Tipu Muslihat Herry Wirawan si Predator Seksual
Senin itu, 31 Mei 2021, tim Polda Jawa Barat dan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Pemprov Jawa Barat bergegas menuju sebuah rumah di Cibiru Hilir, Kabupaten Bandung. Mereka punya misi penting: menangkap Herry Wirawan, pemilik Madani Boarding School yang memerkosa 13 santrinya yang masih di bawah umur.
Rumah di Cibiru Hilir adalah semacam basecamp. Herry sengaja mengontraknya untuk menempatkan para korbannya yang hamil dan sudah melahirkan bayi hasil hubungan mereka. Namun, pagi itu tak ada siapa pun di rumah itu.
Tim kemudian bergerak menuju Madani Boarding School yang terletak di Kecamatan Cibiru, Kota Bandung. Lagi-lagi nihil. Tak ada siapa pun di sana. Target tak ada di tempat.
Intel Polda Jabar kemudian mencari informasi mengenai keberadaan Herry. Akhirnya, tim mendapat informasi bahwa Herry berada di sebuah rumah yang dijadikan kantor Yayasan Manarul Huda Antapani (Madani) di Kompleks Sinergi Antapani Kota Bandung.
Tim gabungan langsung menuju lokasi. Mereka mendobrak pintu rumah dan menemukan Herry serta sejumlah santriwati.
Herry tak melawan ketika ditangkap. Ia digiring ke Polda Jabar. Sementara para santriwati dibawa dengan bus ke kantor Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) DP3AKB Jabar.
Namun, ada yang kurang. Tim gabungan belum menemukan santriwati yang sudah memiliki bayi. Padahal berdasarkan laporan salah satu korban ke Polda Jabar lima hari sebelumnya, 26 Mei, terdapat sejumlah santriwati yang sudah melahirkan bayi dari Herry.
Tim pun memaksa Herry memberi tahu keberadaan mereka. Herry menyebut nama sebuah apartemen di Kota Bandung. Sekitar pukul 15.00 WIB, tim menuju ke sana.
“Begitu kami buka (pintu apartemen), ada beberapa bayi sama ibu-ibunya. Saya merinding. Kami pulang dari situ (dengan para korban) yang bawa bayi masing-masing—ada yang 1,5 tahun, ada yang baru beberapa bulan,” kata Anjar Yusdinar, Kepala UPTD PPA DP3AKB Pemprov Jabar, kepada kumparan di kantornya, Jalan LLRE Martadinata, Rabu (15/12).
Para korban sebelumnya ditempatkan di Cibiru Hilir bersama santri lain oleh Herry. Namun, tiga hari sebelum penggerebekan, Herry mengetahui ada salah satu korban mengadu ke Polda. Ia pun memindahkan mereka ke apartemen. Herry juga sempat meminta keluarga korban yang mengadu ke Polda Jabar untuk mencabut laporan.
Operasi penangkapan berakhir pukul 16.00 WIB. Para korban yang ditemukan di apartemen dibawa pula ke kantor UPTD PPA DP3AKB Jabar, sedangkan bayi mereka dibawa ke Dinas Sosial Jabar.
Total ada 21 santriwati yang ditemukan saat penangkapan Herry. Mereka kemudian diperiksa polisi, kecuali satu orang yang dipulangkan karena masih berusia 10 tahun dan baru saja masuk. Sebanyak 13 santriwati diperiksa sebagai korban, dan 7 lainnya sebagai saksi.
Ketiga belas santriwati itu merupakan korban pemerkosaan, dan delapan di antaranya hamil dan sudah melahirkan. Ada pula santriwati yang hamil lebih dari sekali. Ada sembilan bayi yang dilahirkan—yang terbesar berusia 2,5 tahun dan yang termuda baru satu bulan.
Aksi bejat Herry berlangsung pada periode 2016–2021 di berbagai tempat. Selama lima tahun itu, para korban sangat takut kepada Herry sehingga ia begitu leluasa memperdaya mereka.
Berdasarkan dakwaan jaksa, Herry memerkosa santri-santrinya di kantor Yayasan Madani Bandung, Rumah Tahfidz Al-Ikhlas Antapani, Madani Boarding School Cibiru, basecamp di Cibiru Hilir, lima hotel, dan sebuah apartemen. Seluruhnya berlokasi di Bandung.
Setelah Herry ditangkap akhir Mei 2021, kasusnya masuk ke persidangan di awal Desember dan terungkap ke publik. Pihak berwenang menyatakan bukannya bermaksud menutup-nutupi perkara itu dari khalayak.
“Kami khawatir kalau ramai—biasalah tetangga [sekitar tempat tinggal korban], itu yang sulit biasanya—ada stigma dari masyarakat yang melabeli anak ini gini-gini. Itu yang kami hindari,” ujar Anjar.
Siapa sebenarnya Herry Wirawan si predator seksual?
Lahir di Garut 36 tahun lalu, Herry berkuliah di Universitas Islam Nusantara, Bandung. Menurut Ketua Forum Pondok Pesantren Kota Bandung, KH Aceng Dudung, Herry bekerja sebagai guru privat mengaji dari rumah ke rumah usai lulus kuliah. Ia kemudian bergabung dengan Pesantren Madinah Bandung.
Berikutnya, Herry keluar dari Pesantren Madinah dan diberi kepercayaan untuk mengelola Rumah Tahfidz Al-Ikhlas di Jalan Sukanagara, Antapani Kidul, Kota Bandung. Rumah Tahfidz itu milik kantor Kementerian Agama Kota Bandung.
Mulanya, Kemenag Kota Bandung menerima wakaf sebuah rumah dari seorang warga di Antapani. Herry lantas punya ide untuk membangun Rumah Tahfidz sebagai tempat belajar Al-Quran. Usul itu disetujui Yusuf, Kepala Kantor Kemenag Kota Bandung saat itu. Ia lalu memberi izin operasi.
Menurut situs resmi Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat, Rumah Tahfidz Al-Ikhlas di Antapani itu diresmikan oleh Kepala Kanwil Kemenag Jawa Barat, Buchori, pada 1 Februari 2018.
“Setelah diresmikan Kepala Kanwil Kemenag Jabar, dia [Herry] yang menghuni di situ. Dia bawa santri dari Garut, dari mana-manalah,” cerita Aceng.
Di Rumah Tahfidz itu, terdapat kantor sekretariat beberapa organisasi mitra Kemenag seperti Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah Bandung, Kelompok Kerja Majelis Taklim Bandung, Forum Komunikasi Pendidikan Al-Quran, dan Forum Pondok Pesantren Kota Bandung.
Namun, saat dikonfirmasi, Kemenag justru mengatakan bahwa Rumah Tahfidz itu belum mengantongi izin operasional.
Selain mengelola Rumah Tahfidz Al-Ikhlas Antapani, Herry dalam kurun waktu berdekatan juga mendirikan Yayasan Manarul Huda Antapani (Madani). Menurut warga sekitar, Madani merupakan yayasan yatim piatu. Yayasan ini mendapat izin operasi dari Kemenag, namun belakangan dicabut setelah kasus pemerkosaan oleh Herry terungkap.
Selanjutnya, masih pada 2018, Herry membuka pesantren dengan konsep boarding school di Cibiru, Kota Bandung, seiring kemandekan pengelolaan Rumah Tahfidz Al-Ikhlas Antapani.
Pesantren itu kemudian dinamai Madani Boarding School. Santri-santrinya sama saja dengan yang belajar di Rumah Tahfidz. Madani Boarding School menawarkan pendidikan kesetaraan semacam kejar paket di pendidikan formal.
Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Barat, Rafani Akhyar, mengatakan bahwa pendirian pesantren di Cibiru sempat ditolak warga sekitar. Musababnya, menurut keterangan Ketua MUI Kecamatan Cibiru, Mualif, dulu di wilayah itu ada sebuah pondok pesantren yang digerebek karena diduga berpaham radikal. Setelahnya, ponpes tersebut ditutup.
Itu sebabnya warga Cibiru khawatir ponpes yang akan didirikan Herry juga radikal. Namun Herry meyakinkan warga bahwa ponpesnya tidak radikal.
“Yang dijual katanya NU—‘Ini bukan pesantren [radikal], ini pesantren NU,’” ucap Rafani kepada kumparan, Kamis (16/12/2021).
Maka, Madani Boarding School pun berdiri. Namun setelahnya, Herry tak pernah lagi bersosialisasi dengan warga sekitar. Pesantren itu menjadi eksklusif.
Warga pun tak tahu bahwa di situ Herry memerkosa santri-santrinya. Berdasarkan kesaksian korban, terdapat sebuah kamar di Madani Boarding School yang kuncinya hanya dipegang Herry. Kamar itulah yang dipakai Herry untuk melakukan aksi biadabnya.
Jejaring Luas, Lobi Kuat
Herry aktif membangun jejaring perkawanan di Kemenag, Pemprov Jabar, dan Pemkot Bandung. Amanat yang diberikan ke Herry untuk mengelola Rumah Tahfdiz milik Kemenag Kota Bandung, misalnya, tak lepas dari kedekatan dia dengan pejabat Kemenag dan Pemda. Herry memang dikenal jago lobi.
Kemampuan Herry membangun jejaring membuatnya dipercaya sebagai Ketua Kelompok Kerja Pendidikan Kesetaraan Pondok Pesantren Salafiyah (PKPPS) Jawa Barat dan Ketua Forum Komunikasi Pendidikan Kesetaraan pada Pondok Pesantren Salafiyah (FK-PKPPS). Kedua organisasi itu merupakan mitra Kemenag.
Pengukuhan pengurus nasional FK-PKPPS yang diketuai Herry Wirawan di Bogor pada 2 Mei 2019 disaksikan oleh Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam Kemenag, Ahmad Zayadi. Ketika itu, Herry mengatakan bakal menuntaskan akreditasi bagi pondok pesantren salafiyah.
Menurut KH Aceng Dudung, Herry menggunakan jabatannya sebagai Ketua Pokja PKPPS untuk mengajukan dana bantuan ke Kemenag, Pemprov Jabar, Pemkot Bandung, dan berbagai donatur lain.
Dana bantuan pun cair, misalnya dana pembangunan pesantren dari Pemkot Bandung sebesar 10 persen dari rencana anggaran biaya di kisaran Rp 100 juta sampai Rp 300 juta, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Kemenag, dan dana Program Indonesia Pintar (PIP) Kemenag. Namun, Herry diduga tidak menggunakan dana-dana tersebut sebagaimana mestinya.
Hal serupa sebenarnya pernah terjadi ketika Herry mengelola Rumah Tahfidz Al-Ikhlas. Dugaan penyelewengan terendus lantaran antara organisasi mitra Kemenag seperti Forum Ponpes saling mengawasi.
“Ada intrik-intrik penyelewengan, lalu izinnya dicabut yang [Rumah Tahfidz] Al-Ikhlas, dicoret [dari daftar penerima bantuan],” kata Aceng.
Herry bahkan pernah mengatasnamakan Forum Pondok Pesantren Kota Bandung untuk meminta bantuan kepada berbagai pihak. Tetapi setelah bantuan cair, duit itu ia tilap. Tindakan itu membuat Herry bersitegang dengan pengurus Forum Ponpes Kota Bandung.
“Kan itu mengajukan bantuan, lalu dapat. Setelah dapat, dibawa sendiri. Harusnya kan musyawarah organisasi, ini uang mau bagaimana,” ujar Aceng.
Herry aktif di berbagai kegiatan yang punya anggaran besar. Tahun 2019, misalnya, ia menawarkan diri mengkoordinir data-data guru honorer di pesantren yang akan mendapat bantuan Pemkot Bandung. Dana hibah yang diberikan saat itu senilai Rp 63 miliar untuk 11 ribu guru.
“Untuk guru honerer di PPS [Pondok Pesantren Salafiyah] dan pesantren, dia yang mengatur. [Herry] kalau ada uang aktif,” ucap Aceng.
Menurut Sekretaris MUI Jabar Rafani Akhyar, Herry dikenal lihai mengegolkan pengajuan proposal bantuan sosial. Rafani yang sedang membangun pesantren pun pernah ditawari anak buahnya untuk menggunakan jasa Herry Wirawan.
“[Anak buah saya bilang] kalau proposal dibawa dia [Herry], dijamin minimal Rp 200 juta dapat. Saya bilang, ‘Nanti, pokoknya harus nunggu izin resmi.’ Kira-kira dua bulan lalu, begitu ada kasus ini, anak buah saya bilang, ‘Aduh Pak, kita masih ditolong [Tuhan karena tidak menggunakan jasa Herry].’ Makanya jangan mudah tergiur,” ujar Rafani.
Sumber kumparan mengatakan, Herry diduga memiliki jejaring di Kemenag, Pemprov Jabar, maupun Pemkot Bandung yang memudahkan proposalnya disetujui. Ia dikenal sebagai agen atau broker dana bantuan.
Diah Kurniasari, Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Garut, mengatakan bahwa berdasarkan cerita korban, Herry memang aktif menyebar proposal permintaan bantuan ke berbagai pihak. Ia bahkan menerima dana bansos COVID-19 dari pemerintah.
Herry meminta salah satu korbannya untuk menyusun proposal-proposal macam itu. Hal ini membuat korban sering bekerja sampai jam 3 pagi.
Lebih lanjut, dalam proposal-proposal tersebut, Herry kerap memanfaatkan bayi-bayi hasil hubungannya dengan para korban. Ia menyebut mereka sebagai anak yatim piatu demi meraup dana bansos.
“Jadi, modus dia juga dengan proposal menampung anak yatim. Padahal itu anak dia sendiri,” kata Diah.
Mencuatnya kasus Herry jadi mencoreng wajah pesantren. KH Aceng Dudung mengutuk keras Herry. Ia menegaskan, Herry sungguh tak pantas menganggap diri sebagai ustaz.
“Ustaz itu orang yang sangat kuat imannya, luhur ilmunya, hati-hati berbuat, menjaga wibawanya. Kalau masih tergoda, bukan ustaz,” ucap Aceng.
Ia dan Rafani Akhyar meminta masyarakat tak menggeneralisasi perkara Herry dengan pesantren lain. Apalagi pesantren Herry memang dikelola tak wajar. Contoh sederhana: meski seluruh santrinya perempuan, tetapi ustaznya laki-laki dan asramanya tak memiliki pengawas perempuan.
Selain itu, pesantren tersebut tak mempunyai kurikulum, silabus, maupun guru tetap. Para santrinya pun hanya boleh pulang ke rumah setahun sekali.
Aceng mengibaratkan pesantren sebagai emas yang kini tercemar ulah Herry.
“Keberadaan pesantren itu bagai emas murni. Tapi datang kasus ini seperti air bah—keruh. Sekarang tugas ponpes memurnikan lagi emas itu,” kata Aceng.
Rafani berpendapat Herry harus dihukum maksimal, termasuk kebiri. Kasus dugaan penyelewengan dana-dana bantuan yang melibatkan dia pun harus diusut tuntas.
“Mau dihukum kebiri, gantung, silakan. Tetapi di pengadilan mesti ditelusuri juga [dugaan penyelewengan] bantuan dari pusat, Pemkot Bandung, Provinsi Jabar. Telusuri modusnya seperti apa, karena siapa tahu ada praktik korupsi di situ. Sebab kok begitu mudah dia dapat bantuan dana.”
Hukuman setimpal pun bahkan tak dapat menghapus derita para korban Herry Wirawan. Cita-cita mereka tercerabut dan mereka jatuh ke jurang depresi.
(Kumparan)