Oleh: Gde Siriana Yusuf*
KATE Dibiasky (Jennifer Lawrence), seorang mahasiswi kandidat doktor astronomi, bersama profesornya Dr. Randall Mindy (Leonardo Di Caprio), ketika sedang melakukan penelitian mengenai pergerakan benda-benda luar angkasa, menemukan sebuah komet besar seukuran gunung Everest yang mengorbit di dalam tata surya, yang berada pada jalur tabrakan langsung dengan Bumi.
Dengan bantuan Dr. Oglethorpe (Rob Morgan) dari NASA (Badan Antariksa AS), Kate dan Dr. Randall menghadap Presiden Orlean (Meryl Streep) dan putranya yang penjilat sekaligus Kepala Staf, Jason (Jonah Hill).
Presiden acuh tak acuh, dan tidak ingin membuat kepanikan di masyarakat. Lalu mereka bertiga memulai tur media dalam siaran The Daily Rip untuk memperingatkan manusia. Tetapi media tidak peduli dan menganggapnya hanya sebagai hiburan sensasional.
Dengan data-data yang akurat Kate, Dr. Randall dan Dr. Oglethorpe berhasil meyakinkan Presiden Orlean untuk melakukan tindakan menghadang komet dengan nuklir agar hancur sebelum masuk tata surya bumi.
Tetapi ketika senjata nuklir telah diluncurkan tiba-tiba operasi dibatalkan Presiden Orlean akibat seorang milyarder super kaya Peter Isherwell (Mark Rylance) yang juga penyumbang terbesar kampanye presiden berhasil mempengaruhi presiden untuk tidak menghancukan komet karena mempunyai kandungan alam (emas dan tembaga) yang bernilai ekonomis tinggi.
Presiden Orlean dan Peter memilih untuk menuntun komet mendarat di bumi tanpa kehancuran komet. Sayangnya operasi tersebut gagal dan bumi hancur musnah.
Itu adalah kisah dalam film Don’t Look Up, produksi tahun 2021. Bergenre komedi, film ini secara satire mengingatkan kita, bahwa kekusaan tanpa kontrol, dan riset-riset yang dikendalikan oleh kepentingan bisnis adalah sangat berbahaya, yang berdampak fatal bagi kehidupan manusia.
Setelah menonton film ini saya jadi teringat dengan BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) yang menciptakan kontroversi karena diprotes kalangan peneliti dan masyarakat umum.
Dalam webinar bertajuk The Kickoff Pameran Riset & Inovasi Ritech Expo 2021 (3/11/2021), Plt Deputi Pemanfaatan Riset dan Inovasi IPTEK BRIN Mego Pinandito mendorong industri untuk memanfaatkan sumber daya periset maupun infrastruktur yang dimiliki BRIN untuk melakukan riset.
Tujuannya agar kontribusi pendanaan riset dari sektor swasta nantinya bisa semakin besar. Saat ini, 80 persen kontribusi riset masih didanai pemerintah, sementara swasta baru 20 persen. Tidak saja aspek pendanaan swasta, Mego menjelaskan fasilitas BRIN adalah bagian dari industri yaitu unit risetnya industri, sehingga boleh digunakan industri.
Menarik untuk mengamati struktur BRIN. Sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2021 yang telah dilansir pada 24 Agustus 2021, struktur organisasi BRIN terdiri dari kepala BRIN, wakil kepala BRIN, inspektorat utama dengan tiga inspektorat, sekretariat utama dengan lima biro, dan tujuh deputi.
Kemudian, tiga unit pendukung yaitu Pusat Data dan Informasi (Pusdatin), Pusat Pelayanan Teknologi (Pusyantek), dan Politeknik Teknologi Nuklir. Ketujuh deputi akan fokus untuk melakukan pelayanan eksternal dan terkait infrastruktur riset. Sedangkan sekretariat utama akan melayani pelayanan administrasi dan internal, serta infrastruktur perkantoran. Terkait aktivitas riset, akan dilakukan dan dieksekusi oleh organisasi riset.
Menariknya, Ketua Dewan Pengarah BRIN dijabat Megawati Soekarnoputri yang juga Ketua Umum PDIP, dan di bawahnya ada dua ex-officio Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Kepala Bappenas.
Tujuh Deputi BRIN akan membawahi tujuh organisasi riset (OR) yaitu OR Tenaga Nuklir, OR Penerbangan dan Antariksa, OR Pengkajian dan Penerapan Teknologi, OR Ilmu Pengetahuan Hayati, OR Ilmu Pengetahuan Kebumian, OR Ilmu Pengetahuan Teknik, dan OR Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora. Pembentukan organisasi riset dilakukan sejak proses integrasi empat lembaga pemerintah non kementerian (LPNK), yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), dan 44 unit penelitian dan pengembangan yang tersebar di kementerian/lembaga lain.
Penggabungan lembaga-lembaga riset ini disertai penggabungan anggaran tentunya, yang untuk tahun 2022 Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengharapkan akan ada anggaran Rp 10,5 triliun untuk BRIN. Hal lainnya adalah setiap lembaga riset universitas maupun Lembaga Penelitian Non-Kementrian (LPNK) akan dimudahkan dalam mendaftarkan usulan riset mereka di Sistem Informasi Manajemen Prioritas Riset Nasional atau SIM-PRN.
Terlepas dari persoalan nasib peneliti Eijkman setelah berintegrasi dengan BRIN yang menjadi berita heboh awal tahun 2022, saya mengkritisi kelembagaan BRIN pada 3 faktor strategis, yaitu:
1. Kemandirian Lembaga
Lembaga riset, sebagaimana halnya perguruan tinggi, dalam perannya dalam penyelenggaraan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, memiliki kemandirian dan kebebasan untuk menjalankan proses-proses yang meliputi penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan teknologi.
Ini diakomodasi dalam UU Sisnas IPTEK No.11 tahun 2019. BRIN, seperti halnya perguruan tinggi tidak layak dipimpin oleh orang-orang yang berlatar belakang Partai Politik dan bukan dari kalangan peneliti, apakah sebagai kepala lembaga atau ketua dewan pengarah. BRIN semestinya tidak di bawah pengaruh serta kendali kekuatan politik tertentu dan kekuasaan.
Integrasi BRIN meliputi semua penelitian-penelitian yang merupakan aset negara, ditambah lagi dengan anggaran yang cukup besar, yang dapat melebihi Rp10 triliun jika semua lembaga penelitian di perguruan tinggi kemudian juga dilebur ke dalam BRIN.
Jadi dalam hal ini ada dua isu besar terkait integrasi BRIN, yaitu konsentrasi kekuasaan dan anggaran negara yang besar.
Semestinya Presiden Joko Widodo dan Ibu Megawati Soekarnoputeri sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN memahami ini, jangan sampai upaya memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi berada dalam kuasa gelap (shadow-state). Sangat mungkin di kemudian hari, seorang pebisnis besar, setelah mendapatkan gelar doctor honoris causa lalu memimpin BRIN, tanpa integritas dan track record sebagai peneliti.
2. Efektivitas dan Kinerja Penelitian
Dari dua negara besar dengan sistem pemerintahan yang berbeda, AS dan China, tidak ada di kedua negara itu meleburkan semua lembaga risetnya ke dalam satu lembaga. Di AS, ada sekitar 70 lembaga riset milik negara, dan di China sekitar 150 lembaga penelitian milik negara. Lembaga riset memiliki bentuk dan struktur organisasi yang khas.
The Policy Institute pada King’s and RAND Europe mengatakan bahwa 'perekat' yang menciptakan unit penelitian berkinerja tinggi adalah budaya penelitian, nilai-nilai yang mendasari dan kepemimpinan.
Itulah mengapa lembaga penelitian tidak cocok untuk disatukan. Tetapi pemerintah dapat berfungsi sebagai fasilitator yang menciptakan kompetisi penelitian yang sehat, dan menyediakan anggaran yang dibutuhkan. Jadi sebenarnya BRIN tidak perlu meleburkan semua lembaga riset yang telah ada menjadi organisasi riset di bawahnya. BRIN cukup menjadi fasilitator dan koordinator dari semua upaya riset nasional, dan menyerahkan semua penelitian dan pengembangan teknologi kepada setiap lembaga riset.
Bahkan seharusnya BRIN fokus mengembangkan fungsi litbang di setiap perguruan tinggi agar lebih maju. Di AS misalnya NASA menduduki peringkat 43, kalah dari lembaga riset perguruan tinggi.
Jadi dalam hal ini saya melihat isunya adalah bukan Re-Organisasi yang diperlukan, melainkan Revitalisasi IPTEK nasional.
Dalam militer kita juga bisa melihat, karena kekhasannya, maka angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara tidak digabung dalam satu struktur organisasi di mana setiap angkatan hanya menjadi unit tempur berbeda. Meskipun ada Panglima TNI yang memegang komando tertinggi TNI tetapi pengembangan setiap angkatan tetap di bawah kendali setiap kepala staf angkatan.
Dalam UU Sisnas IPTEK No.11 tahun 2019 pasal 13 (2) dijelaskan bahwa penyelenggaraan ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan secara meluas oleh perseorangan atau kelompok, badan usaha atau perguruan tinggi, lembaga pemerintah atau swasta. Intinya tidak ada satu lembaga yang memonopoli ilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Keamanan data penelitian
Menyerahkan pendanaan riset negara kepada sektor swasta memiliki potensi riset dikendalikan oleh pihak swasta atau industri. Proposal-proposal riset sangat mungkin lebih banyak datang dari dunia usaha karena terbuka pintu BRIN bagi swasta untuk mengunakan fasilitas BRIN. Meskipun komersialisasi hasil riset itu dapat dinikmati masyarakat tetap saja konteksnya adalah profit bisnis.
Jadi pada poin ini isunya adalah Riset yang Sales-Oriented.
Lembaga riset memiliki etika ilmiah yang menuntut kejujuran dan integritas dalam semua tahap praktik ilmiah. Sistem etika ini memandu praktik sains, mulai dari pengumpulan data hingga publikasi dan seterusnya. Yang paling dikuatirkan adalah bocornya data-data penelitian negara selama ratusan tahun sejak era kolonial kepada pihak swasta atau asing, misalnya spesimen-spesimen penyakit langka khas Indonesia, yang kemudian pihak swasta atau asing membuat vaksinnya lalu kemudian dijual kepada pemerintah Indonesia.
Serta risiko hilangnya koleksi-koleksi langka seperti tumbuh-tumbuhan yang kemudian penelitian dilakukan oleh pihak swasta dan asing lalu dipatenkan atas nama mereka.
*) Penulis adalah pengarang buku “Keserakahan Di Tengah Pandemi”