Hadiah Natal
Oleh: Dahlan Iskan
”Rumah Anda berapa jauh dari SMA Oxford yang menghebohkan itu?” tanya saya kepada seorang warga Indonesia di Michigan, Amerika Serikat.
”Saya satu kecamatan di situ. Anak saya juga pernah sekolah di SMA itu,” jawabnya.
Awalnya saya tidak ingin menulis soal siswa kelas 2 SMA yang menembaki teman-teman sekolahnya di Oakland, Michigan, pada 30 November lalu itu. Memang empat siswa yang sampai meninggal dan 7 orang terluka --satu di antaranya guru-- tapi Anda semua sudah tahu itu.
Tapi kok peristiwa ini kian menarik. Polisi sampai menjadikan orang tua pelaku sebagai tersangka. Suami-istri: James dan Jennifer Crumbley.
Pelaku sendiri, meski baru berumur 15 tahun, sudah dipastikan akan diadili sebagai orang dewasa. Tidak akan ada pengadilan untuk remaja. Yang sidangnya tertutup. Yang nama dan fotonya tidak boleh dipublikasikan. Dan yang hukumannya berupa pembinaan.
Ethan Crumbley tidak akan diperlakukan sebagai remaja. Apa yang ia lakukan luar biasa kejamnya.
Sejauh ini belum terungkap apa motiv Ethan, menembaki teman-teman sekolahnya. Polisi masih fokus pada kajian ini: apakah orang tua Ethan layak jadi tersangka.
Jelas, pistol semi otomatis yang dipakai Ethan adalah milik orang tuanya. Yang baru dibeli 4 hari sebelumnya. Senjata itu disimpan di laci sebelah tempat tidur suami-istri itu. Memang begitulah kebiasaan orang Amerika. Punya simpanan senjata yang mudah diraih dari tempat tidur.
Yang membuat orang tua Ethan ikut menjadi tersangka adalah aktivitas di medsos mereka. Sang anak memosting senjata baru itu bersama sang ayah. Di situ sang anak mengatakan ”Saya baru saja mendapatkan si Cantik baru”. Sambil memamerkan senjata yang dijuluki Si Cantik itu. Disertai emoji berupa hati warna merah.
Setelah itu sang ibu mengajak Ethan ke tempat latihan menembak. Di situ sang ibu juga memosting senjata itu di medsos. ”Satu hari mama dan anak di lapangan tembak mencoba hadiah Natal”.
Ethan masuk sekolah seperti biasa. Tiga hari kemudian, saat di dalam kelas, Ethan membuka hand phone-nya. Sang guru memergoki apa yang dilakukan Ethan dengan HP-nya itu: mencari peluru untuk senjata baru itu.
Sang guru melapor ke pimpinan SMA Oxford di Oakland itu. Pimpinan sekolah menghubungi mama dan papa Ethan. Lewat email. Tapi tidak ada tanggapan.
Keesokan harinya Ethan masuk sekolah seperti biasa. Ia membawa tas di belakang punggungnya. Ethan langsung menuju toilet. Lalu masuk kelas tanpa membawa tasnya itu.
Di kelas Ethan terlihat menggambar. Ada gambar pistol semi otomatis. Ada peluru-peluru. Terlihat satu siswa tergeletak terkena dua tembakan. Banyak darah tumpah di gambar itu.
Di tengah gambar itu Ethan menulis kata-kata menarik. ”Pikiran tidak akan berubah, tolonglah saya”. Ada juga: ”Darah ada di mana-mana”. Lalu: ”Hidup saya tidak berguna”. Ada lagi: ”Dunia sudah mati”.
Guru pun melapor ke pimpinan sekolah. Ethan dipanggil. Disuruh membawa gambar itu. Sampai di ruang pimpinan, gambar itu diperlihatkan. Tapi sudah dicoret-coret. Untuk menutupi tulisan-tulisan di situ. Agar tidak terbaca lagi.
Tapi sang guru sudah sempat merekam gambar aslinya. Ethan tidak bisa menghindar.
Ayah Ethan, James Crumbley dipanggil. Tidak terungkap apa yang dibicarakan di ruang pembinaan itu. James hanya mengatakan akan membawa anaknya untuk dikonsultasikan dalam 48 jam ke depan.
James pulang. Ethan kembali ke kelas.
Tengah hari adalah jam makan siang di sekolah itu. Ethan terlihat menuju toilet. Sendirian. Sesaat kemudian terdengar suara tembakan dari depan toilet. Satu siswa tewas.
Ethan lantas menuju lorong sekolah. Sambil terus menembakkan pistolnya. Para siswa lari masuk kelas. Beberapa siswa mencoba bersikap tenang: ditembak beneran. Di kepala. Atau di dada.
Total ada lebih 20 tembakan dilancarkan Ethan. Di magasinnya masih banyak peluru aktif. Siswa yang buru-buru masuk kelas langsung menutup pintu. Lalu mengganjal pintu dengan meja-meja. Mereka pun sembunyi di bawah meja. Begitulah latihan yang diberikan kepada siswa. Peristiwa penembakan di sekolah bukan barang baru di Amerika. Siswa pun dilatih untuk menghadapinya. Mereka menerapkan apa yang pernah dilatihkan.
Dalam dua menit polisi tiba di sekolah itu. Ethan menyerah. Tanpa terjadi tembak-menembak. Ethan menuruti perintah polisi untuk melemparkan senjatanya.
Seketika itu juga berita tersiar luas. Ayah Ethan, tahu semua itu dari berita media. Demikian juga mama Ethan, Jennifer.
Agak lama kemudian James, ayah Ethan, menghubungi 911. Ia mengatakan kemungkinan besar pelaku peristiwa itu anaknya. Senjata yang ia simpan di laci tidak ada.
Jennifer, sang mama, langsung mengirim WA ke HP anaknyi itu. ”Mama tidak marah kepada kamu. Tapi carilah cara agar tidak ketahuan,” tulisnyi. Tentu pesan itu tidak sempat terbaca oleh sang anak. Polisilah yang membacanya. Pukul 13.20 Jennifer kirim WA lagi: ”jangan lakukan itu”. Mungkin kalimat seperti itu sengaja dibuat seperti itu agar terlihat sang mama sudah berusaha mencegah.
Tapi pada jam seperti itu penembakan sudah lama berlalu. Ethan sudah berada di tangan polisi.
Hari ketiga setelah menembakan, mulailah polisi mengaitkan dengan orang tua Ethan. Mulai ada indikasi bisa saja papa-mama Ethan ikut jadi tersangka.
Di hari keempat polisi memastikan James dan Jennifer jadi tersangka. Polisi pun mendatangi rumah mereka: akan dibawa ke kantor polisi.
Yang dicari tidak ada. Mereka pergi mengendarai mobil Kia entah ke mana. Polisi mulai menyebar informasi mengenai pelarian itu.
Dua pengacara menghubungi polisi. Mereka bukan kabur. Tapi takut pada keselamatan diri mereka. ”Mungkin mereka panik. Mungkin ingin cari seseorang yang bisa dimintai pendapat,” ujar sang pengacara, seperti dimuat di media di Detroit --kota terbesar di Michigan.
Lokasi SMA itu memang berada di pinggir kota besar Detroit. Yakni pinggir barat laut. Masuk administrasi Oakland. Berpenduduk 1,2 juta.
Oakland dihuni banyak kelas mampu. Yang ekonomi mereka terkait dengan industri mobil. Detroit adalah pusat industri mobil Amerika.
Sebanyak 70 persen penduduk Oakland berkulit putih. Saya beberapa kali ke Michigan. Sempat juga jalan-jalan di pinggir lautnya. Dari sini bisa terlihat jelas salah satu kota di Kanada. Cahaya lampu dari Kanada itu memantul sampai di air depan tempat saya duduk. Detroit hanya dipisahkan sejengkal air laut dari kota kecil di Kanada itu.
Polisi pun mewaspadai kemungkinan itu: James dan Jennifer kabur ke Kanada.
Malam itu seseorang lantas menghubungi polisi: melihat ada mobil Kia yang dimaksud. Terlihat juga Jennifer lagi keluar dari mobil. Lokasi mobil itu: di sebuah pusat bisnis di Detroit.
Polisi pun --yang sudah telanjur mengumumkan hadiah 10.000 dolar bagi pemberi info akurat-- menangkap James dan Jennifer. Kemarin sore WIB.
Polisi juga menemukan keanehan di HP Ethan. Ternyata Ethan menyimpan rekaman khusus di HP itu. Bahwa ia akan melakukan penembakan di sekolahnya itu. Di malam sebelum penembakan.
Semuanya sudah direncanakan. Semuanya sudah terlambat.
(Disway)