Oleh: Dhimam Abror Djuraid*
Arteria Dahlan terkenal sebagai salah satu politisi jago pukul andalan PDIP.
Dia andal dalam berdebat, kencang, tajam dan sering gas pol, sampai kebablasan dan rem blong.
Dengan gaya main seperti itu Arteria Dahlan dengan cepat menjadi bintang dalam berbagai acara pertunjukan bicara alias talk show.
Ketika berdebat dengan politisi senior Emil Salim, Arteria tidak segan menginterupsi dan bahkan menuding-nudingkan telunjuk ke arah lawan bicaranya.
Emil Salim menjadi kesal sampai menggebrak meja. Cara berdebat Arteria kurang beretika dan tidak respek kepada lawan bicara. Apalagi partner bicaranya adalah Emil Salim yang jauh lebih tua dan punya pengalaman politik dan ilmu yang jauh lebih matang ketimbang Arteria.
Emil adalah tokoh nasional berkaliber internasional yang berasal dari Sumatera Barat, daerah yang sama dengan Arteria.
Setidaknya Arteria harus menghormati orang tua sesuai dengan adat istiadat.
Kalau dia tidak setuju dengan pandangan Emil, hal itu bisa diekspresikan dengan cara yang lebih intelektual dan beradab. Arteria berlalu begitu saja tanpa meminta maaf.
Beberapa waktu kemudian, berselang cukup lama, orang hampir melupakan insiden dengan Emil Salim. Tetiba Arteria muncul menjadi berita lagi setelah terlibat insiden dengan seorang perempuan ketika sedang keluar dari pesawat terbang di Bandara Halim Perdanakusuma.
Arteria yang terbang bersama ibundanya terlibat cekcok dengan penumpang perempuan yang mengaku sebagai kerabat jenderal berbintang. Sang perempuan terekam sedang berdebat dengan ibunda Arteria sambil mengarahkan telunjuk berkali-kali ke arah ibunda Arteria.
Berita menjadi viral. Ada netizen yang memperbandingkan cara tidak sopan perempuan itu terhadap ibunda Arteria dengan cara Arteria memperlakukan Emil Salim. Ada yang menyebut karma, ada yang menyebut kualat.
Arteria tidak tinggal diam. Dia mempergunakan jalur privilege-nya dengan mengusut perempuan yang mengaku kerabat jenderal berbintang. Dalam waktu singkat identitas perempuan itu terungkap. Perempuan itu kemudian dimunculkan dalam ritual untuk meminta maaf kepada ibunda Arteria sambil cipika-cipiki. Kali ini Arteria menang lagi.
Masih ada lagi. Arteria yang komisinya membidangi hukum mengatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jangan melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap aparat penegak hukum, termasuk hakim, jaksa, dan polisi.
Pandangan ini memicu kontroversi. Banyak pihak yang menilai KPK di bawah Firli Bahuri sudah kehilangan taring dan taji, tetapi Arteria malah meminta KPK tidak meng-OTT aparat hukum.
KPK sendiri tidak mengindahkan pernyataan Arteria. Setidaknya hal itu terbukti dengan penangkapan hakim panitera dan pengacara di Surabaya, Kamis (20/1/2022).
Penangkapan ini tidak ada hubungannya dengan usulan Arteria, tetapi publik bisa menyimpulkan bahwa pendapat Arteria tidak digubris oleh KPK.
Sekarang Arteria menjadi berita lagi. Kali ini dia meminta Jaksa Agung S.T Burhanuddin supaya mencopot Kepala Kejaksaan Tinggi yang kebetulan memakai bahasa Sunda dalam rapat dengar pendapat Kejaksaan Agung dengan Komisi III DPR RI (17/1/2022).
Dalam rapat itu seorang Kajati menggunakan Bahasa Sunda ketika berbicara kepada S.T Burhanuddin yang kebetulan juga beretnis Sunda. Arteria berang melihat adegan itu dan kemudian meminta Jaksa Agung mencopot sang Kajati.
Sikap Arteria mengundang kehebohan. Ada yang menganggapnya arogan dan berlebihan. Sesama anggota DPR dari PDIP pun mengecam Arteria. T.B Hasanuddin menganggap sikap Arteria berlebihan. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mendesak Arteria meminta maaf kepada masyarakat Jawa Barat.
Deddy Mulyadi, anggota DPR RI dari Golkar mempertanyakan sikap Arteria. Mengapa orang yang memakai bahasa lokal dicopot, sementara banyak yang memakai idiom-idiom Bahasa Inggris malah didiamkan. Deddy Mulyadi, mantan bupatu Purwakarta dikenal sebagai pengamal budaya Sunda yang tekun. Dia selalu memakai ikat kepala putih dalam berbagai kesempatan.
Arteria mempertahankan pendapatnya. Menurutnya, dengan memakai bahasa daerah untuk menunjukkan kedekatan dengan pimpinan menunjukkan adanya gejala nepotisme. Lembaga tinggi seperti Kejaksaan Agung harus mengdepankan merit system ketimbang nepotisme dengan mempergunakan simbol-simbol primordialisme seperti bahasa lokal.
Praktik berbahasa daerah dengan pimpinan dalam birokrasi menjadi hal yang umum. Hampir di setiap daerah dan setiap instansi pejabat akan mempergunakan bahasa daerah di antara mereka untuk menunjukkan kedekatan. Dalam Bahasa Jawa dan Sunda ada bahasa kasar dan halus. Para pejabat akan menggunakan bahasa halus kepada atasannya untuk menunjukkan penghormatan.
Ada unsur feodalisme dalam praktik berbahasa daerah ini. Tetapi unsur feaodalisme dalam birokrasi menjadi bagian yang tidak bisa dihilangkan. Birokrasi sejak awal didesain oleh Max Weber untuk menjadi mesin yang rigid, mekanis, dan seragam. Praktik birokrasi semacam ini sangat cocok dengan unsur-unsur feodalisme yang masih tetap subur di Indonesia.
Arteria ingin mengikis budaya itu. Sebuah itikad yang baik, tapi cara yang dipakainya tidak tepat. Gaya komunikasi politik Arteria selama ini cenderung gas pol sehingga terkesan arogan dan berlebihan.
Gaya gas pol ini dilakukan Arteria dengan pilih-pilih tempat dan situasi. Buktinya dalam rapat pleno pembahasan rencana undang-undang ibu kota negara (IKN), tidak ada suara gas pol dari Arteria. Entah dia hadir atau tidak di pleno itu, tidak banyak bedanya. Yang jelas, rapat itu berjalan maraton sampai dinihari dan berakhir dengan mulus, meskipun Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak.
Gaya gas pol Arteria terhadap Kajati tidak sensitif terhadap faktor budaya, dan hal itu memicu kemarahan warga Jawa Barat. Di media sosial muncul tagar ‘’Sunda Tanpa PDIP’’ yang menjadi salah satu trending topic beberapa hari.
Hal ini memaksa Arteria meminta maaf. PDIP bertindak cepat dengan menegur Arteria melalui Badan Kehormatan Partai. Cara-cara yang dipakai Arteria dianggap tidak pantas. PDIP ingin melakukan damage control supaya kerusakan tidak bertambah parah. Kalau masalah ini dibiarkan berlarut-larut akan merugikan PDIP.
Selama ini Jawa Barat menjadi weak spot, titik lemah, bagi PDIP. Perolehan kursi DPRD Jawa Barat menempatkan PDIP di urutan ketiga di bawah Gerindra dan PKS. Pada pilpres 2019 Jawa Barat menjadi lumbung suara pasangan Prabowo-Sandi yang menang meyakinkan atas Jokowi-Ma’ruf Amien.
Daerah lain yang menjadi weak spot bagi PDIP adalah Sumatera Barat, tanah kelahiran Arteria Dahlan. Sumatera Barat bukan hanya weak spot bagi PDIP tapi menjadi dead spot, titik mati. Karena itu Arteria Dahlan harus diungsikan ke dapil Jawa Timur 6 yang meliputi wilayah Blitar dan sekitarnya.
Arteria mendapat durian runtuh karena mendapatkan PAW (pergantian antarwaktu) ketika Djarot Syaiful Hidayat didapuk menjadi wakil gubernur DKI pada 2017. Pada pemilu 2019 Arteria melenggang karena dapil 6 merupakan dapil gemuk bagi PDIP. Ibaratnya, dengan tidur saja Arteria bisa menang, karena di dapil itu ada vote-getter kelas berat PDIP, Guruh Soekarnoputra.
Secara historis Jawa Barat lebih kental dengan warna Islam ketimbang warna nasionalis. Sejarah pemberontakan DII/TII di bawah pimpinan Sekar Maridjan Kartosumirjo di masa kemerdekaan masih terasa bekasnya sampai sekarang.
Cara-cara gas pol tanpa haluan ala Arteria Dahlan bisa membuat PDIP mengalami rem blong dan bisa masuk jurang dead spot seperti di Sumatera Barat. (*)
[JPNN]