[PORTAL-ISLAM.ID] Sekelompok muslim membangun sebuah desa tak jauh dari kota New York, AS, menata hidup penuh kedamaian. Desa itu diberi nama Islamberg.
Tapi desa Islamberg difitnah sebagai sarang radikalisme oleh kaum ekstrim kanan Amerika. Namun akhirnya fitnah itu gagal total.
Islamberg sering menjadi sasaran ujaran kebencian kelompok ekstrim kanan AS. Blog Freedom Daily misalnya pernah mengklaim sebuah penggerebekan di Islamberg atas perintah Presiden Donald Trump mengungkap "mimpi buruk paling parah buat Amerika" sebagai sarang radikalisme. Tudingan tersebut kemudian dibantah oleh berbagai media besar AS.
Mencari Damai di Desa Kecil
Sebuah desa kecil sekitar 190 km dari New York menampung migran muslim dan menamakan diri "Islamberg." Suasana desa yang asri dan nyaman terkesan kontras dengan tudingan miring yang dilayangkan kelompok ekstrim kanan AS.
Adalah pengikut tokoh Sufi asal Pakistan Syeikh Mubarik Gilani, yang membangun pemukiman muslim di pinggiran New York itu. Penduduknya kebanyakan adalah generasi kedua atau ketiga pendatang Afro-Amerika.
Islamberg terletak agak terpencil di tepi gunung Catskill. Sebuah warung logistik kecil memasok bahan pangan dan kebutuhan pokok untuk penduduknya.
Uniknya semua warga terbiasa membiarkan pintu rumah terbuka saat berpergian.
Serangan terhadap Islamberg tidak sebatas ujaran kebencian. Tidak lama setelah geng motor "American Bikers Against Jihad" menyambangi Islamberg, seorang penduduk Tenessee ditangkap karena menyerukan pembakaran mesjid di Islamberg. Kepala Desa Islamberg, Rashid Clark, menganggap kabar palsu dan ujaran kebencian terhadap desanya sebagai ancaman terbesar.
Pembelaan Kepolisian
Kepolisian setempat juga menepis tudingan tersebut. "Penduduk di sini adalah warga negara AS. Mereka telah hidup di sini sejak lebih dari 30 tahun. Mereka membangun komunitas dan menjalin kontak dengan dunia luar. Di sini tidak pernah ada masalah," kata James Barnes dari Biro Investigasi Kriminal Kepolisian New York.
“Isu gerakan radikalisme agama merupakan taman bermain bagi intelijen dan ini membahayakan masa depan agama,” ujar Prof. John L. Esposito, Guru Besar Studi Islam di Universitas Georgetown, Amerika Serikat.
Pernyataan Esposito bisa jadi benar. Menurut Karen Armstrong dalam The Batlle for God: Lewat badan intelijen, negara-negara di dunia sering menggunakan 'isu agama' sebagai instrumen untuk memainkan kepentingan mereka.
[ZAMANE]