𝗦𝗨𝗥𝗬𝗔 𝗣𝗔𝗟𝗢𝗛 𝗦𝗘𝗕𝗔𝗚𝗔𝗜 𝗞𝗜𝗡𝗚 𝗠𝗔𝗞𝗘𝗥 𝟮𝟬𝟮𝟰
Oleh: 𝗧𝗮𝗿𝗹𝗶 𝗡𝘂𝗴𝗿𝗼𝗵𝗼
Pada Pileg 2019 kemarin, jika persentase kenaikan kursi dijadikan ukuran, maka Nasdem adalah pemenang yang sesungguhnya. Partai yang dipimpin Surya Paloh tersebut mencatatkan kenaikan kursi terbesar. Persentase kenaikan kursi Nasdem bahkan mengalahkan PDIP.
Sebagai catatan, dari 9 partai politik yang bisa meloloskan wakilnya ke Senayan pada pileg kemarin, 5 partai mencatatkan kenaikan perolehan kursi, sementara 4 partai sisanya mencatatkan penurunan jumlah kursi. Lima partai yang mencatatkan kenaikan jumlah kursi secara berturut-turut adalah Nasdem (naik 23 kursi), PDIP (naik 19 kursi), PKB (naik 11 kursi), PKS (naik 10 kursi) dan Gerindra (naik 5 kursi). Sementara, parpol yang kehilangan kursi secara berurutan adalah PPP (hilang 20 kursi), Hanura (hilang 16 kursi, sekaligus tersingkir dari DPR), Demokrat (hilang 7 kursi), Golkar (hilang 6 kursi), dan PAN (hilang 4 kursi).
Naiknya suara Nasdem secara signifikan jelas sesuatu yang menarik, mengingat palagan utama pada Pemilu 2019 lalu—di mana Pileg dan Pilpres dilakukan secara serentak—sebenarnya terjadi antara PDIP/Joko Widodo dengan Gerindra/Prabowo Subianto. Nyatanya, yang mendapatkan kenaikan perolehan kursi terbesar justru adalah Nasdem.
Di sisi lain, meskipun sebagai calon presiden Prabowo bisa memobilisasi dukungan yang sangat besar dalam berbagai kampanye politiknya, jauh lebih besar daripada kampanye Pilpres 2014, namun partai yang dipimpinnya hanya mendapat tambahan kursi paling sedikit, yaitu 5 kursi saja. Kenaikan perolehan kursi ini bahkan hanya separuh dari kenaikan kursi PKS (10 kursi). Sebagai catatan, meskipun PKS mengusung Prabowo sebagai calon presiden, namun pasangan Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019 lalu bukanlah berasal dari PKS.
Kalau kita bicara Nasdem, tentu tak akan bisa lepas dari figur Surya Paloh. Ada beberapa catatan yang menurut saya menarik untuk diperhatikan, terkait Surya Paloh dan melejitnya perolehan kursi Nasdem ini.
𝗣𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮, naiknya perolehan kursi Nasdem secara signifikan di satu sisi, serta tidak signikannya kenaikan kursi Gerindra pada Pileg 2019 lalu di sisi yang lain, sebenarnya membuktikan bahwa ‘coattail effect’ Pilpres terhadap perolehan kursi parpol sebenarnya kecil saja, atau bahkan kian menjadi tidak signifikan.
Sebagai pembanding, saat PDIP pertama kali mencalonkan Joko Widodo sebagai capres pada 2014 silam, yang mampu memobilisasi dukungan lebih massif dan besar dibanding Pilpres 2019 kemarin, kenaikan jumlah kursi PDIP ketika itu hanya 15 kursi saja. Menariknya, saat popularitas Joko Widodo tak lagi bombastis, pada Pileg 2019 kemarin perolehan suara PDIP justru bisa naik 19 kursi.
Nasdem dan PKS sudah membuktikan, tanpa figur Capres/Cawapres yang berasal dari internal partai, mereka bisa menaikkan jumlah kursi secara signifikan.
𝗞𝗲𝗱𝘂𝗮, memang telah terjadi pergeseran perilaku pemilih pada Pileg 2019, di mana para pemilih kini cenderung lebih memilih caleg daripada partai politik. Menurut data Puskapol UI, 66 persen sampel surat suara Pileg 2019 menunjukkan jika para pemilih memberikan suaranya untuk caleg ketimbang parpol. Padahal, pada Pileg 2014 silam, jumlah perolehan suara partai politik melampaui perolehan suara caleg.
Poin ini membantu memberi penjelasan kenapa Nasdem bisa memperoleh kenaikan kursi sangat signifikan, meskipun citranya sebagai partai politik pernah jadi bulan-bulanan. Dalam rangkaian demonstrasi terkait kasus dugaan kasus ‘penistaan agama’ (blasphemy) yang menyeret nama Basuki Tjahaja Purnama pada 2016 silam, misalnya, yang berlangsung tiap hari Jumat selama berminggu-minggu yang kemudian memunjak jadi aksi 411 dan 212 yang kolosal itu, Nasdem, bersama dengan PDIP, sering disebut sebagai “partai pendukung penista agama”. Nyatanya, labeling negatif tersebut tidak bisa membendung kenaikan perolehan kursi Nasdem dan juga PDIP pada Pileg 2019 lalu.
Kita tahu, sebelum Pileg berlangsung, Nasdem memang getol sekali merekrut tokoh-tokoh dengan elektabilitas tinggi sebagai calegnya. Ke depan, dengan terus meningkatnya asosiasi pemilih kepada caleg daripada kepada partai ini, Nasdem punya potensi untuk terus menggenjot perolehan kursinya. Apalagi, portofolio partai-partai di Indonesia secara umum memang kurang lebih sama, hampir tidak memiliki diferensiasi sama sekali. Figur caleg akan kian jadi determinan penting.
𝗞𝗲𝘁𝗶𝗴𝗮, agresivitas Surya Paloh untuk membuat sejumlah tokoh populer yang sebenarnya tak berpartai menjadi terasosiasi kepada Nasdem, seperti Anies Baswedan serta Ridwan Kamil, misalnya, membuat Nasdem telah memainkan peran penting dalam berbagai Pilkada lalu. Model pendekatan ini sepertinya juga akan digunakan Surya Paloh untuk Pilpres 2024. Dengan menjadikan partainya sebagai panggung politik untuk figur-figur populer, ke depan Nasdem harus diperhitungkan secara sangat serius oleh partai-partai lainnya.
Apalagi dalam survei-survei terbaru elektabilitas Nasdem sudah melampaui Golkar, yang menjadikannya sebagai pendatang baru di jajaran tiga besar, sesudah PDIP dan Gerindra. Sebagai catatan, sebagaimana halnya PDIP, raihan kursi yang kini diperoleh Nasdem didapat dengan identitasnya sebagai partai nasionalis sekuler.
Jika Nasdem bisa melebarkan segmen pemilihnya dengan merangkul ceruk pemilih muslim, misalnya dengan memanfaatkan sentimen-sentimen yang melekat pada sejumlah tokoh populer yang kini terasosiasi kepadanya, maka Nasdem bukan hanya berpeluang besar menjadi “The Big Three”, tapi mungkin lebih besar dari itu.
Dan 𝗸𝗲𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁, sebagai ketua umum partai, Surya Paloh benar-benar menempatkan dirinya sebagai manajer. Meskipun perannya sangat sentral di Nasdem, sama seperti sentralnya peran Mega di PDIP dan Prabowo di Gerindra, namun namanya selalu berada di belakang Nasdem. Ia tidak menjadikan Nasdem sebagai kendaraannya untuk meraih jabatan-jabatan publik. Sebagai politisi, ia memilih untuk berkuasa dengan jalan mempromosikan orang-orang lain ke jabatan-jabatan publik, baik di pusat maupun di daerah. Di sini, Surya Paloh lebih memilih jadi “king maker”.
Posisi Surya sebagai king maker ini membuat Nasdem jadi tidak punya ketergantungan elektoral apapun pada figur ketua umumnya. Sama seperti halnya Golkar, atau PKS, sebagai partai Nasdem tidak hidup dalam bayang-bayang popularitas ketua umumnya. Ini adalah modal penting untuk memodernisasi partai. Kita tahu, karena bertumpu pada popularitas Wiranto, hari ini Hanura gagal mempertahankan eksistensinya di parlemen.
Dengan catatan-catatan tadi, kalau menggunakan istilah ilmu ekonomi, sebagai politisi tak diragukan lagi jika dalam panggung politik Indonesia hari ini Surya Paloh adalah seorang “price maker”, bukan “price taker”. Ia tidak hidup dalam bayang-bayang skenario politik orang lain, melainkan aktif menyusun skenario politik sendiri. Apa dan bagaimana wajah politik Indonesia pada 2024 nanti, akan sangat diwarnai oleh apa yang akan dilakukan oleh politisi kelahiran Banda Aceh ini.
(fb penulis)