adalah dari utang. Pertamina adalah perusahaan yang paling aktif berutang dalam 4 tahun terakhir,” imbuh Salamuddin.
Ia mengatakan, Presiden Jokowi menunjuk Nicke Widyawati sebagai Dirut Pertamina yang sebelumnya menjabat salah satu direksi PLN. Meski sama-sama energinya, listrik dan migas memiliki karakteristik yang berbeda.
Dia juga menyoroti besarnya utang Pertamina yang terus menggunung. Dia meyakini, utang tersebut sulit terbayarkan sampai kapan pun. Utang Pertamina, menurut laporan keuangan pada Juni 2021 mencapai US$41,06 miliar. Angkanya lebih dari Rp603 triliun. “Itu belum termasuk utang yang ditambah dalam 6 bulan terakhir,” ungkapnya.
Dikatakan, utang Pertamina berkembang sangat pesat. Pada Desember 2020 utang Pertamina sebesar US$37,89 miliar. Lebih besar ketimbang 2019 sebesar US$35,86 miliar. Utang Pertamina pada 2018 mencapai US$35,10 miliar, naik ketimbang 2017 sebesar US$30,42 miliar.
Dalam kurun waktu kurang dari lima tahun, kata dia, utang Pertamina di era Dirut Nicke Widyawati bertambah US$10,42 miliar, atau setara Rp150 triliun. Sebagian besar berasal dari utang komersial dalam bentuk global bond.
“Apa hasilnya? Untung Pertamina meningkat atau bagaimana? Ternyata Pertamina mengalami penurunan keuntungan secara konsisten sejak 2017,” ujarnya lagi.
Ia juga memprediksi, jika melihat perkembangan berbagai sisi saat ini maka diperkirakan pada akhir tahun 2021 Pertamina akan mengalami rugi. Laporan keuangan Pertamina kalau tidak telat akan keluar pada Maret atau April 2022. Biasanya Pertamina akan telat mempublikasikan laporan keuangan. Banyak pengamat memprediksi Pertamina akan merugi pada 2021.
“Itu artinya pertamina bisa bubar lebih cepat. Secara defacto Pertamina masih ada, kantornya masih ada, namun secara de jure Pertamina sudah habis oleh berbagai aturan, proyek, dan program bikinan penguasa,” katanya.
Terakhir, sub holding Pertamina untuk dijual ketengan. Sebelum jabatan Pertamina berakhir, lanjut dia, Pertamina sudah bubar dan berada di bawah pengawasan debt collector.
(INILAH)