Gagasan Polisi di Bawah Kementerian Patut Didukung
Meski bukan hal baru, gagasan Kepolisian RI berada di bawah kementerian yang dilontarkan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Agus Widjojo patut didukung. Perubahan radikal perlu dilakukan agar Korps Bhayangkara menjadi lebih profesional dan terawasi dengan baik oleh publik. Dengan berada langsung di bawah presiden seperti saat ini, wewenang Kepolisian kelewat besar tanpa pengawasan yang memadai.
Ide lawas yang sudah lama digadang-gadang sejumlah kalangan ini diungkapkan Agus Widjojo saat memberikan pernyataan akhir tahun sebagai Gubernur Lemhannas pada Jumat, 31 Desember 2021. Menurut pensiunan jenderal bintang tiga TNI itu, keamanan domestik merupakan portofolio Kementerian Dalam Negeri sehingga Kepolisian, yang selama ini menangani urusan tersebut, harus berada di bawahnya. Karena beban lembaga itu sudah banyak, Agus mengusulkan perlu dibentuk Kementerian Keamanan Dalam Negeri yang membawahkan Kepolisian.
Wacana Kepolisian RI di bawah kementerian sudah muncul sejak 2006. Ketika itu pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memasukkan gagasan ini ke dalam Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional, yang sampai saat ini tak jelas nasibnya. Ide ini kembali bergulir karena masuk dalam visi dan misi calon presiden Joko Widodo pada Mei 2014. Ketika itu, Jokowi menganggap penempatan Kepolisian di bawah kementerian perlu dilakukan karena adanya tumpang-tindih kewenangan pengambilan keputusan dan pelaksanaan. Sehari kemudian, Jokowi menghapus gagasan itu dari dokumen visi dan misinya.
Pernyataan Agus Widjojo semestinya mengingatkan Jokowi bahwa dia pernah berjanji menempatkan Kepolisian di bawah kementerian. Dengan statusnya saat ini, satu-satunya lembaga yang bisa mengontrol korps baju cokelat adalah lembaga kepresidenan. Ini berbeda dengan TNI, yang berada di bawah Kementerian Pertahanan. Tak selayaknya presiden, yang memiliki seabrek pekerjaan, mengurusi dan mengawasi Kepolisian. Tak mengherankan jika kemudian Kepolisian tak terawasi sehingga tindakannya kerap melenceng dari garis kebijakan presiden. Misalnya, meletupnya pertikaian Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi karena lembaga antirasuah itu mengusut kasus petinggi Kepolisian pada 2012. Belum lagi soal maraknya bentrok anggota Polri dengan TNI.
Dengan sistem yang ada saat ini, Kepolisian juga nyaris tanpa kontrol dalam hal melakukan pekerjaannya karena semua dilakukan sendiri, dari perencanaan anggaran, pelaksanaan, hingga pengawasan. Padahal, untuk 2021 saja, bujet Polri merupakan pos terbesar ketiga dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dewan Perwakilan Rakyat dan Komisi Kepolisian Nasional, yang diharapkan bisa mengawasi Kepolisian, sama sekali tak bisa menjalankan tugas tersebut. Sebaliknya, mereka justru seperti tunduk kepada Polri. Jika di bawah kementerian, tugas Kepolisian bisa jadi lebih ringan. Misalnya dalam hal perencanaan, kementerian yang merumuskan, Kepolisian tinggal melaksanakan. Presiden juga tak usah repot-repot mengawasi Kepolisian, karena sudah ada menteri.
Dari sisi hukum ketatanegaraan, penempatan Polri di bawah kementerian sangat memungkinkan. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengamendemen Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI yang menyebutkan lembaga ini di bawah presiden. Setelah itu, pemerintah bisa belajar dari negara lain untuk mencari format ideal. Di sejumlah negara Eropa, misalnya, kepolisian berada di bawah koordinasi tiga menteri: Menteri Kehakiman, Menteri Pertahanan, dan Menteri Dalam Negeri. Di beberapa negara Asia, pada umumnya kepolisian ditempatkan di bawah Kementerian Dalam Negeri.
Mewujudkan gagasan ini memang bukan hal mudah karena sejak dulu banyak pihak menentangnya, tak terkecuali Kepolisian sendiri. Untuk yang terbaru ini, misalnya, penolakan disampaikan Menteri Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, yang beralasan Kepolisian RI di bawah kementerian akan rawan dipolitisasi karena menteri diisi kader partai politik. Alasan ini jelas dangkal, karena presiden yang saat ini membawahkan Kepolisian adalah pemimpin atau petugas partai. Penolakan komisioner Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti, yang berdalih Kepolisian di bawah presiden merupakan amanah reformasi, jelas tak beralasan. Mandat reformasi menghendaki Polri menjadi lembaga profesional dan bersih, bukan menyangkut posisinya harus di bawah presiden.
Agar tidak menjadi wacana yang timbul dan tenggelam, Presiden Jokowi jangan ragu mengeksekusi gagasan tersebut. Perubahan posisi ini akan lebih banyak manfaat ketimbang mudaratnya. Keberadaan polisi di bawah presiden sejauh ini hanya menciptakan “Negara Kepolisian Republik Indonesia”.
(Editorial Koran Tempo, 06 Januari 2022)