Penangkapan Teroris Sarat Indikasi Pelanggaran HAM
JAKARTA – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat berbagai dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam proses penangkapan terduga teroris pada 2021. Sesuai dengan catatan Kontras, terjadi 62 kasus dugaan pelanggaran HAM dari penangkapan 364 terduga teroris oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI, tahun lalu.
"Kami melihat berbagai macam pelanggaran HAM yang dilakukan Densus 88 dalam menangani terduga teroris," kata anggota bidang advokasi Kontras, Abimanyu Septiadji, Selasa, 4 Januari 2021.
Abimanyu mengatakan ada empat dugaan pelanggaran HAM yang kerap dilakukan Densus 88 Antiteror ketika menangani terduga teroris. Pertama, menggunakan kekuatan berlebihan dalam proses penangkapan. Penggunaan kekuatan berlebihan ini terlihat dari pengerahan pasukan Densus 88 Antiteror yang masif untuk menangkap terduga teroris yang tak bersenjata atau hanya seorang diri.
Kedua, Densus 88 Antiteror kerap salah tangkap saat ingin meringkus teroris. Kontras mencatat terjadi satu kasus salah tangkap terduga teroris pada 2021. Dugaan pelanggaran HAM lainnya adalah adanya salah tembak. "Terakhir adalah penyiksaan yang dilakukan Densus 88 terhadap terduga teroris," kata Abimanyu.
Salah satu kasus dugaan penyiksaan oleh Densus 88 Antiteror terjadi pada terduga teroris yang ditangkap di Pekanbaru, Riau, pada Juni 2021. Berdasarkan pemantauan Kontras, korban diduga mengalami penyiksaan. Buktinya, pakaian korban yang terkoyak-koyak dan tubuhnya babak belur. "Bahkan salah tangkap juga," kata Abimanyu.
Selama 2021, Densus 88 Antiteror menangkap 364 terduga teroris di berbagai daerah di Indonesia. Penangkapan teranyar adalah jaringan pendanaan Jamaah Islamiyah. Pengepul dana kelompok teror ini adalah Farid Ahmad Okbah, yang ditangkap pada November 2021. Ketua Partai Dakwah Rakyat Indonesia itu diduga mengumpulkan dana teror dengan jalan menyebar kotak amal menggunakan lembaga Baitul Maal Abdurrahman bin Auf.
Amnesty International juga mengkritik proses penangkapan terduga teroris di Indonesia. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan ada kecenderungan Densus 88 Antiteror dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencampuradukkan masalah radikalisme dengan terorisme, padahal keduanya berbeda.
"Sekarang terlihat penangkapan yang terlihat sewenang-wenang karena mencampuradukkan dua masalah itu menjadi satu," kata Usman, kemarin.
Usman mengatakan masalah radikalisme berakar dari ketidakpuasan seseorang terhadap keadaan sosial, ekonomi, dan politik. Mereka yang berpikir radikal biasanya merasakan adanya kegagalan pemerintah dalam mengatur negara ini.
"Tapi ini baru tatanan berpikir. Berbeda dengan teroris yang sudah mengarah pada tindakan kriminal atau pidana," kata Usman. "Ada orang berpikir radikal, tapi tidak berbuat kriminal. Lalu apa salahnya?"
Menurut Usman, saat ini orang yang masuk kategori berpikir radikal serta berpenampilan menggunakan celana cingkrang, berjanggut, dan jidat hitam sudah dicap radikal. "Sekarang rentan terhadap penyalahgunaan stigma itu. Seperti Novel Baswedan (mantan penyidik utama Komisi Pemberantasan Korupsi) yang distigma radikal. Mungkin kalau bukan di KPK, Novel juga sudah ditangkap," katanya.
Usman pun melihat adanya upaya paksa yang berlebihan dalam menangani terduga teroris. Ia mencontohkan saat Densus 88 Antiteror menangkap mantan Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI), Munarman, pada April 2021. Ia menduga ada pelanggaran HAM dalam proses penangkapan Munarman yang dituduh terlibat dalam jaringan teroris. "Bahkan sampai diseret, matanya ditutup, dan mau pakai sandal saja dilarang," ujarnya.
Usman berpendapat, semestinya penangkapan paksa terhadap Munarman merupakan cara terakhir yang ditempuh Densus 88 Antiteror. Langkah awal yang seharusnya dilakukan Densus adalah memanggil Munarman. Jika ia tidak memenuhi panggilan sebanyak tiga kali, barulah Densus bisa menjemput paksa.
"Bagaimanapun mereka punya hak membela diri. Kepolisian juga mengedepankan asas praduga tak bersalah kepada mereka," ujar Usman.
Masalah lain dalam penanganan terduga teroris adalah hak mereka untuk mendapat pendampingan terkesan dipersulit. Selama proses interogasi, terduga teroris kerap tak bisa dikunjungi dan didampingi oleh penasihat hukum. "Seharusnya tetap ikuti kaidah hukum. Mereka berhak didampingi," ucap Usman.
Ismar Syafruddin menguatkan pendapat Usman. Ismar adalah penasihat hukum tiga tersangka teroris, yaitu Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia, Farid Ahmad Okbah; anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Ahmad Zain An Najah; dan Anung Al Hamat, dosen di Universitas Ibn Khaldun Bogor, Jawa Barat. Ketiganya ditangkap pada November lalu karena diduga sebagai anggota Jamaah Islamiyah.
"Selama ini, saat ditangkap, teroris tidak bisa mendapat pendampingan hukum selama dua pekan, bahkan berbulan-bulan," kata Ismar.
Ismar mengatakan, selama membantu advokasi terhadap ketiga tersangka, baru satu kali Densus 88 Antiteror membolehkan dia mendampingi kliennya. "Ini baru pertama kali terjadi. Padahal biasanya hingga mau proses persidangan saja kami sulit mendampingi mereka," katanya.
Ismar mempertanyakan alasan Densus melarang para tersangka teroris mendapat pendampingan hukum. Padahal semua orang yang dituduh melakukan tindak pidana berhak mendapat pendampingan hukum. Apalagi Densus mengklaim mempunyai banyak bukti sehingga tak perlu melarang tersangka teroris untuk mendapat pendampingan hukum.
"Ini jadi tanda tanya. Kalau sudah yakin apa yang mereka lakukan, mengapa selama ini harus sampai disembunyikan tanpa pendamping hukum selama berbulan-bulan?" ujar Ismar.
Direktur Pencegahan BNPT, Ahmad Nurwakhid, mengatakan, selama proses penangkapan teroris, Densus 88 Antiteror selalu mengikuti prosedur dan prinsip HAM. Hanya, proses penindakan tersangka teroris dengan pidana biasa berbeda.
"Karena dalam penindakan terduga teroris selalu mengedepankan keselamatan petugas dan masyarakat umum di sekitarnya serta meminimalkan risiko," kata Ahmad.
(Sumber: Koran Tempo, 05/01/2022)