[PORTAL-ISLAM.ID] Akademisi Sumatera Barat dari Universitas Negeri Padang (UNP) Eka Vidya Putra merespon tudingan Megawati Soekarnoputri tentang hilangnya budaya musyawarah dan mufakat di Sumatera Barat.
Megawati juga menyebut Sumbar tidak lagi sama dengan zaman awal kemerdekaan Republik Indonesia karena hilangnya tokoh-tokoh besar dari daerah ini.
Sebagai informasi, bukan kali ini saja Presiden kelima RI ini menyinggung Sumbar. Sebelumnya ia juga pernah menyinggung dalam Webinar Bung Hatta Inspirasi Kemandirian Bangsa di kanal YouTube Badan Kebudayaan Nasional Pusat (BKNP) PDIP pada 12 Agustus 2021 silam.
Bahkan, putrinya yang juga Ketua DPP PDIP, Puan Maharani pernah menyinggung soal provinsi Sumbar yakni kala mengumumkan jago partai itu dalam Pilgub 2020.
Atas tudingan itu, Eka menilai salah jika hanya menyinggung Sumbar saja. Sebab, hilangnya budaya bermusyawarah dan bermufakan tidak hanya terjadi di Minangkabau, tetapi juga di seluruh daerah di Indonesia.
Buktinya, hilangnya kebebasan bersuara dan mengemukakan pendapat di muka umum tentang apapun.
“Apakah politik bermusyawarah sudah dijalankan di Indonesia hari ini? tidak,” ujar Eka dilansir dari Cnnindonesia.com Sabtu 15 Januari 2022.
Menurut Eka, meskipun politik bermusyawarah atau politik deliberatif tengah digencarkan dan dikembangkan politik dunia, namun Indonesia hari ini sangat tidak mendukung sistem yang menganut azaz permusyawarahan seperti itu.
Dalam politik permusyawarahan, Eka mengatakan butuh beberapa keterampilan yang selaras dengan prinsip kesejahteraan dan kesetaraan, di mana siapapun dapat memiliki kesempatan yang sama dalam bersuara dan mengemukakan pendapatnya.
Ironisnya, kata Eka, kesempatan yang seperti itulah yang hari ini tidak lagi atau sangat minim ditemukan di Indonesia. ketika ada yang berpendapat berbeda, buru-buru dipandang radikal, pemecah belah, dan penghasut yang persis dengan sistem pada Orde Baru dulu.
“Ketika mereka mengatakan yang berbeda, dianggap mereka radikal, memecah belah, dianggap menghasut, samalah dengan pada jaman baru, yang dianggap sebagai komunis,” tegasnya.
Akibatnya, Eka mengatakan semua orang akan merasa terhambat hak deliberatifnya, sehingga kurangnya ranah diskusi dan kesulitan dalam menyampaikan pendapat. Kebebasan berpendapatan semua orang itu seharusnya dijamin negara, namun saat ini semua orang merasa dikekang.
“Sedangkan hari ini ruang publik relatif tertutup. Apalagi ketika ruang publik itu sudah digantikan oleh media sosial,” katanya.
Media sosial merupakan wadah penyampaian pendapat yang bersifat satu arah, sehingga ruang publik menjadi semakin tidak ada.
“Memang benar terminologi informasi membuat semua orang mendapatkan informasi lebih mudah, iya, namun ruang publiknya tertutup karena diskusinya bersifat in group atau satu arah,” jelas Eka. [terkini]