Teori Evolusi, Bagaimana Umat Islam Mesti Menyikapinya?
Oleh: Adi Nur
Tepat hari ini 162 tahun yg lalu Charles Darwin menerbitkan bukunya yang sangat terkenal tentang evolusi, On the Origin of the Species by Means of Natural Selection.
Segera setelah terbit buku itu mendapat tentangan dari kaum agamawan (kristen) karena isinya bertentangan dengan doktrin agama (kristen). Baru belakangan, otoritas keagamaan katolik membebaskan umatnya untuk menerima atau menolak teori evolusi. Meski begitu sebagian kalangan kristen hingga kini masih kukuh menolak teori evolusi dengan berpegang pada teori creationism, teori yang meyakini bahwa makhluk hidup tidak berevolusi melainkan diciptakan sebagaimana adanya sekarang, dan teori young earth, teori yang meyakini bahwa bumi baru berumur (kira-kira) 6000 tahun.
Bagaimana semestinya sikap umat Islam terhadap teori evolusi?
Ada 2 hal yang perlu diketahui agar umat Islam dapat memberi respon yang tepat terhadap teori evolusi.
Pertama. Dalam dunia sains, teori evolusi telah mendapat pijakan yang kokoh. Ia telah mendapat sokongan dari bidang ilmu lain seperti geologi, kimia, palaentologi dll.
Kekokohannya bisa disamakan dengan kekokohan teori atom dalam ilmu kimia atau teori gravitasi dalam fisika.
Selama lebih dari 160 tahun belum ada penjelasan ilmiah lain yang mampu menandingi atau mematahkan teori evolusi dalam menjelaskan fenomena wujudnya beragam spesies di bumi.
Penolakan atas teori evolusi oleh kalangan agamawan (kristen) telah terbukti berujung pada kekonyolan-kekonyolan.
Kedua. Ada tiga bentuk hubungan antara nash agama dan teori atau pendapat sains atas suatu fenomena alam:
1) Penjelasan fenomena alam yang belum dapat dipastikan kebenarannya secara ilmiah dan di sisi lain tidak ada nash agama yang pasti (qath'i dan sharih) tentang itu. Contohnya adalah fenomena keberadaan makhluk ekstra terestrial. Dalam kasus ini seseorang dibolehkan menerima atau menolak keberadaannya.
2) Penjelasan fenomena alam yang telah dapat dipastikan kebenarannya secara ilmiah dan di sisi lain tidak ada nash agama yang pasti (qath'i dan sharih) tentang itu. Contohnya adalah penjelasan bahwa bumi bulat. Tidak ada nash yang pasti tentang bentuk bumi sementara di sisi lain sains telah membuktikan bahwa bumi berbentuk bulat mirip bola. Dalam kasus ini pilihan terbaik adalah menerima tafsiran agama yang bersesuaian dengan sains.
3) Penjelasan fenomena alam yang telah dapat dipastikan kebenarannya secara ilmiah dan di sisi lain ada nash agama yang pasti (qath'i dan sharih) yang bertentangan dengan penjelasan ilmiah tentang fenomena itu itu. Contohnya adalah asal-usul manusia.
Teori evolusi mengatakan bahwa semua makhluk hidup (bakteri, tumbuhan, hewan dan termasuk manusia) berasal dari moyang yang sama. Jadi manusia dan kera berasal dari moyang yang sama. Ini disebut prinsip common ancestry. Sementara itu di sisi lain banyak nash qath'i baik ayat quran maupun hadits yang menyebutkan bahwa manusia berasal dari Adam AS. Bagaimana sikap kita? Dalam hal ini kita diharuskan memilih nash agama atas dasar tuntutan keimanan karena menolak nash yang qath'i berkonsekuensi kekafiran dan menafsirkan nash qath'i agar selaras dengan sains (saintism) adalah kesesatan.
Sejatinya tidak akan ada pertentangan antara fenomena alam dan nash karena keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Allah SWT.
Pertentangan sains dan nash terkait asal-usul manusia dapat direkonsiliasikan dengan jalan pengecualian.
Suatu teori bisa saja memiliki pengecualian seperti teori gravitasi yang tidak berlaku pada partikel sub atomik atau hukum Newton yang tidak berlaku pada benda dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya.
Jadi prinsip common ancestry bisa diterima dengan satu pengecualian yaitu asal-usul manusia.
Adapun prinsip-prinsip teori evolusi yang lain seperti deep time (bahwa evolusi telah berlangsung dalam waktu yang sangat lama yaitu selama milyaran tahun), speciation (pembentukan species baru lewat mutasi, genetic flow dan seleksi alam) boleh diterima karena tidak ada nash qath'i yang bertentangan dengan hal-hal itu.
Wallahu 'alam.