[PORTAL-ISLAM.ID] Mahkamah Konstitusi (MK) pernah mengadili 13 gugatan terkait presidential threshold namun semuanya kandas. Kini sejumlah nama kembali menggugat ambang batas pencapresan (presidential threshold) agar menjadi 0% sehingga setiap parpol bisa mengusung calon presiden.
Kini sejumlah nama yang menggugat itu di antaranya Ferry Joko Yuliantono yang juga Wakil Ketua Umum Partai Gerindra. Ada juga mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan dua anggota DPD Fachrul Razi asal Aceh dan Bustami Zainudin asal Lampung. Pasal 222 yang diminta dihapus, yaitu:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Harapannya, bila Pasal 222 itu dihapus, semua parpol bisa mengusung capres.
Tapi selidik punya selidik, dari 13 putusan itu, terdapat 2 hakim konstitusi yang berpikiran sebaliknya. Yaitu hakim konstitusi Saldi Isra dan Suhartoyo. Pendapat itu tertuang dalam putusan Nomor 53/PUU-XV/2017. Duduk sebagai pemohon adalah Rhoma Irama selaku Ketum Partai Islam Damai Aman (Idaman).
Berikut ini pertimbangan keduanya yang dirangkum detikcom, Jumat (17/12/2021):
1. Membelokkan Teks Konstitusi
Mahkamah Konstitusi harusnya melakukan peran dan fungsi konstitusionalnya mengoreksi atau melakukan review terhadap substansi undang-undang sekalipun ketika perubahan UUD 1945 (1999-2002) muncul semangat untuk menyederhanakan partai politik demi menopang sistem pemerintahan presidensial. Terkait dengan semangat tersebut, Mahkamah Konstitusi seharusnya menempatkan atau lebih memberikan prioritas pada pemenuhan hak konstitusional (constitutional rights) dari partai politik peserta pemilu dibandingkan dengan pemenuhan atas penilaian bahwa desain konstitusi (constitutional design atau constitutional engineering) menghendaki penyederhanaan jumlah partai politik peserta pemilu.
Secara tekstual, hak konstitusional partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan calon presiden (dan wakil presiden) diatur secara eksplisit dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Berbeda dengan hak konstitusional partai politik peserta pemilu, pandangan terkait design penyederhanaan partai politik tidak diatur dan lebih berada dalam wilayah pemaknaan atau tafsir.
Padahal, dengan mendalami teori konstitusi, telah menjadi pengetahuan atau pemahaman umum, dalam hal teks konstitusi mengatur secara eksplisit atau tegas (expresis verbis) tertutup celah untuk menafsirkan secara berbeda dari teks yang ditulis konstitusi. Dalam hal ini, sebagai lembaga yang roh pembentukannya adalah menjaga dan sekaligus melindungi hak konstitusional warga negara (termasuk di dalamnya hak konstitusional partai politik peserta pemilu), bilamana pembentuk undang-undang membelokkan atau menggeser teks konstitusi adalah menjadi kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi untuk meluruskan dan sekaligus mengembalikannya kepada teks konstitusi sebagai mana mestinya.
Dengan demikian, sulit diterima penalaran yang wajar apabila Mahkamah Konstitusi lebih memilih untuk memberikan prioritas dan mendahulukan tafsir design penyederhanaan partai politik yang sama sekali tidak diatur dalam UUD 1945 dibandingkan dengan pemenuhan hak konstitusional partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan calon presiden (dan wakil presiden) yang diatur eksplisit dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
2. Merusak Logika Sistem Pemerintahan Presidensial
Tambah lagi, apabila diletakkan dalam disain sistem pemerintahan, mempergunakan hasil pemilu anggota legislatif sebagai persyaratan dalam mengisi posisi eksekutif tertinggi (chief executive atau presiden) jelas merusak logika sistem pemerintahan presidensial. Dalam sistem presidensial, melalui pemilu langsung, mandat rakyat diberikan secara terpisah masing-masing kepada pemegang kekuasaan legislatif dan kepada pemegang kekuasaan eksekutif (presiden).
Karena sama-sama berasal dari pemilihan langsung, mandat yang diberikan kepada pemegang kekuasaan legislatif belum tentu sama, bahkan sejumlah fakta empirik membuktikan acapkali berbeda, dengan mandat yang diberikan kepada pemegang kekuasaan eksekutif. Menggunakan hasil pemilu legislatif guna mengisi posisi pemegang kekuasaan eksekutif merupakan logika dalam pengisian posisi pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dalam sistem parlementer.
Artinya, dengan logika sistem pemerintahan, mempertahankan ambang batas (presidential threshold) dalam proses pengisian jabatan eksekutif tertinggi jelas memaksakan sebagian logika pengisian jabatan eksekutif dalam sistem parlementer ke dalam sistem presidensial. Padahal salah satu gagasan sentral di balik perubahan UUD 1945 adalah untuk memurnikan (purifikasi) sistem pemerintahan presidensial Indonesia.
3. Amerika Serikat Tidak Mengenal Presidential Threshold
Pertanyaan elementer yang niscaya diajukan: mengapa ambang batas pengajuan calon presiden (dan wakil presiden) dipertahankan ketika keberadaannya menyimpang dari logika sistem presidensial? Bahkan studi komparasi menunjukkan, misalnya Amerika Serikat, negara yang selalu menjadi rujukan utama praktik sistem pemerintahan presidensial sama sekali tidak mengenal aturan ambang batas dalam pengusulan calon presiden (dan wakil presiden).
Bahkan hasil studi Djayadi Hanan (2017) menunjukkan negara-negara di Amerika Latin, yang kebanyakan menganut model sistem pemerintahan presidensial dengan sistem kepartaian majemuk, seperti Indonesia, tidak mengenal presidential threshold dalam mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden.
Bahwa logika lain yang selalu dikembangkan, ambang batas pengajuan calon presiden (dan wakil presiden) diperlukan untuk menjaga stabilitas pemerintah dalam membangun hubungan dengan lembaga legislatif. Pendukung logika ini percaya, bila presiden didukung oleh kekuatan signifikan partai politik lembaga perwakilan, akan lebih mudah mendapat dukungan di lembaga perwakilan. Pandangan demikian hadir disebabkan praktik sistem presidensial lebih banyak ditandai dengan masalah dasar, yaitu bagaimana mengelola relasi antara presiden dan pemegang kekuasaan legislatif.
Jamak dipahami karena sama-sama mendapat mandat langsung rakyat, praktik sistem presidensial acap kali terjebak dalam ketegangan hubungan antara eksekutif dan legislatif. Praktik demikian sering terjadi jika kekuatan partai politik mayoritas di lembaga legislatif berbeda dengan partai politik (pendukung) presiden. Sementara itu, jika partai politik mayoritas di legislatif sama dengan partai politik presiden atau mayoritas partai politik legislatif mendukung presiden, praktik sistem presidensial mudah terperangkap menjadi pemerintahan otoriter.
Secara doktriner dipahami, sistem pemerintahan presidensial berayun antara dua pendulum, di satu sisi pemerintahan yang tidak stabil, sementara di sisi lain mudah terperangkap ke dalam praktik pemerintahan otoriter. Kondisi dilematis ini dikenal sebagai paradox of presidential power.
4. Bukan Open Public Policy, Jauh dari Rasa Adil
Apakah frasa tersebut dapat dibenarkan sebagai sebuah open legal policy? Kebijakan hukum terbuka adalah sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang tidak melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable. Memaknai moralitas dalam perumusan norma hukum dapat dilacak dengan alat ukur yang sangat sederhana, yaitu seberapa besar pembentuk undang-undang memiliki impitan kepentingan (conflict of interest) dengan norma atau undang-undang itu sendiri.
Bagaimana mungkin menilai kehadiran norma Pasal 222 UU Pemilu jika ia sengaja dirancang untuk menguntungkan kekuatan-kekuatan politik yang menyusun norma itu sendiri, dan di sisi lain merugikan secara nyata kekuatan politik yang tidak ikut dalam merumuskan norma Pasal 222 UU Pemilu tersebut. Sementara itu, rasionalitas adalah menggunakan dasar argumentasi untuk menemukan kebenaran.
Dalam hal ini, bagaimana mungkin menerima rasionalitas di balik penyusunan norma Pasal 222 UU Pemilu ketika hasil Pemilu DPR 2014 dipakai atau digunakan sebagai dasar untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden Pemilu 2019.
5. Merusak Rasionalitas dan Daulat Rakyat
Tidak hanya itu, pemberlakuan tersebut jelas-jelas merusak rasionalitas dan makna daulat rakyat dalam kontestasi pemilu. Begitu pula ketidakadilan yang intolerable, tanpa perlu menjelaskan lebih filosofis dan teori-teori yang rumit, Pasal 222 UU Pemilu secara terang-benderang merugikan dan amat jauh dari rasa adil bagi partai politik peserta Pemilu 2019 yang tidak diberikan kesempatan mengajukan calon presiden (dan wakil presiden) karena tidak memiliki kursi atau suara dalam Pemilu 2014.
Bahwa menggunakan hasil pemilu anggota DPR pada pemilu sebelumnya sebagai dasar penentuan hak partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan pasangan calon Presiden (dan wakil presiden) adalah tidak adil.
6. Dinamika Politik Amat Mungkin Berubah Secara Drastis
Bahwa pertanyaan lain yang tidak kalah mendasarnya dapat diajukan terkait dengan frasa 'pemilu anggota DPR sebelumnya' dalam Pasal 222 UU Pemilu: apakah dukungan 'kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pemilu anggota DPR sebelumnya' bisa menjadi jawaban untuk membangun stabilitas pemerintahan? Pada titik inilah sesungguhnya muncul masalah hukum dan sekaligus masalah politik yang sangat mendasar.
Dengan menggunakan hasil Pemilu anggota DPR 2014 sebagai ambang batas mengajukan calon presiden (dan wakil presiden Pemilu 2019), bagaimana memastikan bahwa partai politik peserta Pemilu Legislatif 2019 yang berasal dari partai politik hasil Pemilu 2014 tetap mampu memiliki kursi atau suara sah secara nasional paling tidak sama dengan capaian jumlah kursi atau suara sah secara nasional pada Pemilu 2014?
Bagaimana jika kursi atau suara sah secara nasional yang diraih dalam Pemilu 2019 lebih rendah dibanding Pemilu 2014?
Atau, bagaimana jika partai politik yang mengajukan calon presiden (dan wakil presiden) dengan menggunakan hasil Pemilu 2014 tidak bisa memenuhi ambang batas (parliamentary threshold) 4 persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR sebagaimana diatur Pasal 414 UU Pemilu?
Bahkan, yang jauh lebih tragis, bagaimana pula jika partai politik peserta Pemilu DPR 2014 yang mengajukan calon presiden (dan wakil presiden) dalam Pemilu 2019 tetapi gagal menjadi peserta Pemilu 2019 karena tidak lolos verifikasi faktual untuk memenuhi persyaratan sebagai peserta Pemilu dalam Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu?
Rangkaian pertanyaan tersebut sangat mudah mematahkan cara pandang bahwa ambang batas (presidential threshold) yang berasal dari hasil Pemilu anggota DPR sebelumnya dimaksudkan untuk membangun stabilitas pemerintahan. Argumentasi tersebut semakin sulit dipertahankan dengan menggunakan hasil Pemilu Anggota DPR 2014 karena dinamika politik dari satu periode pemilu ke pemilu periode berikutnya amat mungkin berubah secara drastis.
Bagaimana mungkin argumentasi untuk membangun stabilitas tersebut dapat dibenarkan jika peluang partai politik peraih kursi atau suara sah tidak bisa dijamin untuk dapat bertahan di DPR?
Selain itu, bentangan empirik yang terjadi sepanjang praktik sistem pemerintahan presidensial multipartai sejak pemilihan presiden langsung 2004, dukungan partai politik (dalam bangunan koalisi) kepada presiden lebih merupakan atau lebih banyak dukungan semu. Biasanya, makin dekat penyelenggaraan pemilu, partai politik yang tergabung dalam koalisi kian merasa tidak terikat dengan koalisi yang dibangun di awal masa pemerintahan.
7. Mengamputasi Pilihan Rakyat
Penggunaan ambang batas untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden potensial mengamputasi salah satu fungsi partai politik, yaitu menyediakan dan menyeleksi calon pemimpin masa depan. Disadari atau tidak, dengan rezim presidential threshold, masyarakat tidak memiliki kesempatan luas untuk mengetahui dan menilai calon-calon pemimpin bangsa yang dihasilkan partai politik peserta pemilu.
Dengan rezim presidential threshold, masyarakat tidak memiliki kesempatan luas untuk mengetahui dan menilai calon-calon pemimpin bangsa
Saldi Isra-Suhartoyo
Dengan membuka kesempatan kepada semua partai politik peserta pemilu mengajukan pasangan calon presiden (dan wakil presiden), masyarakat dapat melihat ketersediaan calon pemimpin bagi masa depan. Selain itu, masyarakat disediakan pilihan yang beragam untuk calon pemimpin tertinggi di jajaran eksekutif. Yang tidak kalah penting, melihat situasi terakhir, terutama pasca-pemilu presiden (dan wakil presiden 2014), menghapus ambang batas, maka calon presiden (dan wakil presiden) berpotensi lebih banyak dibanding Pemilu 2014. Dengan jumlah calon yang lebih banyak dan beragam, pembelahan dan ketegangan yang terjadi di tengah masyarakat dapat dikurangi dengan tersedianya banyak pilihan dalam pemilu presiden (dan wakil presiden) 2019.
Di atas itu semua, penyelenggaraan pemilu Presiden (dan Wakil Presiden) serentak dengan pemilu DPR, pembentuk undang-undang telah kehilangan dasar argumentasi konstitusional untuk terus mempertahankan rezim ambang batas (presidential threshold) yang telah dipraktikkan sejak Pemilu 2004. Bagi Mahkamah Konstitusi sendiri, sebagai lembaga yang roh pembentukannya adalah dimaksudkan untuk melindungi hak konstitusional warga negara, dengan penggabungan penyelenggaraan pemilu presiden (dan wakil presiden) dengan pemilu anggota legislatif (DPR), Mahkamah Konstitusi harus pula meninggalkan pandangan yang selama ini membenarkan rezim ambang batas.
Namun pendapat Saldi dan Suhartoyo kalah dengan 7 hakim konstitusi lainnya, yaitu Arief Hidayat, Anwar Usman, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Manahan MP Sitompul, Maria Farida Indrati, dan Wahiduddin Adams. Akhirnya hingga kini presidential threshold tetap berlaku.[detik]