Proyek Pembangunan Pabrik Amonia Banggai Senilai Rp 11 Triliun Bermasalah
Oleh: Agustinus Edy Kristianto
Akui saja bahwa proyek pembangunan pabrik amonia Banggai senilai Rp11 triliun yang jadi kebanggaan dan diresmikan Presiden Jokowi pada 2 Agustus 2015 itu bermasalah.
Tak hanya dugaan kentalnya unsur nepotisme karena pemilik proyek itu adalah PT Panca Amara Utama (PAU), yang mana salah satu pengurus dan pemegang sahamnya adalah Garibaldi (Boy) Thohir, kakak Menteri BUMN Erick Thohir, tapi saya menduga kuat proyek itu perlu diperiksa dugaan tindak pidana korupsinya.
Beberapa orang bertanya, apakah fakta dan data yang selama ini saya tulis, benar adanya. Mari kita lihat berita terbaru yang ditulis Koran Tempo (2 Desember 2021) berjudul "Dua Tahap Restrukturisasi Rekind".
Rekind merugi sebesar Rp1,5 triliun pada 2020. Kata Sekretaris Perusahaan Rekind, Edy Sutrisman, kerugian tersebut merupakan akumulasi kerugian di empat proyek (disebut tanpa mendetailkan proyeknya).
Saya menulis impairment project total (2018-2020) berdasarkan dashboard kondisi Rekind per Desember 2020 (audited) sebesar minus Rp1,735 triliun. Sementara WA yang beredar (WA ini bukan saya penyebarnya) beberapa hari lalu menyebut Direktur Keuangan Pupuk Indonesia mundur karena masalah bisnis Boy Thohir di Rekind Rp1,7 triliun.
Tempo, mengutip audit BPK 2020, menulis Rekind selama 2016-31 Desember 2019 mengalami arus kas negatif saat menggarap sejumlah proyek: Rantau Dedap, Muara Laboh, proyek amonia Banggai. Untuk menutup arus negatif itu diambil pinjaman bank. Pinjaman TERBESAR untuk menutup kas negatif proyek Banggai sebesar Rp948 miliar. Dalam proyek itu, Rekind dikenai denda keterlambatan pengerjaan proyek sebesar US$50,768 juta (sekitar Rp729 miliar).
Saya menulis, menguraikan duduk soalnya. Nilai proyek US$507,86 juta. Efektif kontrak 22 Juni 2015. Durasi proyek 28 bulan (grace period 1 bulan). Performance test 18 Agustus 2018. Status pabrik sudah dioperasikan secara komersial. Jenis kontrak EPC Lumpsum TURNKEY (kontrak terima jadi. Pihak kontraktor pelaksana (Rekind) merancang, membangun, melengkapi manufaktur dsb dan baru akan menyerahkan setelah siap untuk operasi untuk mendapatkan pembayaran).
Saya tulis, berdasar dokumen yang saya pegang, total kebutuhan penambahan modal CASH Rekind sebesar Rp5,09 triliun. Sebab, Laporan Keuangan (Audited) per 31 Desember 2020 menunjukkan negatif Rp1,92 triliun. Ada juga tambahan rugi karena beban dan denda pajak (jika perkara pajak kalah) sebesar Rp2,2 triliun. Rekind telah melakukan penambahan modal melalui pinjaman Bank Mandiri US$41 juta dan injeksi Rp2,3 triliun pada 9 Agustus 2021 sebesar Rp2,3 triliun.
Apa inti masalahnya, yang berkali-kali saya sebut berpotensi menjadi perkara tipikor?
1. Proyek ini bermasalah. Masalahnya ada di kedua belah pihak (PAU dan Rekind). Masalah bermula sejak awal penyusunan kontrak---seperti tercantum dalam temuan BPK---yang pada akhirnya berpotensi merugikan keuangan Rekind. Rekind adalah perusahaan terkendali Pupuk Indonesia. Pupuk Indonesia adalah BUMN yang sumber pemasukannya dari APBN.
2. Proyek ini berpotensi pelanggaran tindak pidana nepotisme akibat adanya hubungan afiliasi antara Boy Thohir (PAU) dan Menteri BUMN Erick Thohir sebagaimana diatur dalam UU 28/1999 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Ada transaksi benturan kepentingan akibat posisi ET yang mewakili pemegang saham negara di Pupuk Indonesia dan Rekind dalam RUPS.
3. Tidak tercermin adanya UPAYA TERBAIK untuk menyelesaikan permasalahan ini secara hukum. Penyelesaian justru dilakukan melalui jalur 'kekuasaan'. Setelah ET menjabat Menteri BUMN, pada 12 Agustus 2020, dilakukan PERJANJIAN PENYELESAIAN antara PAU dan Rekind. Konsekuensinya adalah Rekind mencabut laporan pidana di polisi dan PAU mencabut gugatan arbitrase di Singapura.
Padahal, substansi/materi perkara yang dipidanakan oleh Rekind itu penting sekali, yaitu berkaitan dengan pencairan jaminan pelaksanaan sebesar US$56 juta oleh PAU pada Mei 2019 (padahal proyek selesai dan pabrik sudah beroperasi secara komersial), yang menurut BPK, diindikasikan digunakan untuk pembayaran utang induk usaha PAU (ESSA), dan baru dikembalikan pada Oktober 2020.
Perjanjian Penyelesaian itu juga menyebabkan uang retensi sebesar US$50,7 juta tidak kembali kepada Rekind. Mari lihat fakta argumennya kenapa itu tidak kembali.
Menurut Tempo, itu sebagai denda karena keterlambatan pengerjaan proyek oleh Rekind.
"Sebagai akibat dari perjanjian penyelesaian yang ditandatangani, Rekind telah menghapuskan sisa saldo tagihan bruto kepada PAU dengan offset terhadap provisi dengan jumlah yang sama." (Laporan Keuangan Pupuk Indonesia Triwulan 3 Tahun 2021).
"...PAU telah mengembalikan jumlah yang dicairkan sebagai obligasi kinerja EPC sebesar US$56 juta dan membayar US$2 juta sebagai jumlah penyelesaian akhir kepada Rekind. Pada tanggal 31 Desember 2020, kontrak EPC telah dihentikan." (Laporan Keuangan ESSA Triwulan 3 Tahun 2021, hal. 69).
Kejadian setelah perjanjian penyelesaian itu adalah restatement (penyajian kembali) dalam Laporan Keuangan Pupuk Indonesia tahun 2020 berupa perubahan laba dari Rp3,7 triliun pada 2019 menjadi Rp2,9 triliun pada 2020.
Poinnya adalah:
1. Jika penyebab arus kas Rekind negatif sehingga ia harus membayar denda akibat keterlambatan pengerjaan proyek atau penyebab lainnya seperti diuraikan ke BPK, tunjukkan siapa pihak yang bertanggung jawab dan telah dihukum secara pidana/perdata/administratif.
2. Jika masalah Rekind dan PAU ini bisa 'diselesaikan' melalui perjanjian penyelesaian yang mengesampingkan proses hukum (pidana dan arbitrase) berarti secara equal seluruh proyek di BUMN jika terjadi masalah (termasuk jika berpotensi merugikan negara) penyelesaiannya adalah dengan perjanjian yang mengesampingkan proses hukum untuk memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagai dasar. Mekanisme ini jangan berlaku hanya kepada perusahaan yang dimiliki oleh kakak Menteri BUMN. Itu tidak adil dan mengistimewakan bisnis keluarga dan kroni, namanya.
3. Jika Laporan Keuangan BUMN, apalagi Pupuk Indonesia adalah juga emiten obligasi, bisa diubah melalui penyajian kembali (restatement), dalam hal terjadi perselisihan maka berarti itu bisa dilakukan juga kepada seluruh BUMN. Jika hanya terjadi pada kasus BUMN yang berselisih dengan perusahaan kakak menteri, itu namanya tidak adil dan mengistimewakan bisnis keluarga dan kroni.
4. Penyelidikan justru perlu dilakukan terhadap peristiwa keluarnya perjanjian penyelesaian itu. Siapa pihak-pihak yang terlibat menginisiasi dan menyelesaikannya sampai tahap teknis. Peristiwa-peristiwa apa yang melingkupi keluarnya perjanjian itu. Apakah dalam prosesnya terjadi pelanggaran aturan, termasuk dugaan tipikor. Seperti apa notulensi dan pembahasan yang terjadi. Dokumen-dokumen apa yang menjadi dasar. Bagaimana peran Menteri BUMN sebagai pemegang saham negara dan kakaknya sebagai pengurus PAU (Presiden Komisaris) dalam peristiwa itu. Dan sebagainya. Itu wewenang aparat hukum, bukan saya.
5. Lantas, bagaimana urusan retensi US$50,7 juta (Rp790-an miliar) yang sekarang menjadi beban perusahaan negara itu? Uang itu tidak kembali dalam jumlah yang sama sampai hari ini. Padahal uang sebesar itu akan sangat bermanfaat jika dialokasikan untuk kepentingan masyarakat (petani).
6. Apakah Menteri BUMN dan kakaknya perlu diperiksa aparat hukum? Ya, iyalah!
Salam.
(fb penulis, 02/12/2021)