Jangan Penjarakan Edy Mulyadi
Oleh: Nuim Hidayat, Anggota MIUMI dan MUI Depok
Edy Mulyadi terancam penjara. Kini setidaknya lima elemen masyarakat Kalimantan telah melaporkan Edy ke polisi. Edy dianggap menghina masyarakat Kalimantan karena mengatakan daerah itu tempat jin buang anak. Selain itu Edy juga mengatakan bahwa di sana pasarnya genderuwo dan kuntilanak.
Karena pernyataannya itu menimbulkan kontroversi yang luas di masyarakat Kalimantan, Edy buru-buru minta maaf. Ia menyatakan bahwa tempat jin buang anak itu maksudnya adalah tempat yang jauh (dan terpencil). Ia juga menyatakan bahwa kawasan Monas (Jakarta) dulu juga dikenal sebagai kawasan tempat jin buang anak.
Tapi nampaknya beberapa elemen masyarakat Kalimantan tidak terima. Meski Edy minta maaf mereka minta ia tetap diproses hukum. Mereka ingin agar pihak-pihak lain tidak ikut-ikutan menghina Kalimantan.
Laki-laki kelahiran Jakarta, 8 Januari 1966 ini memang terancam dipenjara. Ia bisa mengikuti jejak hukum Ferdinand Hutahean.
Siapa Edy? Edy kini bekerja dan tergabung sebagai wartawan dalam FNN (Forum News Network). FNN merupakan portal berita milik PT. Forum Adil Mandiri. Edy memulai karirnya sebagai wartawan dimulai di Harian Neraca dan terdaftar di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sejak 22 Mei 1995.
Ia juga pernah menjadi calon legislatif Partai Keadilan Sejahtera pada 2019. Edy mendapat nomor urut 8 untuk daerah pemilihan Jakarta III: Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Kepulauan Seribu.
Tapi niatnya untuk terjun ke dunia politik praktis gagal. Suaranya tidak cukup membawanya ke senayan. Kini Edy mengelola vlog di Youtube dengan nama ‘Bang Edy Channel’. Dalam keterangan di channel itu disebutkan bahwa pelanggannya kini 215 ribu orang dan tersedia 853 video.
Edy adalah wartawan dan aktivis Islam. Ia sosok yang pemberani. Bila diamati video-video siarannya, maka menunjukkan bahwa ia sosok yang kritis kepada pemerintah dan mempunyai pemihakan yang jelas kepada umat Islam. Ia kritis kepada rencana pemindahan ibukota baru, kritis kepada taipan yang ada di balik bisnis anak presiden, mendukung gerakan Habib Rizieq, mengritik Prabowo yang tadinya harimau kini mengeong dan lain-lain.
Melihat kasus Edy terakhir ini, bisa dibaca ini hanyalah upaya untuk membungkam aktivis-aktivis yang kritis kepada pemerintah. Elemen masyarakat Kalimantan harusnya faham bahwa saat ini adalah era kebebasan berpendapat. Era internet. Era media sosial. Dimana dalam zaman ini, kebebasan bersuara itu tidak bisa dibendung.
Edy adalah wartawan. Ia berhak menyuarakan pendapatnya terhadap suatu masalah. Pernyataannya tempat jin buang anak, mungkin menyinggung bagi masyarakat Kalimantan, tapi tidak untuk masyarakat Betawi atau Jakarta. Perkataan itu bagi masyarakat Betawi biasa saja. Dan seharusnya masyarakat Kalimantan meniru masyarakat Betawi. Tidak mudah tersinggungan.
Bila ada orang yang ngomong sedikit tersinggung, atau merasa terhina, bagaimana nanti kalau ibukota pindah beneran. Tentu akan banyak lagi bermunculan pernyataan-penyataan atau kalimat yang menyinggung masyarakat. Dan ini menunjukkan bahwa masyarakat Kalimantan ‘tidak siap’ untuk menjadi ibukota baru.
Masyarakat ibukota sebagai ‘melting pot’ bagi suku-suku di Indonesia, harus bersikap terbuka. Egaliter. Ia harus terbuka terhadap pemikiran yang berkembang di masyarakat. Ia harus terbuka terhadap gagasan-gagasan yang bagus untuk masyarakatnya.
Pihak kepolisian juga harus adil dalam masalah Edy ini. Polisi harus mempertimbangkan status Edy sebagai wartawan dan sebagai warga negara yang berhak untuk menyampaikan pendapatnya. Pasal 28 UUD 45 harus dipegang teguh. Ia seharusnya tidak bisa dikalahkan dengan pasal karet yang ada di KUHP atau UU ITE.
Bila Edy dijadikan tersangka dan dipenjara karena kasus ini, maka menunjukkan bahwa bangsa ini telah hilang kebebasan berpendapatnya. Dan bangsa yang hilang kebebasan berpendapatnya tidak akan menjadi negara maju. Masyarakat menjadi takut menyampaikan gagasannya dan ide-ide yang muncul hanya yang ‘yes man’ atau pro pemerintah. Apakah negara seperti ini yang kita kehendaki? Negara yang menyalahi konstitusinya sendiri, pasal 28 UUD 1945. State of Fear. Wallahu azizun hakim.
*Sumber: suaraislam.id