SALAH KITA
Oleh: Ustadz Abrar Rifai (Pengasuh Ponpes Babul Khairat Malang)
Ada yang ngirim video Menag RI ketika berbincang dengan pejabat Arab Saudi, menggunakan penerjemah. “Mas Abrar, yo opo iki Gus Menag kok gak iso bahasa Arab?” ia menyoal.
Tak ada syarat seorang menteri agama harus pandai berbahasa Arab. Tidak juga harus pandai baca Al Qur'an atau kitab-kitan suci lain dalam bahasa agama-agama yang diakui di Indonesia.
Pun, seorang menteri agama tidak harus rajin shalat. Apalagi sekedar gelar haji, gus atau kiai. No, no. Semua itu bukanlah syarat bagi seseorang untuk jadi menteri agama.
Sebab jadi menteri agama atau menteri apa saja, murni adalah hak prerogatif Presiden. Semisal Kementerian Pemberdayaan Perempuan sekalipun, mau ditunjuk seorang menteri laki-laki, ya suka-suka Pak Jokowi, dong.
Menteri adalah jabatan politik, bukan profesional. Bos angkutan online juga bisa jadi menteri pendidikan. Dengan segala kontroversi yang mengiringinya. Persetan dengan semua celoteh, asal Pak Jokowi senang, orang-orangnya juga puas.
Menteri pertanian juga tidak harus pandai menanam padi. Malah Ketua DPR yang sepertinya bakat jadi petani. Lihat aja videonya.
Seorang kawan pernah berujar, “Kabeh kuwi opo jare pemimpin!”
Ingat, serigala tak akan pernah mau dipimpin kancil. Buaya tak akan mau dipimpin iwak lele. Weddus gak gellem melok kebo. Kebo ra bakalan gellem manut babi. Begitulah seterusnya.
Kafaah atau kemampuan seseorang tidak harus linier dengan bidang yang diembannya. Seorang yang bertulang rapuh, disuruh memanggul beras dua kwintal. Mesti ambruk!
Ikan disuruh berenang di darat, mesti klepek-klepek. Kambing suruh berendam di sungai, mesti menjerit kedinginan. Kura-kura suruh berjalan cepat, mana bisa!
Maka, kalau terjadi ketidakpatutan, terjadi hal-hal yang tidak semestinya terjadi, atau bahkan kerusakan dan kekacauan, wajar saja. Sebab pos-pos itu dihuni oleh orang yang tidak tepat.
Semua berawal dari pos utama, yang kita percayakan kepada orang, duh ya Allaaaah! Kok iso?
Jadi, siapa yang salah? Kitaaa!
(fb)