[PORTAL-ISLAM.ID] Ekonom senior dan mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Dr. Rizal Ramli, mengaku mempunyai cetak biru (blueprint) untuk menyelesaikan krisis pada maskapai pelat merah Garuda Indonesia.
"Kami punya blueprint buat nyelamatin ini. Makanya saya tawarkan, gini deh, gua beresin Garuda, gua enggak mau jadi preskom (Presiden Komisaris), jadi apa-apa, ikuti solusi-solusi saya saja, saya yang melakukan negosiasi," kata Rizal dalam acara peluncuran buku "Rakyat Menampar Muka" karya M. Rizal Fadillah secara virtual.
Pria yang akrab disapa bang RR ini mengaku ucapannya bukan omong kosong karena sebelumnya sempat menyelesaikan persoalan Garuda Indonesia. Kala itu sekitar tahun 2000-an Garuda Indonesia tidak mampu membayar kredit sejumlah US$1,8 miliar.
"Kenapa saya berani katakan saya bisa beresin Garuda? Karena saya pernah menyelamatin Garuda tahun 2000-an, tahun 2001 Garuda punya kredit macet US$1,8 miliar enggak bisa bayar kepada konsorsium bank-bank Jerman dan Eropa," ungkapnya.
Pihak konsorsium pun mengultimatum akan menyita seluruh pesawat Garuda yang terbang ke luar negeri karena maskapai dengan kode penerbangan GIA ini tak kunjung membayar kredit atau utang. Rizal mengaku tak gentar dengan ancaman tersebut.
"Sayangnya mereka ngancem Rizal Ramli yang enggak bisa diacem. Saya bilang, silakan sita pesawat Garuda, silakan. Tetapi kami pemerintah Indonesia akan nuntut bank-bank Jerman ini di pengadilan Frankfrurt," ujarnya.
Rizal Ramli bersikap santai karena telah mengantongi bukti kuat bahwa konsorsium tersebut melakukan penggelembungan harga (mark up) hingga 50% ketika menjual atau menyewakan pesawat kepada Garuda Indonesia.
"Itu kalian [konsorsium] mark-up, sepakati mark up 50% sebagai sogokkan buat keluarga pejabat di Indonesia dan pejabat di Indonesia. Kalian dapat bunga dari selisih harga 50% itu, itu namanya kalian dapat bunga abuse interest, bunga yang enggak sah. Itu saya pasti dimenanggkan di pengadilan di Franfrurt," ujarnya.
Pernyataan tersebut, lanjut Rizal Ramli, membuat pihak kosorsium ketakutan dan melemah. Puluhan eksekutif dari bank-bank Eropa dan Jerman pun segera berangkat ke Indonesia untuk melakukan pembicaraan.
"Datang ke Jakarta pakai dasi, pakai jas minta negosiasi. Ketemu Rizal Ramli yang pada waktu itu dandanannya kayak Einstein, rambut awut-awutan, dandanan sembarangan. Ini orang bangkir-bangkir pakai jas rapi. Mereka bilang, Doktor Ramli, jangan kami ajukan di pengadilan, karena harga saham kami pasti jatuh," katanya menuturkan.
Bukan hanya itu, mereka juga menyampaikan bahwa bakal terkena denda yang sangat besar dan salah satu eksekutifnya bisa masuk penjara. "Ya saya bilang, itulah kalau kalian tetap ngotot tetap mau menyita pesawat. Ini kan terjadi karena dalam penjualan pesawat-pesawat dari leasing kepada Garuda, kalian setuju mark up untuk keluarga dan teman-temannya pejabat [Indonesia]," katanya.
Mereka pun kemudian menanyakan apa yang diinginkan Rizal Ramli selaku perwakilan pihak pemerintah Indonesia. Rizal Ramli lantas meminta agar dilakukan restrukturisasi kredit atau utang sehingga sustainable dan Garuda bisa mencicil utang.
"Dia bilang setuju restructuring pinjaman US$1,8 miliar ini tetapi pemerintah Indonesia harus menjamin senilai kredit macet US$1,8 miliar," katanya.
Rizal Ramli lantas menyampaikan, "Mohon maaf kalian tuh ngomong sama siapa? Kalian ngomong sama Doktor Rizal Ramli ya. Kalau pemerintah Indonesia bisa menyediakan jaminan US$1,8 miliar, kita enggak perlu kamu," tandasnya.
Rizal Ramli melanjutkan, pihaknya tinggal menelepon bangkir di Tokyo atau Hongkong untuk menjamin soal uang sejumlah US$1,8 miliar tersebut. Tetapi Indonesia akan tetap menuntut ke pengadilan di Frankfrurt.
"Dia ketakutan, bule-bule ini ketakutan. Akhirnya, 'Doktor Ramli what do you want?' Saya hanya mau teken guarantee, itu guarantee ecek-ecek US$100 juta atau 6% dari total guarantee US$1,8 miliar," katanya.
Selain itu, Rizal Ramli juga menginginkan indirect guarantee, atau pemerintah Indonesia tidak langsung sebagai pihak penjamin. Ini dihindari untuk menutup kemungkinan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
"Kalau langsung dari pemerintah Indonesia, kalau ada apa-apa, pemerintah Indonesia bisa dinyatakan default. Akhirnya mereka setuju, saya tandatangani guarantee US$100 juta lewat Bank Mandiri. Itulah Rizal Ramli menyelamatkan Garuda dari kebangkrutan tahun 2000-2001," ujarnya.
Hanya Satu Syaratnya
Rizal Ramli menyatakan, siap kembali menyelesaikan krisis Garuda saat ini tanpa imbalan atau mendapat jabatan apapun di maskapai pelat merah ini. Ia hanya mengajukan satu syarat yang harus dipenuhi.
"Syaratnya [presidential] treshold harus 0 supaya demokrasi kriminal ini kita hapus. Jadi demokrasi yang bersih dan amanah, sehingga pemimpin yang nongol nati, pemimpin yang punya visi, punya karakter, punya integritas, punya track record," tandasnya.
Dengan presidential treshold 0% di Pilpres, maka rakyat Indonesia bisa dapat pemimpin-pemimpin, baik presiden, gubernur, bupati maupun wali kota yang tidak bermotivasi untuk menggarong uang negara milik rakyat.
"Indonesia bisa rakyatnya makmur, bisa jadi jagoan di Asia Tenggara. Tetapi kan ini partai-partai brengsek, mereka menikmati uang haram ini, makanya mereka ngotot supaya ada treshold terus dengan alasan ini untuk penyederhanaan partai," katanya.
"Enggak penting kok, banyak negara demokrasi partainya 30, calon presidennya 30, toh 2 tahap, di tahap kedua tinggal dua, selesai masalah ya," kata dia menambahkan.
Menurutnya, jangan sok-sok mau nyontek Amerika karena sistemnya berbeda. Banyak negara di Eropa dan Asia yang calon presidennya berasal dari 40 partai. Kondisi tersebut bukan menjadi masalah. "Biaya juga kagak lebih mahal tetapi yang penting corruption itu kita hapus dari sistem politik Indonesia," ujarnya.
Biang Kerok Korupsi
Rizal Ramli mengungkapkan, mengajukan hanya satu syarat tersebut karena ketentuan ini menjadi biang persoalan korupsi para pemimpin di Indonesia akibat sistem yang buruk.
"Masalah kita, ada yaitu undang-undang treshold di mana kalau mau jadi bupati, gubernur, presiden harus bisa dapat dukungan 20% suara," katanya.
Biasanya, lanjut Rizal Ramli, untuk mencapai angka 20% ini membutuhkan koalisi sekitar 3 partai. Dalam praktiknya, partai-partai politik hanya tinggal disewa karena mereka membuat ketentuan, kandidat harus memberikan sejumlah upeti agar bisa diusung menjadi calon presiden ataupun kepala daerah.
"Misalnya untuk jadi wali kota perlu 20%, 3 partai masing-masing Rp10-20 miliar. Biaya partainya itu Rp60 miliar. Jadi gubernur Rp100-300 miliar, jadi presiden di atas Rp1 triliun," ucapnya.
Partai-partai tentu sangat senang dengan sistem treshold ini, lanjut Rizal Ramli, karena mereka bisa menerima upeti atau setoran tanpa mesti berbuat apa-apa. "Nah, inilah basis dari korupsi politik yang paling besar di Indonesia karena kebanyakan calon bupati, calon gubernur, calon presiden enggak punya uang, yang bayarin itu cukong-cukong, bandar-bandar," ujarnya.
MK Ikut Legalkan
Lebih ironis lagi, kata Rizal Ramnli, sistem demokrasi kriminal ini dilegalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Saya bingung, Mahkamah Konstitusi ini beneran Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Kekuasaan karena pada dasarnya, dia melegalisir sistem demokrasi kriminal," ujarnya.
Menurutnya, dalam UUD 1945 tidak ada ketentuan atau kewajiban soal treshold. UUD 1945 menyatakan, siapapun boleh mencalonkan diri asalkan mendapat dukungan dari partai yang lolos verifikasi.
"Tidak ada di Undang-Undang Dasar, saya inget sejarahnya kok, pada waktu itu batasannya cuman 5%. Kemudian pada PDIP pada waktu itu diblok, sehingga SBY enggak boleh, sehingga dinaikkanlah 20%," katanya.
Tetapi kemudian ternyata suara dukungan pada PDIP tidak mencapai 20%. Tepatnya, kata Rizal Ramli, hanya sebesar 17%, sehingga tidak bisa mengusung calon presiden sendirian. PDIP pun kemudian berkoalisi dengan Partai Gerindra.
"Jadi sebetulnya ide dahulu memperbesar atau meninggikan treshold bukan untuk menyederhanakan partai-partai, enggak ada itu. Idenya hanya ngeblok saja supaya orang enggak bisa maju," ujarnya pada Kamis (19/8).
Menurut Rizal Ramli, ini yang menjadi alasan sejarah atau historis seolah-olah dinaikkannya treshold tersebut untuk menyederhanakan jumlah partai politik (parpol). "Enggak ada gunanya kalau kecil tidak berpihak kepada rakyat, hanya berpihak kepada oligarki dan itu justru akan menaikkan tarif partai-partai yang lolos," katanya.
Rizal memastikan bahwa adanya upeti untuk parpol bukan isapan jempol semata. Ia menuturkan, pada suatu kesempatan pergi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di sana, diterima dua pimpinan serta 2 orang direktur pada lembaga antirasuah.
"Saya katakan, ini korupsi yang paling besar di Indonesia adalah political corruption. Saya minta KPK fokus nangkepin political corruption ini," katanya.
Mereka bilang bahwa KPK baru menangkap bupati Kutai yang ingin kembali berkuasa dan istrinya mau agar menjadi ketua DPRD. "Itu dia bawa ke Jakarta deposito senilai Rp20 miliar buat nyogok salah satu partai," kata Rizal Ramli menuturkan.
Uang sejumlah itu bukan miliknya, melainkan dari cukong yang siap membiayainya agar bisa menjadi kepala daerah dan legislatif. Kemudian, setelah jadi kepala daerah, dia memberikan konsesi hutan atau tambang senilai hampir Rp1 triliun kepada cukong tersebut.
"Coba kebayang enggak, dia dapat sogokan untuk nyogok partai hanya Rp20 miliar untuk satu partai, dia perlu tiga partai, tetapi itu saja dia kasih konsensi hutan, tambang senilai Rp1 triliun, dan itu terjadi di seluruh Indonesia," katanya.
Di Indonesia terdapat sekitar 400-an bupati atau wali kota.
"Bayangin itu apa yang diberikan, misalnya kalau di kota besar dikasih izin real estate, izin membangun 5 tingkatkan, dan sebagainya. Inilah yang perusak negara, yang kaya raya ini enggak pernah rakyatnya makmur. Elitnya makmur dengan permainan treshold ini," tandas Rizal Ramli.
(Sumber: GATRA)