[PORTAL-ISLAM.ID] Oleh: Yusuf Blegur*
Di Bawah Bendera Oligarki, sepintas sangat jauh berbeda dengan “Di Bawah Bendera Revolusi” yang menjadi buah pikir Soekarno. Buku yang terkesan dianggap "kitab suci" banyak kalangan Marhaenis dan kiri itu, lebih tekun mengupas pergulatan ideologi, suasana revolusi dan kebangkitan nasionalisme.
Sementara kalau bicara oligarki, bisa dipastikan identik dengan neo kolonialisme dan neo imperialisme yang menguasai “objective gigeven” sekaligus yang ditentang Putra Sang Fajar dan The Founding Fathers lainnya.
Namun sesungguhnya, secara esensi keadaan negara “Di Bawah Bendera Oligarki” saat ini, memiliki situasi seperti bangsa Indonesia yang masih dalam penjajahan fisik.
Ia hanya berbeda judul, berbeda kemasan dan berbeda jaman. Sementara isinya, suasana kebatinan, kondisi obyektif dan subyektif yang dialami rakyat, persis memiliki kesamaan.
Buku Di Bawah Bendera Revolusi yang menuangkan saripati nilai-nilai sosio nasionalisme, sosio demokrasi dan Ketuhanan. Lebih banyak menggambarkan tentang bagaimana kapitalisme yang merupakan hawa nafsu dari sebuah sistem yang jahat.
Penguasaan sumber daya alam, adanya perbudakan, upaya menciptakan kebodohan dan kemiskinan rakyat dalam suatu negara, telah menjadi realitas dari apa yang disebut Soekarno sebagai “exploitation de l'long par long, ekspoitation de l'homme par homme”.
Termasuk nasionalisme sebagai perkakasnya Tuhan, juga lunglai ketika liberalisasi dan sekulerisasi beringas merasukinya.
Revolusi atau Tenggelam Selamanya
Begitu kuatnya cengkeraman oligarki mengengam Indonesia. Nyaris tak ada sektor-sektor kehidupan rakyat yang tidak bisa lepas dari pengaruhnya, dari dominasi dan hegemoni oligarki.
Apa yang disebut sebagai masa kegelapan bangsa saat berada dalam jaman kolonialime, kini seperti hadir kembali di era modern. Kehidupan sosial ekonomi, sosial politik, sosial hukum, sosial budaya dan sosial kemanan hancur luluh berantakan.
Kesengsaraan hidup dan penderitaan rakyat menjadi manifestasi dari kegagalan membangun kedaulatan dalam bidang politik, kemandirian dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Gejala agama sebagai candu masyarakat juga mulai digalakkan kaum atheis.
Kekayaan alam dirampok oleh asing maupun aseng, jurang si miskin dan kaya semakin curam, serta terlalu banyak penghianat yang menjual negara dan memecah belah bangsa. Rakyat pribumi bumiputera atau marhaen menjadi budak di negeri sendiri.
UUD 1945, Pancasila dan NKRI dalam proses "take down". Berada pada bibir kemelut konflik sosial krusial dan terpapar virus disintegrasi bangsa yang akut. Kebhinnekaan dan kemajemukan yang tersusun dalam rangkaian kedamaian, menjadi artifisial dan rentan menjadi huru-hara tak terkira.
Semua yang terkesan indah dan yang baik dalam permukaan keindonesiaan, sejatinya adalah semu dan penuh kepalsuan. Keharmonisan dan keselarasan cenderung berdurasi singkat.
Kebanyakan komponen bangsa dijangkiti pandemi hipokrit dan mental inlander. TNI, Polri, Ulama, Intelektual, mahasiswa, buruh, nelayan dan petani, serta semua pemilik sah negeri ini. Nyaris skeptis, takut dan atau memilih menjual diri menjadi barang dagangan yang murah.
Hanya sedikit dari mereka yang mampu mewujudkan keberaniannya, meski harus menempuh jalan merdeka atau mati, jika memilih dalam kesadaran kritis dan sikap perlawanan. Bersikap untuk bangkit melawan atau diam tertindas, menjadi pilihan yang maha berat.
Karena memang sangat mustahil jika berhadapan dengan kekuatan oligarki yang memiliki segalanya. Rakyat dibungkam dan tak dapat melawannya.
Oligarki dengan semua uang dan instrumen kekuasaannya, melalui aparat dan birokratnya, ditambah politisi dan para buzzer yang dibayar. Semakin melanggengkan kolonialisme dan imperialisme modern di bumi nusantara ini.
Akankah Indonesia berubah menjadi negara koloni baru?. Mungkinkan NKRI akan tenggelam dan tinggal kenangannya yang tersisa?
Hanya rakyat Indonesia sendiri yang mampu menjawabnya. Adakah ini menjadi momentum dan keberanian rakyat Indonesia melakukan perubahan dan penyelamatan bangsa.
Jika tak ingin suatu saat NKRI tidak ada lagi dalam peta dunia. Seperti kata Soekarno, suatu saat akan hilang tenggelam suatu bangsa karena tak ada keberanian dalam dirinya. Hanya ada pilihan revolusi atau mati.
Sebuah revolusi Di Bawah Bendera Oligarki.
*Penulis adalah pegiat sosial dan aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari