Hidayah orang Kiri
Ini kisah nyata. Di Indonesia. Tentang seorang ilmuwan yang luar biasa hebatnya. Diakui dunia. Sebagai pakar terhebat di bidangnya.
Diceritakan langsung oleh muridnya. Seorang pakar Fisika, pada saya.
Sang profesor hebat karena cerdas luar biasa. Kalau orang lain cukup paham isi buku diktat. Ia malah menghafalnya kata perkata.
Bicaranya gagah. Posturnya gagah. Gerak geriknya gagah. Segala sesuatu tentang profesor ini adalah jati diri seorang pria.
Sikapnya gagah. Ia tak pernah mau tunduk pada siapapun. Bahkan atasannya sendiri. Yang pejabat teramat tinggi di republik ini.
Tapi sebaliknya. Iapun menuntut semua orang untuk tidak merendahkan diri padanya. Ia benci laku membungkuk ala kesopanan Jawa. Padahal ia sendiri Jawa tulen.
Ia orang kiri sejati. Bacaan dan keyakinannya pada Marxisme terpaku dalam. Ideologi pembebasan. Perlawanan pada segala sistem yang merendahkan manusia. Agama baginya bukan soal penting. Beragama atau tidak. Yang paling penting adalah keadilan dan berbuat baik.
Meski KTP Islam, seumur hidupnya belum pernah shalat. Ibadah lain jangan ditanya. Baginya beramal hanya sebatas kepada sesama manusia.
Tapi ia tidak membenci Islam dan pemeluknya.
Siapapun muridnya boleh berpakaian apapun. Termasuk jilbab lebar. Atau jenggot lebat. Atau celana diatas mata kaki.
Ia tidak pernah menjegal mereka sebatas karena tampilan dzahir. Bahkan berkali-kali ia membela siapapun yang menurutnya benar dan pantas dibela.
Jiwanya bebas. Objektif. Fair. Terbuka. Siap bertarung membela siapapun, melawan siapapun. Baginya keadilan adalah harga mati.
Lewat 75 tahun usianya. Masih naik gunung. Tidak mau terlihat letih apalagi lemah. Baginya usia sebatas angka. Nilai yang sebenarnya terkandung dalam jiwa yang riang gembira dan bebas merdeka.
Pada akhirnya, tak ada bunga yang tak gugur. Tak ada badai yang terus perkasa. Ia tiba di penghujung kekuatannya. Allah uji fisiknya dengan stroke. Mulut yang biasanya lantang menggema, kini harus kembali belajar mengeja kata.
Tubuh yang biasa bergerak lincah kesana kemari, kini harus terduduk terpuruk di kursi roda. Kembali belajar bahkan untuk sekedar menggerakkan kaki.
Allah cabut semua yang ada ada pada dirinya. Ibarat hardisk. Allah format seluruhnya. Dia beri hambaNya itu keadaan semula saat lahir. Seperti keadaannya waktu dulu lemah tak berdaya.
Tapi Allah juga Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dia Maha Tahu apa yang tersimpan dalam dada.
Profesor yang hebat ini tidak Dia hukum dengan akhir yang buruk (su'ul khatimah).
Bahkan sebaliknya.
Melalui seorang terapis, Allah bimbing sang profesor kembali pada fitrahnya. Menjadi seorang muslim yang kaffah. Kuasa Allah. Kalimat pertama yang diajarkan sang terapis adalah Syahadat.
Dari segala perbendaharaan kata yang ada di dunia ini, Allah ilhamkan pada sang terapis untuk menyuntikkan اشهد ان لا اله الا الله و اشهد محمد عبده و رسوله sebagai kalimat yang paling mula sekali mengisi otak dan jiwanya.
Dengan bibir bergetar. Wajah yang lemah. Dan tubuh kaku diatas ranjang, Sang profesor mengucapnya beratus kali.
Masih tertatih. Tapi masih terus terucap. Satu kata demi satu kata. Terus begitu.
Belum cukup. Kembali Allah beri ilham sang pelatih (terapis). Untuk mengajarinya gerakan Shalat.
Entah ia sudah lupa atau masih ingat. Yang jelas itu adalah shalat pertamanya mungkin setelah puluhan tahun.
Tubuh yang dulu gagah. Akal yang dulu cemerlang. Suara yang dulu lantang. Kini tak ada artinya.
Hanya mampu belajar mengucap dua kalimat Syahadat. Shalat dengan tertatih. Dan bergetar setiap kali bicara.
Allah Maha Baik. Dia isi hari-hari sang profesor dengan kebaikan. Dia instal ulang jiwa dan pikirannya.
Dua kalimat yang ia pelajari (Syahadatain). Gerakan-gerakan sederhana yang ia latih (Shalat). Hal yang teramat sedikit itu semuanya adalah tentang kebaikan. Dua inti agama yang nanti akan Allah tagih di akhirat. Mengalahkan segala kehebatannya ketika dulu masih tenggelam dalam ketidak yakinan tentang eksistensi Tuhan.
Ketika akhirnya kemarin meninggalkan dunia ini, Sang Profesor dalam keadaan fitrah. Sebagai muslim. Yang bersyahadat. Dan menunaikan shalat.
Ia memang jauh dari Allah. Tapi ia tak pernah memusuhiNya. Ia tak pernah memusuhi para penyembahNya. Bahkan sering membela mereka atas nama keadilan.
Maka Allah pun tak memusuhinya. Dan memberi keadilan padanya. Dengan menarik nyawanya dalam kebaikan.
Semoga Allah merahmati sang profesor.
Semoga kisah hidupnya menjadi pelajaran bagi siapapun. Betapa memusuhi Allah dan para penyembahnya adalah kesalahan paling besar. Yang Alhamdulillah tidak ia lakukan.
Selamat jalan profesor.
_____
*dari fb Fathi Nasrullah (20/12/2021)