MASYARAKAT SAKIT
Polri menindak tegas Bripda Randy Bagus, oknum anggota Polri, yang terlibat kasus bunuh diri Novia Widyasari melalui Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH).
Sebelumnya, Novia yang berstatus mahasiswi ditemukan bunuh diri di samping makam ayahnya di Mojokerto, Jawa Timur, karena hamil di luar nikah.
"Tindak tegas baik sidang kode etik untuk dilakukan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH)," kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo. [Republika, 5/12/2021]
Kasus ini viral di sosial media. Yang justru memprihatinkan adalah komentar para netizen. Mereka memberikan pembelaan tidak pada tempatnya. Anak-anak muda yang membaca akan bingung. Sebenarnya, mana yang benar dan mana yang salah?
Perzinahan yang menjadi awal permasalahan seakan “lenyap”. Saling tuding dan menyalahkan, tanpa keinginan untuk mengambil ibroh atau pelajaran dari kejadian ini.
Kasus Novia seharusnya tidak terjadi seandainya masyarakat tidak makin permisif. Ketika semua orang membiarkan kemaksiatan merajalela di depan mata, maka tragedi kemanusiaan tinggal menunggu gilirannya.
Tak hanya di kota besar seperti Jakarta, namun juga di kota sekecil Mojokerto. Kota ini dinobatkan sebagai kota terkecil di Indonesia, karena luas wilayahnya yang hanya 16,47 kilometer persegi. Delapan kali lebih kecil dari Jakarta Selatan dan hanya 10 persen dari luas wilayah Kota Bandung.
Kasus bunuh diri mahasiswi ini pun terbaca gamblang di berbagai media. Seakan tak ada yang berpikir, pemberitaan yang masif akan menginspirasi mereka yang punya masalah yang sama. Apalagi pada anak-anak muda yang tak kuat imannya.
Sejarah mencatat, ada satu periode di mana penduduk Makkah berada di titik nadirnya. Segala kerusakan moral terjadi dan dibiarkan tanpa ada yang peduli. Periode yang terkenal dengan sebutan masa jahiliyah.
Begitu kacaunya kondisi saat itu, hingga bermacam bentuk perzinahan “dilegalkan” dalam ikatan pernikahan.
Seperti hadist yang diriwayatkan Ibunda Aisyah RA “Ketika diutus membawa kebenaran, Muhammad SAW membatalkan semua pernikahan jahiliyah itu kecuali pernikahan seperti yang dilakukan orang-orang sekarang.”
Pernikahan yang telah dilarang syariat itu adalah pernikahan al-istibdhâ‘, pernikahan al-rahth, dan pernikahan al-râyah. Seperti yang ditulis Imam Mawardi dalam kitabnya “Al-Hawi al-Kabir”.
Pernikahan al-istibdhâ‘ adalah seorang suami yang meminta istrinya untuk pergi ke laki-laki terhormat dan minta dicampuri.
Suaminya tak akan menyentuh istrinya sampai si istri hamil dengan laki-laki tersebut dan mendapatkan keturunan yang dianggapnya membawa kehormatan keluarga.
Pernikahan berikutnya adalah pernikahan al-rahth. Seorang perempuan “menikah” dengan kurang dari 10 laki-laki.
Bila terjadi kehamilan, ia akan “menunjuk” siapa yang menjadi ayah bayinya dan tidak ada yang boleh menolak keputusan itu.
Lalu pernikahan al-râyah adalah yang paling “parah”. Perempuan jahiliyah akan menancapkan semacam bendera di depan rumahnya. Itu adalah “kode” untuk siapa saja yang mau datang padanya.
Bila terjadi kehamilan, ia akan meminta seorang Qa’if (semacam orang pintar yang dianggap punya “keahlian” mengamati tanda-tanda bayi itu keturunan siapa). Siapapun laki-laki yang ditunjuk Sang Qa’if menjadi bapaknya, tidak boleh menolak.
Naudzubillah min dzalik.
Pernikahan sah seperti syariat saat ini adalah pernikahan al-wilâdah. Seorang pemuda mendatangi wali si gadis, melamar, dan menyerahkan mahar. Pernikahan ini bertujuan untuk mendapatkan keturunan.
Dalam sebuah hadist, Rasulullah SAW menyebutkan, “Aku dilahirkan dari sebuah pernikahan (yang dibenarkan), bukan dari perzinahan.”
Cahaya terang itu telah dihantarkan pada manusia 1500 tahun lalu. Mengeluarkan manusia dari belenggu kegelapan dan kebodohan. Apakah hari ini kita akan menggantang asap pekat yang membawa manusia kembali ke masa kejahiliyahan?
Jakarta, 6/12/2021
(Uttiek M Panji Astuti)