[PORTAL-ISLAM.ID] DPR mengesahkan UU Ibu Kota Negara (IKN) yang memindahkan dari Jakarta ke Kalimantan. Beberapa pihak sudah ancang-ancang menggugat UU IKN ke Mahkamah Konstitusi.
Rencana pemindahan serupa pernah digagas oleh Korsel untuk memindahkan Seoul, ibu kota yang telah berusia 600 tahun. Dan akhirnya dibatalkan oleh MK Korsel.
"Banyak kisah sukses pemindahan ibu kota di negara-negara lain, seperti di Brasil, Kazakhstan, dan Australia. Namun, terdapat juga rencana pemindahan ibu kota yang kandas bukan karena ditolak oleh anggota parlemen, namun dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi," kata peneliti senior Mahkamah Konstitusi (MK), Pan Mohamad Faiz, yang dikutip detikcom dari Majalah Konstitusi, Kamis (20/1/2022).
Pada 2004, Presiden Korea Selatan Roh Moo-Hyun berupaya memenuhi janji kampanyenya dengan membuat Undang-Undang Khusus tentang Pembentukan Ibu Kota Administratif Baru guna merelokasi Seoul sebagai ibu kota Republik Korea Selatan dengan cara membangun ibu kota baru di Provinsi Chungcheong untuk menjalankan fungsi administratif.
"Akan tetapi, Undang-Undang Khusus tersebut diuji konstitusionalitasnya oleh warga negara Korea Selatan dari berbagai wilayah dengan alasan belum adanya revisi terhadap Konstitusi. Selain itu, UU Khusus tersebut juga dianggap telah melanggar hak referendum dan hak pembayar pajak," tulis Pan Mohamad Faiz.
Hakim MK Korea Selatan dengan Putusan 8:1 menyatakan UU Khusus tersebut inkonstitusional.
Alasannya, Seoul yang telah lama menjadi ibu kota Korea Selatan, meskipun tidak secara spesifik disebutkan di dalam Konstitusi, namun pada faktanya penetapan Seoul sebagai ibu kota negara merupakan perwujudan dari 'customary constitution' yang memiliki efek yang sama dengan konstitusi yang tertulis.
"Menurut MK Korea Selatan, selain dengan menggunakan amendemen konstitusi secara formal, 'customary constitution' dapat kehilangan kekuatan hukumnya jika konsensus nasional menghendaki hal tersebut," beber Pan Mohamad Faiz.
Berdasarkan Pasal 130 Konstitusi Korea Selatan, referendum secara nasional menjadi mekanisme wajib yang harus dilakukan untuk mengubah konstitusinya. Dalam hal ini, MK Korea Selatan tidak menemukan adanya mekanisme referendum yang telah ditempuh oleh pemerintah untuk memindahkan ibu kota negara yang secara tidak tertulis sebenarnya menjadi bagian di dalam konstitusi mereka (vide Putusan MK Korea Selatan 2004Hun-Ma554).
"Menindaklanjuti putusan MK tersebut, Presiden Roh akhirnya memodifikasi rencana pemindahan ibu kota dengan merelokasi sebagian besar Kementerian dan Lembaga Negara ke Sejong sebagai kota khusus administrasi, dan bukan sebagai ibu kota negara," jelas Pan Mohamad Faiz.
Rencana ini kemudian diuji kembali ke MK Korea Selatan pada 2005. Namun MK menolak permohonan tersebut.
"Kandas di MK, partai oposisi yang berhasil merebut kursi kepresidenan menolak gagasan kota khusus administratif dengan alasan akan mengurangi daya saing global kota Seoul yang berdampak pada inefisiensi," tutur Pan Mohamad Faiz.
Presiden Lee Myung-bak menginginkan agar Sejong dijadikan 'industrial, science, and education hub'. Namun usulan ini ditolak oleh Majelis Nasional Korea Selatan.
"Sejak Juli 2012, Sejong memperoleh status sebagai Kota Otonomi Khusus yang dibangun dengan konsep 'Sejong Smart City'," tulisnya.
Bagaimana dengan Indonesia?
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pembangunan ibu kota negara membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Setidak-tidaknya, menurut Jokowi, butuh waktu 15-20 tahun untuk selesai sepenuhnya.
Soal kemungkinan pembangunan IKN dihentikan pemimpin selanjutnya, Jokowi tak khawatir. Dia mengatakan pembangunan IKN sudah menjadi amanat undang-undang, sehingga tak seharusnya dihentikan.
"Dan itu sudah disepakati oleh delapan fraksi di DPR. Artinya, suara mayoritas kekuatan politik di DPR menghendaki perpindahan ibu kota negara," ujar Jokowi saat bertemu dengan beberapa pemimpin redaksi media massa nasional di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (19/1/2022).
*Namun beberapa pihak sudah siap untuk menggugat UU IKN ke MK, salah satunya mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin.
[Detik]