Tantangan Novel Baswedan Dkk di Korps Korupsi Polisi
Pelantikan 44 eks pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai aparatur sipil negara (ASN) Kepolisian RI kian membuktikan bahwa tes wawasan kebangsaan yang dipakai pimpinan KPK (TWK KPK) untuk menyingkirkan mereka benar-benar bermasalah.
Tanpa menggelar seleksi apa pun, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengangkat Novel Baswedan cs sebagai ASN kepolisian bertepatan dengan Hari Antikorupsi Internasional pada 9 Desember lalu. Pelantikan ini merupakan pengakuan bahwa TWK versi Ketua KPK Firli Bahuri cs cacat hukum.
Setelah dua bulan lebih memberikan janji rekrutmen terhadap para pegawai KPK yang dipecat karena TWK, Kapolri akhirnya menerbitkan surat pengangkatan mereka sebagai ASN kepolisian. Pada akhir September lalu, komisi antikorupsi memberhentikan 58 pegawainya dengan dalih tak lolos TWK. Dari jumlah itu, satu orang pensiun dan satu lagi meninggal. Setelah surat pengangkatan dari Kapolri terbit, 12 eks pegawai KPK menolak bergabung dan 44 lainnya menerima tawaran tersebut hingga akhirnya dilantik sebagai ASN kepolisian.
Selain membuktikan bahwa TWK versi KPK ugal-ugalan, pelantikan ini memulihkan nama bekas pegawai KPK yang diberi label “merah” oleh Firli cs. Dengan tak lolos TWK, cap dan stigma radikal, Taliban, atau anti-Pancasila rentan disematkan kepada para eks pegawai komisi antirasuah tersebut. Padahal, sejak awal, tes ini sarat kejanggalan dan diduga hanya menjadi alat untuk menyingkirkan pegawai-pegawai berprestasi yang sulit dikendalikan pimpinan KPK. Firli tak hanya tutup telinga terhadap semua kritik atas tes tersebut, tapi juga mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa alih status menjadi ASN jangan sampai merugikan pegawai KPK.
Karena undang-undang hasil revisi menyebutkan bahwa KPK kini menjadi bagian dari pemerintah, Presiden Joko Widodo sejatinya menjadi harapan terakhir untuk menghentikan tindakan sewenang-wenang Firli tersebut.
Tapi Presiden memilih berpangku tangan atas rencana pemecatan pegawai KPK yang tak lolos TWK itu. Sikap Jokowi yang ketika itu cenderung mengelak, misalnya dengan mengatakan ”Jangan apa-apa ditarik ke Presiden”, kian memberi kesan kuat bahwa dia menjadi bagian dari kelompok yang menghendaki KPK tak berdaya. Pelemahan terhadap KPK dimulai ketika Jokowi menyetujui revisi Undang-Undang KPK dan mengangkat Firli cs sebagai pemimpin lembaga tersebut.
Sikap masa bodoh Jokowi ini tak hanya mengakhiri karier pegawai KPK yang selama ini menangani kasus-kasus besar tersebut, tapi juga membenamkan agenda pemberantasan korupsi di negeri ini. Presiden sesungguhnya memiliki alasan untuk menganulir keputusan Firli tersebut. Laporan Ombudsman RI pada Juli lalu yang dikirim ke Istana menyebutkan bahwa TWK yang digelar KPK sarat pelanggaran administrasi. Ombudsman merekomendasikan pemulihan status pegawai KPK yang dipecat. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) belakangan memperkuat temuan dan rekomendasi Ombudsman tersebut.
Alih-alih memastikan KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) sebagai penyelenggara TWK mematuhi rekomendasi Ombudsman, Presiden malah memilih buang badan.
Belakangan, Presiden melempar tanggung jawab itu kepada Kapolri Listyo Sigit Prabowo.
Kendati bukan solusi ideal, pengangkatan eks pegawai KPK menjadi ASN kepolisian ini memberi jalan mereka untuk terus berkontribusi terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Karena budaya kerja di KPK dan kepolisian sangat jauh berbeda, Novel Baswedan cs tentu saja harus pintar-pintar “berselancar” sebagai bagian dari Korps Bhayangkara, yang menurut survei Global Corruption Barometer 2020 merupakan salah satu lembaga terkorup.
Rencana Kapolri membentuk Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi setelah bergabungnya 44 eks pegawai KPK ini tak perlu direspons berlebih. Konsep ini sebenarnya bukan hal baru karena dua Kapolri sebelumnya, Sutarman dan Tito Karnavian, pernah membicarakan hal serupa. Tapi ide itu menguap begitu saja.
Kehadiran bekas pegawai KPK di kepolisian tentu membawa harapan yang baik terhadap perbaikan citra kepolisian. Terdiri atas empat divisi, dari divisi pencegahan hingga penindakan dan langsung di bawah Kapolri, seperti Korps Brigade Mobil (Brimob), tugas lembaga baru ini adalah mencegah kebocoran penggunaan anggaran negara serta pemberantasan korupsi yang mendukung iklim investasi.
Agar tidak seperti menyapu lantai dengan sapu kotor, Kapolri sebaiknya lebih dulu berfokus pada pembenahan di lingkup internal kepolisian. Bagian ini bisa diisi oleh eks pegawai KPK dengan struktur di bawah Kapolri langsung.
Jika ini benar-benar bisa dilaksanakan, kedatangan para eks pegawai KPK di kepolisian akan membawa lembaran baru bagi pemberantasan korupsi di lembaga tersebut.
(Sumber: Koran Tempo, 14/12/2021)