Perpindahan Ibukota, Tidak Menguntungkan Umat Islam
Dari segi sejarah dan politik, perpindahan Ibukota dari Jakarta ke Kalimantan Timur tidak menguntungkan umat Islam. Kenapa?
Pertama, sejarah Jakarta adalah sejarah perjuangan Islam. Jakarta atau Batavia dibebaskan oleh pahlawan Fatahillah dari cengkeraman Portugis. Ia kemudian mengganti nama Batavia atau Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Jayakarta juga berarti kemenangan yang nyata atau fathan mubiina. Dari Jayakarta kemudian berubah nama menjadi Jakarta (22 Juni 1527).
Selain itu Jakarta dihuni oleh penduduk Betawi yang mempunyai budaya Islam yang kuat. Keterbukaan, egaliter dan toleransi adalah ciri khas masyarakat Betawi.
Di Betawi juga ada jaringan ulama yang kuat. Selain melawan Portugis, kaum Betawi juga melawan Belanda Kisah si Pitung dan Entong Gendut begitu melegenda. Bahkan, tidak sedikit ulama Betawi yang terlibat dalam revolusi fisik 1945.
Di Betawi pendidikan Islam ada tiga model. Madrasah, pesantren dan majelis taklim. Madrasah yang pertama dibangun di Betawi adalah Jamiatul Khair di Pekojan, Jakarta Barat, yang ketika itu pada 1901 merupakan kampung Arab. Puluhan ulama Betawi yang terkenal pernah mendapat pendidikan di Jamiatul Khair.
Beberapa tahun kemudian berdirilah Madrasah Unwanul Falah di Kwitang yang dipimpin ulama karismatik Habib Ali Alhabsyi. Kemudian, madrasah di Betawi makin berkembang di berbagai kampung, di antaranya, Madrasah Asyafiiyah pimpinan KH Abdullah Syafii, ulama Betawi. Sementara, KH Tohir Rohili juga mendirikan pesantren modern. Baik Asyafiiyah maupun Tahiriyah, banyak mengirimkan muridnya ke Mesir dan Timur Tengah.
Kedua, dari segi politik perpindahan Ibukota dari Jakarta ini juga tidak menguntungkan umat Islam. Istana Merdeka yang dikelilingi masyarakat Jabedebotabek, adalah masyarakat yang mayoritas Islamnya militan. Mereka mempunyai ghirah tinggi terhadap Islam. Masjid-masjid di wilayah ini mayoritas banyak jamaahnya.
Selain itu masjid di sekitar Jakarta ini juga mempunyai jamaah yang peduli terhadap masalah sosial politik nasional. Maka tak heran pemerintah Jokowi membuat kebijakan untuk meminggirkan dai-dai yang ceramahnya kritis kepada pemerintah. Khususnya di instansi-instansi milik pemerintah dan BUMN. Tapi pemerintah tentu tidak bisa melarang ratusan da'i lainnya yang berceramah di masjid-masjid milik swasta atau masyarakat.
Kepedulian masyarakat Islam terhadap masalah sosial politik ini nampaknya yang mengkhawatirkan kaum oligharki. Mereka khawatir Aksi 212 akan berulang suatu saat. Aksi 212 yang menghadirkan jutaan orang itu, bila panyelenggaranya membelokkan untuk menduduki istana atau gedung DPR/MPR, maka pemerintah bisa stagnan dan peristiwa 1998 bisa terulang.
Ibukota baru di Penajam Paser Utara Kalimantan Timur, masyarakatnya tidak semilitan di Jakarta dan sekitarnya. Mungkin di sana mayoritas masyarakatnya masih Muslim, tapi tingkat kepedulian sosial dan politiknya tentu jauh dengan masyarakat ibukota saat ini.
Jadi bila sewaktu-waktu pemerintah pusat atau DPR mengeluarkan kebijakan yang tidak menguntungkan umat Islam, maka masyarakat ibukota baru kemungkinan besar akan sunyi penentangannya. Masyarakat di luar Kalimantan Timur bila protes, maka bisa dianggap angin lalu. Karena tidak langsung bertemu atau menyentuh pejabat di ibukota baru.
Apakah ini tujuannya? Wallahu a'lam. Yang jelas secara ekonomi, perpindahan Ibukota ini tidak menguntungkan umat Islam. Apalagi secara politik dan sejarah.
Perpindahan Ibukota, harusnya tetap dilakukan di Jawa. Sebab penduduk Jawa saat ini adalah 151 juta jiwa atau sekitar 56 persen dari penduduk Indonesia. Belanda, Inggris, Portugis yang bertahun-tahun menjajah Indonesia tidak pernah memindahkan ibukota dari Jawa. Mereka mengetahui letak strategisnya masyarakat Jawa. Bila ibukota baru di Kalimantan Timur dipaksakan, maka pemerintah sebenarnya sedang menzalimi masyarakat Jawa. Lebih memperhatikan minoritas daripada mayoritas.
Presiden Soeharto dulu berkeiniginan memindahkan ibukota dari Jakarta ke Jonggol. Atau dalam masa penjajahan pernah dipindahkan ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta. Bila pemerintah membuka mata, sebenarnya masih banyak tanah di Jawa yang layak untuk tempat ibukota yang baru. Salah satunya adalah Sukabumi.
Tapi nampaknya pemerintah atau kaum oligharki ini punya maksud lain. Dan kita umat Islam harus menentangnya. Wallahu azizun hakim.
(Oleh: Nuim Hidayat, anggota MIUMI dan MUI Depok)