Anies Baswedan, Sang Solidarity Maker
Oleh: Smith Alhadar
Gabungan karakter solidarity maker dan karakter administrator merupakan pemimpin yang sangat diperlukan Indonesia saat ini ketika secara politik masyarakat terbelah secara tajam dan persoalan-persoalan bangsa yang njelimet perlu penanganan secara cepat tepat, dan terukur.
Ke depan, menghadapi tantangan berat di segala bidang, yang diperparah pandemi Covid-19, Indonesia membutuhkan pemimpin yang tidak biasa, pemimpin yang mampu menciptakan harmoni dan solidaritas sosial semua warga untuk bersama-sama membangun bangsa. Tanpa persatuan dan kebersamaan seluruh rakyat, sulit bagi Indonesia untuk memulihkan diri dari luka-luka yang diperparah oleh korona.
Selain dampak ekonomi yang meningkatkan kemiskinan, pengangguran, dan masalah sosial lainnya, indeks demokrasi dan pembangunan manusia pun merosot. Sementara korupsi makin menggila. Lebih daripada itu, masyarakat kita terbelah ke dalam dua kubu politik yang sulit didamaikan.
Represi pemerintah terhadap para tokoh pendukung populisme Islam kian mempertajam keterbelahan itu. Bila perseteruan kelompok pendukung populisme Islam dan penentangnya dilestarikan, maka akan semakin berat langkah Indonesia ke depan dalam menangani isu-isu serius yang disebutkan di atas.
Menurut hasil survey LSM Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada Februari 2020, jumlah pendukung populisme Islam adalah 16,3 persen. Penentang populisme Islam sebesar 33,9 persen, dan yang netral tak kurang dari 49,8 persen (Media Indonesia, 23 Desember 2021).
Dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019, suara kubu pendukung populisme Islam diberikan kepada Calon Presiden (Capres) Prabowo Subianto dan pasangannya. Pada Pilpres 2014, Anies Baswedan berada di kubu Capres-Cawapres Jokowi-Jusuf Kalla yang didukung kelompok penentang kubu populisme Islam.
Namun, pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017, diduga Anies didukung kubu populisme Islam. Dalam Pilpres 2019, Anies mengambil posisi netral. Dus, menimbang posisi politik Anies dalam Pilpres 2014, Pilgub 2017, dan Pilpres 2019, tidak salah kalau kita menempatkan Anies pada posisi netral, yang merupakan mayoritas sikap politik rakyat Indonesia (49,8%).
Hipotesa di atas didukung fakta bahwa selaku gubernur DKI, Anies melayani semua kepentingan komunitas agama secara adil sehingga para pemimpin agama minoritas memberi apresiasi pada apa yang telah mereka rasakan dari kebijakan gubernur mereka. Memang sejak Indonesia merdeka hingga kini belum pernah komunitas agama minoritas mendapat perlakuan demikian terhormat oleh gubernur DKI melebihi apa yang dilakukan Anies.
Hebatnya, tak ada iri hati dari kaum muslim Jakarta terhadap simpati Anies pada non-muslim. Sebaliknya, hubungan antarumat beragama di Jakarta semakin harmonis. Tak heran, Anies diganjar Harmony Award 2021 oleh Menteri Agama.
Penghargaan itu menunjukkan kesadaran tentang penting dan strategisnya hubungan harmonis antarumat beragama sebagai modal sosial dan budaya untuk meringankan langkah Indonesia memajukan bangsa. Penghargaan itu juga bertujuan mendorong kerja sama umat beragama di daerah lain ketika konflik antarumat beragama, bahkan di antara umat Islam sendiri, terus bereskalasi.
Melihat track record para bakal capres yang jadi perhatian publik akhir-akhir ini, terutama para kepala daerah, tidak ada yang menyamai Anies sebagai solidarity maker dalam konteks hubungan kelompok-kelompok primordial. Juga kelompok-kelompok sosial. Di Jakarta semua kelompok itu telah mendapatkan apa yang menjadi haknya secara proporsional.
Membangun struktur sosial yang dapat bekerja sama dan saling mengisi yang dinamis di kota seperti Jakarta yang plural di semua aspek sosial, ekonomi, budaya, dan politik tidaklah mudah. Jakarta adalah miniatur Indonesia yang menyimpan berbagai masalah sosial yang rumit. Apalagi, sebagai Ibu Kota negara — gerbang utama warga asing memasuki Indonesia– kerja gubernur DKI dalam menghadang masuknya penyakit itu lebih berat ketimbang gubernur daerah lain. Gagal menangani Covid-19 di Jakarta akan berdampak luas bagi seluruh warga Indonesia.
Anies berhasil membangun Jakarta dengan moto “Maju Kotanya, Bahagia Warganya” tak lepas dari pemahamannya yang baik tentang isu-isu sosial perkotaan yang terjalin erat dengan dinamika perkembangan dunia. Itu juga terlihat dari kemampuannya menangani Covid-19 ketika banyak pemimpin dunia gagal. Anies merespons cepat Covid-19 sejak awal penyakit ini jadi pandemi, bahkan lebih cepat daripada pemerintah pusat.
Metode-metode penanganannya pun kemudian diikuti oleh pemerintah pusat dan daerah lain. Dan ketika banyak masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia di berbagai daerah, berunjuk rasa menentang pembatasan sosial yang menganiaya kehidupan mereka, rakyat Jakarta justru tenang dan damai. Bukan karena masyarakatnya tak merasakan dampak buruk yang mereka hadapi, tapi karena mereka percaya pada kerja dan narasi optimisme yang dibangun Anies.
Solidarity maker adalah istilah yang diberikan kepada Bung Karno oleh seorang Indonesianist asing. Memang selaku presiden dari bangsa muda yang tercerai berai oleh ideologi, regionalisme, dan kelas sosial, Soekarno berhasil menyatukan semua anak bangsa di bawah satu bendera. Bahkan, sebelum Indonesia merdeka, Bung Karno adalah salah satu kontributor besar dalam membangun bangsa sehingga ia juga disebut sebagai nation builder.
Oleh Indonesianist yang sama, Mohammad Hatta diberi julukan sebagai administrator. Ya, ketika Soekarno sibuk dengan politik karena menganggap revolusi belum selesai, Hatta justru sibuk menangani ekonomi dan pemerintahan karena menganggap kesejahteraan dan ketenangan masyarakat, serta keteraturan pemerintahan, sebagai hal-hal yang esensial untuk kelangsungan hidup negara.
Sesungguhnya dalam diri Anies Baswedan terdapat dua karakter pendiri bangsa itu,Soekarno-Hatta, yaitu karakter solidarity maker dan administrator. Anies tak henti-hentinya membangun narasi tentang makna dari setiap kebijakan yang diambilnya dengan tujuan menciptakan kesamaan persepsi di kalangan warga Jakarta. Dengan begitu, warga Jakarta dapat mengalir dalam arus sungai yang sama menuju titik tujuan yang menyejahterakan.
Memang kesepahaman dalam visi tentang Jakarta ke depan yang nyaman, indah, adil, dan sejahtera bagi semua warganya-lah yang menggerakkan semua orang untuk bersatu dan bekerja sama. Tapi Anies tidak hanya jago dalam menyampaikan pikiran, dia juga administrator yang hebat. Dalam menilai kinerja pemerintahan daerah, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberi nilai WTK (Wajar Tanpa Kecuali) untuk Pemprov DKI secara berturut-turut sejak Anies menjadi gubernur pada 2017. Status ini belum pernah dicapai gubernur DKI mana pun sepanjang sejarahnya.
Saya tak akan menyebut prestasi-prestasi besar Anies yang lain, yang berhubungan dengan kinerja pemerintahan, karena sudah banyak ditulis orang. Yang ingin saya garis bawahi adalah bahwa gabungan karakter solidarity maker dan karakter administrator merupakan pemimpin yang sangat diperlukan Indonesia saat ini ketika secara politik masyarakat terbelah secara tajam dan persoalan-persoalan bangsa yang njelimet perlu penanganan secara cepat tepat, dan terukur.
Kalau keputusan KPU yang menetapkan pilpres dilangsungkan pada Februari 2024 diterima pemerintah, maka hajat nasional itu tinggal dua tahun lagi. Banyak kelompok kepentingan yang menyerbu masuk arena untuk mengamankan kepentingan mereka.
Kelompok kepentingan itu, di antaranya, adalah oligarki politik dan ekonomi. Caranya adalah memilih bakal capres yang akan diusung pada pilpres mendatang. Bakal capres-cawapres yang akan diusung bukan orang yang cakap, berprestasi, dan berintegritas, tapi mereka yang akan melayani kepentingan para oligark tersebut. Kepentingan mereka tidak identik dengan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara, melainkan kepentingan jangka pendek yang berhubungan dengan pengurasan kekayaan bangsa.
Dalam pilpres-pilpres sebelumnya sudah terbukti mereka mendukung dan membiayai capres-capres yang bertarung dengan imbalan proyek-proyek besar kalau terpilih nanti. Itulah sebabnya banyak beleid pemerintah yang jelas-jelas berpihak pada kaum oligark, tak peduli hal itu merugikan rakyat dan menyuburkan korupsi. Kalau budaya politik transaksional yang mahal ini diteruskan, bukan saja Indonesia kehilangan kesempatan untuk memulihkan diri dari berbagai masalah, tetapi juga semakin jauh membusukkan negara ini, bahkan berpotensi menciptakan instabilitas negara akibat memperkuat perpecahan masyarakat.
Kubu populisme Islam adalah mereka yang termarginalkan secara ekonomi dan karena itu menuntut perlakuan yang sama negara terhadap akses ekonomi bagi mereka. Berbeda dengan sosialisme yang menekankan perjuangan kelas sosial, populisme Islam memasukkan moral sebagai dasar penentangan mereka terhadap penguasa. Dus, mereka memposisikan diri sebagai mazluman (orang yang dizalimi) dan penzalim itu sendiri, yaitu rezim yang bekerja sama dengan kaum oligark dan pihak asing dengan mengabaikan aspirasi mereka.
Dalam konteks ini, kita memerlukan pemimpin yang jujur, adil, tegas, konsisten, dan berintegritas. Anies sudah memperlihatkan kualitas ini saat memimpin Jakarta. Proyek reklamasi belasan pulau di Teluk Jakarta bernilai 500 triliun rupiah milik para taipan dihentikan sesuai janji kampanye dengan mengabaikan rayuan suap para taipan dan melawan tekanan penguasa.
Yang juga luar biasa dari Anies adalah ia merangkul semua warga Jakarta, termasuk kaum minoritas etnis dan agama yang dalam Pilgub 2017 gigih mendukung Ahok. Anies tidak membedakan manusia berdasarkan latar etnis dan agama, tapi berkomitmen menegakkan keadilan bagi semua, tak peduli hal itu merugikan pihak yang kuat, yang menindas rakyat.
Tanpa kepribadian yang mengayomi semua warga tanpa kecuali tak mungkin Anies mampu membangun keharmonisan hidup di antara warga kotanya di tengah banyak masalah, termasuk pem-bully-an dari mereka yang membencinya tanpa pijakan moral yang kuat. Dus, terlihat Anies akan mampu menyatukan kembali bangsa yang terpecah bila terpilih jadi Presiden RI ke-8, sesuatu yang telah ia buktikan saat menyatukan warga Jakarta yang terbelah secara tajam selama kampanye pilgub.
Lebih daripada itu, ia akan memulihkan hak-hak seluruh rakyat yang terpinggirkan dan menegakkan keadilan juga bagi siapa pun, termasuk mereka yang kuat dan kaya, sepanjang mereka bermain dalam koridor hukum yang transparan. Kalau kita salah memilih dalam Pilpres 2024, sehingga terpilihnya orang yang tak punya karakter solidarity maker, apalagi memilih orang yang diusung kaum oligark busuk, maka setelah 2024 kita menghadapi masalah yang lebih berat, terutama masalah politik akibat terpeliharanya status quo, yaitu keterbelahan masyarakat. Bangsa yang terbelah mustahil dapat tumbuh sehat dan kuat.
*Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education/IDe
(KBA)