JAKARTA – Pemerintah Kota Bekasi kembali berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
KPK menetapkan sembilan orang tersangka, termasuk Wali Kota (Walkot) Bekasi Rahmat Effendi, dalam kasus dugaan suap terkait lelang jabatan serta pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkot Bekasi.
Ketua KPK Firli Bahuri menuding Rahmat, 57 tahun, menerima fulus dari proses ganti rugi tanah untuk sejumlah proyek Pemerintah Kota Bekasi selama tahun kemarin. Pada 2021, pemerintah daerah tingkat II itu menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan untuk belanja modal ganti rugi tanah sebesar Rp 286,5 miliar.
Ganti rugi itu meliputi pembebasan lahan sekolah di Kecamatan Rawalumbu senilai Rp 21,8 miliar; pembebasan lahan Polder 202 senilai Rp 25,8 miliar; pembebasan lahan Polder Air Kranji senilai Rp 21,8 miliar; dan melanjutkan pembangunan gedung teknis bersama senilai Rp 15 miliar. Atas proyek-proyek tersebut, Rahmat diduga menetapkan lokasi dan memilih langsung pihak swasta yang lahannya akan digunakan untuk proyek pengadaan. "RE meminta untuk tidak memutus kontrak pekerjaan," kata Firli dalam konpers di gedung KPK, Kamis (6/1/2022).
Sebagai bentuk komitmen, Firli melanjutkan, Rahmat diduga meminta uang kepada pihak yang lahannya diganti rugi oleh Pemerintah Kota Bekasi. Sebutannya, "Sumbangan Masjid".
Selanjutnya, para pihak swasta tersebut menyerahkan uang melalui orang-orang kepercayaan Rahmat. Mereka adalah Kepala Dinas Perumahan Jumhana Lutfi senilai Rp 4 miliar dari Lai Bui Min; Camat Jatisampurna Wahyudin sebesar Rp 3 miliar dari Camat Rawalumbu Makhfud Saifudin; dan penerimaan terakhir mengatasnamakan sumbangan ke satu masjid yang dikelola yayasan milik keluarga Rahmat Effendi sejumlah Rp 100 juta dari Direktur PT Kota Bintang, Rayatri Suryadi.
Rahmat juga ditengarai menerima uang dari sejumlah pegawai untuk lelang jabatan. Tak berhenti di situ, Rahmat diduga menerima duit dari Direktur PT MAM Energindo, Ali Amril, melalui M. Bunyamin, Sekretaris Dinas Penanaman Modal, sebesar Rp 30 juta terkait dengan pengurusan proyek dan tenaga kerja kontrak di Pemerintah Kota Bekasi. Uang itu lantas digunakan untuk biaya operasional Rahmat yang dikelola Mulyadi, Lurah Jatisari.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan sembilan tersangka. Selain Rahmat, orang lain yang diduga ikut menerima suap adalah Bunyamin, Mulyadi, Wahyudin, dan Jumhana Lutfi. Adapun empat lainnya menjadi tersangka pemberi suap, yaitu Ali Amril, Lai Bui Min, Suryadi, dan Makhfud Saifudin.
KPK menciduk sembilan tersangka ini dalam operasi tangkap tangan yang digelar sejak Rabu (5/1/2022) kemarin. Para tersangka ditangkap secara paralel di sejumlah lokasi di Bekasi; Senayan, Jakarta Pusat; serta Pancoran, Jakarta Selatan.
Dalam penangkapan itu, KPK menyita duit Rp 3 miliar dan buku rekening berisi sekitar Rp 2 miliar.
Operasi ini bermula dari laporan adanya dugaan penyerahan uang dari Bunyamin kepada Rahmat Effendi. Pada Rabu pukul 14.00, tim menangkap Bunyamin saat keluar dari rumah dinas Rahmat. Setelah itu, tim masuk dan menahan tuan rumah. Rahmat dicokok bersama Mulyadi dan Bagus Kuncorojati, staf sekaligus ajudan Rahmat; serta beberapa pegawai pemerintah kota. Di rumah itu, penyidik menemukan bukti uang miliaran rupiah. Sebelum ditangkap, Rahmat sempat menghadiri rapat paripurna di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bekasi, di Jalan Chairil Anwar, Bekasi Timur.
Ini merupakan kedua kalinya pucuk Pemerintah Kota Bekasi tersandung kasus korupsi. Sebelum Rahmat, Mochtar Mohamad, wali kota 2008-2012, menerima suap Piala Adipura 2010 serta penyalahgunaan anggaran makan-minum yang merugikan negara Rp 5,5 miliar. Sempat divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Bandung pada 11 Oktober 2011, Mochtar dihukum 6 tahun di tingkat kasasi. Karena kasus itu, Rahmat Effendi, yang kala itu menjabat wakil wali kota, naik jabatan menjadi Bekasi-1.
Wakil Wali Kota Tri Adhianto irit komentar soal penangkapan atasannya. Ia mengatakan pemerintah kota akan mengikuti proses yang berjalan. "Tentunya, prihatin dan sedih. Kami doakan Pak Wali dapat menjalani dengan baik dan diberikan yang terbaik," ujar Tri.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Egi Primayogha, mengatakan korupsi jual-beli jabatan serta pengadaan barang dan jasa seperti di Kota Bekasi ini kerap dilakukan kepala daerah untuk menebus utang saat pemilihan kepala daerah.
“Harus dilihat sebagai dampak dari pemilihan umum yang berbiaya tinggi, sehingga kepala daerah harus melakukan praktik koruptif agar bisa digunakan untuk memberikan mahar kepada parpol, vote-buying, hingga kampanye dalam pilkada,” katanya.
(Sumber: Koran Tempo, Detikcom)