[PORTAL-ISLAM.ID] Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengatakan, hukum selama ini dikendalikan oligarki untuk melindungi kelompok kepentingan besar.
Sehingga kepentingan kelompok tersebut selalu dikompromikan, sementara hukum untuk masyarakat selalu ditekan.
“Makhluk ini akan tetap hidup dan cari untung terus. Masalah rakyat kecil memang diurus, tapi yang bikin pusing ini masalah konglomerat dan penyelenggara negara. Oligarki ini ada di pemerintahan di dalam dan di luar pemerintahan. Dan DPR sekarang kayak kantor cabang Presiden saja, UU apa saja diketok tanpa ada perdebatan panjang,” kata Margarito dalam Gelora Talk, di Jakarta, Rabu (29/12/2021) petang.
Selain itu, Margarito menilai juga Mahkamah Konstitusi sudah seperti ‘diskotik’ saja semua keputusannya bersifat final and binding bersifat mengikat dan tidak ada ruang hukum untuk mengujinya lagi.
Namun, di satu sisi MK membuat keputusan janggal soal UU Cipta Kerja dengan mendasarkan pada UU No.12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan, tidak menggunakan dasar legal standing dan bahwa UU yang di dalam Cipta Kerja sudah ada yang pernah diputuskan.
“Jadi kalau Gelora mau mengajukan lagi itu, clear. Ini tantangan buat Hakim Konstitusi. Dan pasal 7 UU Partai Politik, tegas diatur soal partai politik, yang memungkinkan Gelora mengajukan judicial review. Pembahasannya nanti tinggal soal, apakah Gelora sesuai dengan ketentuan tersebut. Ini peluang, kalau di luar itu ruwet, tinggal disiapkan dalil-dalil secara matang dan pengacaranya yang akan ditunjuk,” tegas Margarito.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta mengaku partainya bakal mengajukan judicial review ke MK terkait Presidentary Treshold, Parliamentary Treshold dan Pemisahan Pilpres-Pileg.
“Partai Gelora akan mengajukan tiga judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Presidentary Threshold dan Parliamentary Threshold (PT) nol persen, serta pemisahan Pilpres dan Pileg dalam satu waktu,” kata Anis.
Selain mengajukan judicial review ke MK, Partai Gelora juga akan mengusulkan pembubaran fraksi di DPR, sehingga membuka perdebatan yang panjang dalam membahas peraturan perundang-undangan atau perumusan legislasi.
“Nanti akan ketahuan, mana anggota DPR yang tidak pernah bicara sama sekali. Mereka tidak bisa sembunyi, di balik juru bicara, semua harus bicara. Tidak lagi diwakili fraksi sebagai juru bicara, sehingga ketika membahas UU perdebatannya panjang dan matang,” ujarnya. [sid]